Oleh Dhevy Hakim
“Labbaik Allahuma labbaik,
Labbaik laa syarikka laka labbaik,
Innal haamda wanni’mata laka wal mulk,
Laa syariika laka”
(Lafaz talbiyah)
Wacana-edukasi.com — Kalimat tersebut mempunyai arti, “aku datang ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, kusambut panggilan-Mu, dan tiada sekutu bagi-Mu”. Kalimat yang senantiasa dikumandangkan oleh jemaah haji sejak berniat untuk ihram atau haji di Tanah Halal hingga memasuki Masjidil Haram.
Ibadah haji sebagai bagian dari rukun Islam menjadi sesuatu yang diidam-idamkan bagi setiap muslim. Momen pelaksanaannya tentu menjadi waktu yang ditunggu-tunggu bagi kaum muslimin yang sudah daftar menunggu antrian. Antrian yang cukup panjang untuk sampai pada gilirannya. Tidak hanya menunggu kurun waktu setahun, lima tahun tetapi sampai mengantri puluhan tahun.
Selain ibadah haji, momen spesial yang ada dalam perayaan hari raya Idhul Adha adalah penyembelihan hewan atau biasa disebut qurban. Kaum muslimin berlomba-lomba melaksanakannya. Qurban sendiri termasuk ibadah yang bernilai sunnah muakkad. Sunnah yang ditekankan.
Dalilnya, sebagaimana yang Allah firmankan dalam Quran surat Al Hajj ayat 34 yang berbunyi,
وَلِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۗ فَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ فَلَهٗٓ اَسْلِمُوْاۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِيْنَ ۙ
Artinya: Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya. Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).
Adapun makna dari qurban sendiri dapat ditinjau baik secara istilah, bahasa maupun bahasa Arab. Pertama secara istilah, adalah menyembelih hewan tertentu pada hari Raya Idul Adha sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Kedua secara bahasa berarti mendekatkan diri. Ketiga makna qurban dalam bahasa Arab adalah hewan sembelihan, seperti unta, sapi, dan kambing yang disembelih pada Hari Raya. (Dikutip dari buku ‘Fiqih’ terbitan Grafindo Media Pratama)
Qurban sendiri dilakukan pada empat tanggal di bulan Dulhijjah, yakni tanggal 10, 11, 12, dan 13 atau setelah pelaksanaan shalat Ied kemudian dilanjutkan di hari tasyriq. Menurut ulama Syeikh Wahbah Az-Zuhaily, waktu paling baik menyembelih hewan qurban adalah di hari pertama setelah Shalat Id hingga sebelum tergelincir matahari. Sedangkan, waktu haram menyembelih hewan kurban saat sebelum shalat Id. Jika tetap melaksanakannya, maka wajib mengulanginya pada tanggal-tanggal yang telah ditentukan.
Perayaan hari raya Idhul Adha di masa pandemi covid-19 mengharuskan untuk mengikuti instruksi yang diberikan oleh Kemenag. Berdasarkan Surat Edaran Nomor 17 Tahun 2021, maka wilayah yang terkena pemberlakuan kebijakan PPKM Darurat tidak boleh melangsungkan malam takbiran, sholat Ied, dan himbauan pelaksanaan qurban dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan Ruminasia (RPH-R). Bahkan untuk qurban sendiri harus sesuai ketentuan seperti menjaga jarak dan tidak ada kerumunan, sehingga yang boleh di area pemotongan hanyalah petugas dan pendistribusian daging kurban juga dilakukan oleh petugas ke tempat tinggal warga yang berhak (kompas.com, 5/7/2021)
Perayaan hari raya Idhul Adha di masa pandemi sudah dua kali terjadi. Kaum muslimin harus mampu mengambil pelajaran dari setiap peristiwa sehingga tidak terjebak pada kesalahan yang sama. Berdasarkan hadis riwayat Muslim, Rasulullah Saw bersabda: “seorang mukmin tidak boleh dua kali jatuh dalam lubang yang sama”. Setidaknya ada tiga dimensi qurban yang memberikan pelajaran bagi kaum muslimin pada saat pandemi covid-19.
Dimensi Spiritual
Perintah qurban sudah masyhur diketahui masyarakat, yakni berkaitan dengan kisah mimpi nabi Ibrahim a.s untuk menyembelih putranya. Mimpi sebagai isyarat perintah dari Allah SWT, kemudian dengan ikhlas diterima baik oleh Ibrahim maupun anaknya. Hingga suatu ketika, saat Nabi Ibrahim mau menyembelih putranya, atas izin Allah kemudian diganti dengan seekor kambing.
Ketaatan menjadi kata kuncinya. Maka, dimensi spiritual dalam pelaksanaan qurban semestinya tidak terbatas pengulangan cerita di mimbar khutbah Idhul Adha, namun menjadi ketaatan yang riil dilakukan secara totalitas dalam kehidupan sehari-hari baik sebagai rakyat maupun penguasa.
Hingga tercermin dimensi spiritual ini dalam menyikapi pandemi covid-19. Seperti Ibrahim yang taat, wabah ini akan berakhir bilamana kaum muslimin kembali taat pada aturan Allah mengenai adanya wabah. Karantina wilayah/lock down, memisahkannya orang yang sehat dari yang sakit, dan kaidah dharar yang dijalankan oleh setiap individu muslim.
Dimensi Sosial
Penyembelihan hewan qurban menjadi momen yang ditunggu-tunggu, terutama saat pembagian daging. Apalagi di saat kondisi pandemi yang membawa dampak pada pendapatan rumah tangga, tentu daging yang diterima dapat mengurangi pengeluaran rumah tangga.
Disinilah letak dimensi sosial pelaksanaan qurban yakni mampu menumbuhkan empati dan sikap ta’awun (tolong menolong) dengan sesama.
Menurut catatan, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tingkat konsumsi daging terutama daging sapi di Indonesia memang masih rendah. Rerata tingkat konsumsi pada tahun 2019 tercatat sebesar 1,98 kg/kapita. Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia (5,30kg /kapita) ataupun Vietnam (9,46 kg/kapita). Oleh karenanya, pelaksanaan qurban sangat membantu masyarakat.
Semestinya dimensi sosial dari pelaksanaan qurban tidak terbatas pada rasa empati secara individu dalam bentuk bagi-bagi daging qurban. Di luar itu empati juga menjadi pelajaran yang harus dimiliki negara terhadap rakyatnya. Kebijakan yang diambil akan mudah diterima masyarakat andai kebijakan itu memakai hati. Iya, ada empati di sana.
Empati didapatkan bukan sekedar dengan cara blusukan pencitraan, namun dapat dimulai dari mempertanyakan pada diri sendiri dengan menggunakan kata “andai”. Andai saya sudah bertahun-tahun mengumpulkan uang dengan susah payah kemudian hati dibatalkan begitu saja bagaimana? Andai saya jualan di warung kemudian harus ditutup, digusur berminggu-minggu tanpa ada jaminan kebutuhan pokok bagaimana? Andai …dan andai… .
Dimensi Politik
Politik dalam Islam artinya pengurusan terhadap semua urusan umat. Ibadah haji merupakan ibadah yang diwajibkan bagi muslim yang sudah mampu, sedangkan ibadah qurban bernilai Sunnah muakkad. Tentu hal ini menjadi urusan umat yang semestinya negara memberikan pelayanan terbaiknya.
Dua kali perayaan Idhul Adha, bukanlah waktu yang singkat. Ada waktu yang panjang untuk mempersiapkan segala kemungkinan supaya ibadah haji maupun qurban dapat berjalan dengan baik. Sekalipun di masa pandemi.
Disinilah dimensi politik diuji. Negara dengan segala kekuatan yang dimilikinya mampu mengatasi pandemi jika sikap tegas dan langkah yang diambil tidak setengah-setengah. Qurban mengajarkan manusia untuk rela berkorban demi meraih ketaatan. Pengorbanan penguasa dalam dimensi politik menjadi pelajaran yang berharga.
Demikianlah dimensi qurban di masa pandemi covid-19. Tiga dimensi tersebut belum terkolaborasi dengan baik. Ke depan dapat digunakan sebagai catatan penting di masa mendatang. Semoga pandemi segera berkhir. Andai belum berakhir, semoga dengan terwujudnya tiga dimensi tersebut kaum muslimin dapat melaksanakan perayaan hari raya dengan penuh suka cita.
Wallahu a’lam bi showab.
Views: 3
Comment here