Opini

75 Tahun Merdeka, Saatnya Indonesia Bangkit

Bagikan di media sosialmu

oleh: Dasih Widowati, SPd. (Aktivis Peduli Negeri)

Aku heran, aku heran
Yang salah dipertahankan
Aku heran, aku heran
Yang benar disingkirkan
Perahu negeriku, perahu bangsaku
Jangan retak dindingmu
Semangat rakyatku, derap kaki

Semarang, Idola 92.6 FM – Pada tahun 1995, musisi Franky Sahilatua merilis album bertajuk “Perahu Retak”. Lagu yang liriknya diciptakan oleh penyair Emha Ainun Nadjib itu menggambarkan situasi kebangsaan yang sedang berkecamuk.

Sejenak mari kita renungkan lirik lagu di atas. Menyiratkan sebuah pesan bahwa negeri kita tercinta ini sedang dalam rintihan duka, berlinang airmata. Bertubi-tubi masalah kebangsaan datang merundung, menghempas dalam penderitaan yang masih terlalu sulit mencari pangkal uraiannya.
Padahal hari ini harusnya airmata telah tersapu oleh senyum bahagia. .Bukankah kita telah merdeka? Merdeka dalam usia ke 75. Usia yang seharusnya cukup matang untuk keluar dari permasalahan dan fokus berkarya mengisi pembangunan .

Kemerdekaan İndonesia, bukan pemberian negara manapun baik İnggris, Portugis, Belanda, Jepang, Sekutu atau yang lainnya. Tapi ini adalah pertaruhan nyawa para Pejuang yang tidak ingin Bumi Pertiwi diinjak-injak oleh penjajah. Merampas, mengekploitasi kekayaan Negeri bahkan memurtadkan sendi keimanan agama.

Sudah seharusnya kita imbangi pengorbanan para pejuang ini dengan sikap lurus melanjutkan pembangunan. Berdedikasi tinggi, tanpa pamrih memberikan yang terbaik untuk negara.

Salah satu aksi nyata dari para tokoh Nasional adalah pembentukan KAMİ (Koalisi Aksi Menyelamatkan İndonesia). Sesuai namanya tujuan KAMİ adalah untuk menyelamatkan Indonesia dari kekacauan dan keterpurukan. Ini merupakan gerakan moral yang akan mengkaji berbagai persoalan bangsa dan mencarikan solusinya (Tirto.İd, Rabu, 5 Agustus 2020). Lebih lanjut beliau mengatakan tujuan KAMI berorientasi pada tranformasi politik-etis mengingat ketidakjelasan fungsi DPR di lembaga pemerintahan yang yang terkadang kurang beres, serta adanya budaya koruptif dalam lembaga pemerintahan.

Arsul Sani, wakil ketua DPR/MPR yang juga menjabat sebagai politisi PPP saat diwawancarai oleh Radio Idola Semarang mengatakan bahwa, deklarasi KAMİ secara tatanan konstitusi mencerminkan gambaran dialektika demokrasi yang harusnya dibenarkan. İni merupakan perwujudan jaminan kebebasan berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat yang dijamin oleh Undang-Undang. Wacana politik yang disampaikan sebatas mengkritisi dan bukan makar (Topik Idola, 4/8/20).

Diantara nama tokoh nasional yang tergabung dalam koalisi ini, Prof Dim Syamsuddin, Rizal Ramly, Mantan Panglima TNİ Gatot Nurmantyo, Rahmawati Soekarno Putri, Said Didu, Rocky Gerung, Ichsanuddin Nursy, ( EsensiNews.Com 2/8/20).

Di tengah kondisi yang serba tidak pasti seperti sekarang ini, adalah wajar jika kemudian langkah yang dilakukan oleh KAMİ mendapat apresiasi dari banyak kalangan.

Benarkah Indonesia Telah Merdeka ?

Kata merdeka, bukan lagi sesuatu yang asing di telinga. Hampir semua pernah mengucapkan, meskipun masing masing punya arti yang berbeda. Merdeka di masa Perjuangan berarti keberhasilan melepaskan diri dari cengkeraman militer penjajah. Mereka telah terusir dari Bumi Pertiwi dan para Proklamator RI berhasil menyelenggarakan deklarasi kemerdekaan.

Kemerdekaan hakiki sebenarnya baru terwujud ketika manusia terbebas dari segala bentuk penghambaan dan perbudakan oleh sesama manusia. Dalam buku yang berjudul Mafahim Siyasi karya Syech Abu Ibrahim disebutkan bahwa penjajahan adalah hegemoni kekuasaan politik, militer, budaya dan ekonomi atas bangsa-bangsa yang kalah untuk di ekploitasi.

Dari pengertian hakiki di atas, bisa kita tarik benang merah bahwa kondisi Bangsa Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Sebab berbicara tentang kemerdekaan, erat kaitannya dengan kemampuan seorang pemimpin dalam menopang kesejahteraan rakyatnya. Termasuk kemandirian dalam menentukan kebijakan politik tanpa dibayangi oleh campur tangan asing. Maka hadirnya deklarasi KAMI merupakan salah satu gambaran ‘wakil’ aspirasi masyarakat yang ingin didengar suaranya.

Badan Pusat Statistik melaporkan pertumbuhan ekonomi RI pada kwartal II tahun 2020 sebesar -5,32 %, sedangkan di kuartal sebelumnya sebesar -2,97%. Fakta ini dikatakan oleh Menteri Keuangan RI, Indonesia masuk dalam fase Resesi ( Rabu, 5/8/20). Efek domino yang langsung terlihat adalah kegiatan investasi dan tingkat produksi barang/ jasa menurun. Pengangguran semakin banyak dan bahayanya lagi daya beli masyarakat dipastikan ikut turun. Imbasnya banyak perusahaan akhirnya bangkrut. Belum lagi masih ditambah problem hutang yang jatuh tempo, baik itu hutang negara maupun swasta.

Tidak ketinggalan kita pun disuguhi data kemiskinan yang semakin mencengangkan. Pakar Biomedik Dr. Rini Safri mengatakan bahwa PBB telah memberikan analisanya pandemi covid 19 telah memicu gizi buruk ( stunting ) dan penurunan berat badan drastis (wasting) hingga mencapai angka 7 juta anak dan 180.000 diantaranya meninggal dunia ( bbc.com/ indonesia, 2/8/20 ). Gagal tumbuh kembang ini berakibat buruknya kualitas generasi bukan hanya untuk saat sekarang tapi untuk sekian puluh tahun ke depan.

Di lain pihak, aparat penegak hukum masih tunggang langgang mendiskreditkan hukum dan keadilan masyarakat: Konsistensinya sungguh “jauh panggang dari api”. Hukum tajam ke bawah tapi sungguh tumpul ke atas. Kasus Joko Chandra, koruptor Bank Bali yang ketahuan melanglangbuana hanyalah salah satu kasus terungkap diantara sekian banyak tindak KKN lainnya.

Merupakan keniscayaan bila karut marut problem global ini semakin berkepanjangan. Pasalnya hukum yang berlaku di Republik tercinta ini tidak memiliki kepastian dalam standar kebenaran. Secara umum masih bisa ‘digoreng’ menyesuaikan keselamatan politik golongan. Padahal tarik -ulur keputusan hukum di meja peradilan akan membuat masyarakat semakin hilang kepercayaan pada legislasi yang diterapkan.

Bisa kita katakan inilah buah pahit dari mekanisme pembuatan hukum yang bersumber dari akal manusia atau yang lazim dikenal dengan istilah demokrasi. Hukum dibuat dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Padahal rakyat adalah insan biasa yang jauh dari kesempurnaan, mana mungkin bisa melalui segala keterbatasannya, terutama dalam pembuatan sistem kehidupan.

Islam Menawarkan Solusi Mendasar

Perubahan adalah keniscayaan. Tidak ada yang tidak bisa berubah sepanjang ikhtiar terus dilakukan. Untuk menuju Indonesia bangkit dibutuhkan kesamaan persepsi dalam memahami langkah perubahan.

انالله لايغيرما بقوم حتى ىغيروا ما بانفسهم
“sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum,hingga mereka sendiri mengubah yang ada pada diri mereka.”
{Q.S ar-Ra’d : 11}

Kebangkitan suatu bangsa atau kaum tidak bisa terlepas dari mabda’ atau idiologi. Pengertian yang bisa diambil dari Idiologi adalah العقيدةالعقليةينبثق عنهانظام yaitu aqidah rasional yang memancarkan darinya sistem aturan untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Inilah fondasi dasar perubahan.

Jadi apabila di sebuah masyarakat itu memiliki idiologi yang aqidahnya benar-benar diyakini dan dari aqidah rasional itu pula masyarakat mau menerapkan aturannya secara utuh, terwujudlah
kebangkitan.

Sebagai contoh misalnya masyarakat Eropa meyakini aqidah sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) melahirkan ekonomi kapitalis, pemerintahan demokrasi, sistem peradilan, sistem pendidikan yang itu mereka yakini benar, akhirnya Eropa bisa mencapai kebangkitan.

Demikian pula Uni Soviet. Mereka bangkit dengan idiologi Sosialis Komunisnya . Aqidah materialisme meyakini bahwa segala sesuatu berasal dari materi dan akan kembali kepada materi. Dengan itu pula akhirnya mampu bangkit maju menyaingi AS.

Lalu, bagaimanakah dengan Islam ?Rasulullah sejak 14 abad silam telah memperkenalkan dengan idiologi Islam. Dengan aqidah dan aturan yang sempurna kita bisa melihat Madinah sampai masa Khalifaturrasyidin mampu berdiri kokoh memimpin 2/3 masyarakat dunia. Termasuk negara adidaya Persia dan Romawi pun tunduk pada kepemimpinan Islam.

Jadi, mencermati problem bangsa Indonesia untuk berbenah mencapai kebangkitannya tidak ada lain yang shahih kecuali melalui ideologi Islam.

Tidaklah cukup perubahan itu hanya melalui pergantian sosok pemimpin. Karena persoalan utama justru terletak pada sistem yang diterapkan . Apalagi jika masih dalam wacana seruan deklrasi dan semacamnya. WaAllahu ‘alam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 1

Comments (1)

  1. blank

    alhamdulillah..semoga Media Edukasi makin berkontribusi mencerdaskan umat

Comment here