Oleh: Erin Azzahroh
Wacana-edukasi.com — Apa yang viral di tengah masyarakat identik dengan sifat kebiasaan masyarakat itu sendiri. Termasuk film singkat ‘Tilik’ dengan tokoh utamanya bu Tejo. Tidak tanggung-tanggung, dalam dua hari penayangan saja, viewer ‘Tilik’ bisa mencapai angka 1, 5 juta!
Ya, fokus aksi utama dalam film ‘Tilik’, yakni ghibah alias menggunjing, sebenarnya adalah fenomena umat yang tak lekang oleh zaman. Hampir seperti budaya yang mengakar kuat pada kaum muda sampai tua. Baik laki-laki maupun perempuan.
Nah, bagaimana sih sebenarnya islam memandang aktifitas ghibah?
Pengertian ghibah sendiri dapat dipahami dari sebuah hadist. Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?”
Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.”
Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?”
Rasulullah SAW berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim)
Nah, ternyata apapun yang dibicarakan tentang seseorang di balik mereka, yang membuat mereka tidak senang jika dibicarakan itu termasuk ghibah.
Hukum ghibah sendiri telah dijelaskan langsung oleh Allah SWT dalam firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka. Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang, serta janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Memakan bangkai saudara untuk menganalogikan ghibah, menjadi celaan yang menunjukkan keharaman aktifitas tersebut. Nah, bagaimana bisa ghibah menjadi boleh?
Memang, hukum asal ghibah adalah haram. Namun ternyata dapat dihalalkan pada kasus tertentu sebagai pengecualian berdasarkan dalil-dalil syar’i.
Al-Hasan radhiyallahu anhu (seorang tabiin) berkata, “tiga orang yang boleh ghibah padanya (dighibah-i/digunjing): orang yang mengikuti hawa nafsu, orang fasik yang terang-terangan dengan kefasikannya, dan imam yang zalim. (ibid, h. 343)
Imam Nawawi dalam Al-Adzkar dan Riyadhush Shalihin juga menyebutkan 6 (enam) macam ghibah yang dibolehkan yaitu:
1. Ghibah untuk mengadukan kezaliman (at-tazhallum).
Dibolehkan orang yang dizalimi mengadukan kezaliman yang dialaminya kepada penguasa atau hakim. Boleh juga kepada selain keduanya, yakni pihak yang mempunyai kekuasaan atau kemampuan untuk menyelamatkannya dari orang yang menzaliminya.
Misal, korban kezaliman berkata, ”Fulan telah menzalimi saya, berbuat begini kepada saya, … (dan seterusnya)” (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 292).
2. Ghibah untuk minta tolong (al–isti’anah), yakni untuk menghilangkan kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang benar.
Misal, seseorang berkata kepada orang yang diharapkan mempunyai kemampuan untuk menghilangkan kemungkaran, ”Si Fulan telah berbuat begini dan begini, maka tolong peringatkan dia agar tidak melakukan perbuatan itu.” (Imam Nawawi, Al–Adzkar, hal. 292).
3. Ghibah untuk meminta fatwa (istifta`).
Misal seseorang berkata kepada mufti, ”Ayahku atau saudaraku telah menzalimiku, apakah mereka berhak berbuat demikian menurut syara’?” Atau, ”Suamiku berbuat demikian, apakah dibolehkan?”
Yang lebih berhati-hati adalah tidak melakukan ta’yin (menyebut nama tertentu) meski boleh hukumnya secara syar’i. Misal, “seorang suami berbuat demikian kepada isterinya, bolehkah?” Namun ta’yin (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 292).
4. Ghibah untuk memperingatkan (tahdzir) atau menasehati kaum Muslimin agar tidak terjatuh dalam keburukan.
Sebagaimana celaan yang dilakukan oleh ulama Jarh wa Ta’dil dalam ilmu hadits. Ini boleh menurut Ijma’, bahkan wajib karena ada hajat yang dibenarkan syara’.
Semisal ada orang minta nasehat (istisyarah) kepada kita tentang rencana pernikahannya dengan seseorang. Boleh kita mengatakan, ”tidak baik kamu menikah dengannya,” atau menjelaskan secara jelas keburukan calon suami/isterinya. (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 293)
Misalkan yang lain, jika ada seseorang akan membeli barang dagangan yang ada cacatnya dan kita tahu, maka kita wajib menjelaskan cacatnya. Jika dia tidak mengetahuinya. (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 293)
Contoh berikutnya, jika ada seorang mutafaqqih (orang yang sedang belajar fiqih) yang sering belajar kepada orang ‘alim. Padahal orang ‘alim tersebut berbuat bid’ah atau fasik. Sementara dikhawatirkan mutafaqqih itu dapat terpengaruh. Maka wajib menasehati mutafaqqih itu, dengan syarat tujuan semata-mata nasehat, bukan karena dengki (hasad). (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 293).
Dapat dicontohkan juga jika ada seseorang yang mempunyai kekuasaan (wilayah), misalnya guberbur (wali). Dia terbukti tidak layak memegang kekuasaan itu atau dia terbukti fasik atau lalai, maka wajib kita menyampaikan hal itu kepada orang yang mempunyai kekuasaan umum (wilayah ‘ammah) seperti Khalifah, untuk menggantinya atau menghilangkan keburukannya. (Imam Nawawi, Al–Adzkar, hal. 293)
5. Ghibah terhadap orang yang terang-terangan berbuat fasik atau bid’ah.
Misalkan orang yang minum khamr secara terang-terangan. Boleh disebutkan perbuatannya kepada orang lain. (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 293)
6. Ghibah untuk memperkenalkan (at–ta’rif).
Misalnya ada orang yang dikenal dengan nama “si Buta” atau “si Tuli”. Maka boleh menyebut nama-nama itu dengan niat untuk memperkenalkan, bukan dengan niat menjelek-jelekkan. Jika dengan niat menjelek-jelekkan hukumnya haram. (Imam Nawawi, Al–Adzkar, hal. 293)
Imam Nawawi berkata, ”Itulah enam jenis ghibah yang dibolehkan oleh para ulama, di antaranya seperti yang disebutkan oleh Imam Ghazali dalam Ihya` Ulumiddin. Dalil-dalilnya adalah hadits-hadits sahih yang masyhur, dan kebanyakan jenis ghibah tersebut disepakati oleh ulama akan kebolehannya.” (Imam Nawawi, Al–Adzkar, hal. 293)
Demikian pembahasan sederhana mengenai ghibah. Darinya dapat tersirat bahwa sejatinya Allah begitu sempurna dalam mengatur seluruh urusan kehidupan. Termasuk urusan hubungan antar manusia.
Dari satu aturan (ghibah) saja bisa dibayangkan betapa indahnya jika diterapkan. Apalagi jika seluruh aturan Allah dterapkan. Tentu akan terwujud rahmat bagi seluruh semesta ini.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa kehadiran islam akan mampu menjadi solusi atas seluruh permasalahan umat. Sebagaimana cuplikan kalimat bu Tejo, “dadi wong iku mbok yo sing solutip.”
Wallahu a’lam bi ash-showwab.
Views: 5
Comment here