Wacana-edukasi.com — Stunting masih menjadi perhatian utama, sebab Indonesia masih berada di urutan keempat dunia dan urutan kedua di Asia Tenggara sebagaimana dilansir Kompas.com (19/05/2021). Sungguh sangat memilukan, untuk sebuah negeri yang memiliki kekayaan alam melimpah. Padahal generasi saat ini adalah cerminan generasi masa depan.
Pasalnya Indonesia pada tahun 2045, akan mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah penduduk Indonesia 70%-nya dalam usia produktif, harapannya menjadi generasi emas yang mampu membawa kebangkitan dan kemajuan negara. Akan tetapi, menurut UNICEF, Indonesia menjadi salah satu negara dengan beban stunting pada anak tertinggi di dunia. Ditambah di masa pandemi seperti sekarang ini. Sebelum pandemi, angka anak stunting di Indonesia sudah cukup tinggi, apalagi selama merebaknya wabah. Potensi yang akan didapat dari bonus demografi dapat menjadi sia-sia apabila sumber daya manusia mengalami stunting.
Stunting selain membuat pertumbuhan terhambat, juga dikaitkan dengan perkembangan otak yang tidak maksimal. Stunting jelas mendesak untuk diatasi karena berpeluang mengganggu potensi sumber daya manusia yang berakibat menghambat pertumbuhan laju ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja. Permasalahan ini, tentulah harus ditangani dengan kolaborasi multipihak dikarenakan faktor penyebabnya juga multidimensi.
Faktor penyebab stunting salah satunya erat kaitannya dengan kemiskinan yang masih cukup besar di Indonesia. Kemiskinan ini sangat berpengaruh pada berkurangnya ketersediaan dan keterjangkauan makanan bergizi, serta terganggunya pelayanan kesehatan dan perlindungan sosial pada anak.
Namun, di tengah tingginya angka stunting, terdapat individu-individu yang memiliki kekayaan fantastis. Bahkan, Kompas.com (17/07/2021) melansir saat banyak orang mengalami kesulitan hidup akibat pandemi Covid-19, jumlah penduduk superkaya di Indonesia justru meningkat. Laporan riset terbitan Oxfam, di tahun 2017 saja, menyimpulkan kekayaan kolektif empat orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar 25 miliar dolar AS, sama dengan gabungan harta 100 juta orang termiskin.
Inilah wujud kapitalisme, faktanya yang kuat akan makin kaya, yang lemah makin terpinggirkan. Jamal Harwood, Konsultan dan Akuntan di United Kingdom mengatakan, Kapitalisme tidak pernah benar-benar bisa menyelesaikan, tapi selalu mendeklarasikan kemenangan. Padahal faktanya, kondisi rakyat memburuk. Ketaksetaraan makin timpang, upah mandek, lebih banyak orang miskin, dan banyak yang memiliki utang besar. Ini tidak mengejutkan ketika politik didominasi dan dikendalikan oleh elite ekonomi yang memegang kendali kebebasan kepemilikkan.
Kebebasan kepemilikan sendiri dalam kapitalisme telah menyebabkan eksploitasi ekonomi. Menciptakan lebih banyak kemiskinan daripada yang bisa dientaskannya. Semua perhatian dicurahkan untuk menjaga kekayaan agar tetap terkonsentrasi dan terakumulasi di tangan segelintir orang.
Kita sebagai seorang muslim, tentulah menjadikan Islam sebagai solusi. Ketika kapitalisme mengonsentrasikan kekayaan disegelintir orang, Islam berfokus pada distribusi kekayaan yang adil dan meluas.
Sebagaimana firman-Nya,
“… supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS al-Hasyr: 7)
Dalam Islam, negara wajib untuk menjamin kesejahteraan setiap individu rakyat, termasuk anak-anak. Pengentasan kemiskinan dapat mengatasi permasalahan stunting yang mengintai generasi. Islam mengharuskan Khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab melayani kebutuhan rakyat. Mengatur kepemilikan negara dan mewajibkan pengelolaan kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat.
Tentunya kesungguhan dalam mengurusi rakyat bagi para pemangku kekuasaan didasari keimanan dan ketakwaan sehingga bersungguh-sungguh dalam mengurusi rakyatnya dengan penuh tanggung jawab, karena menyadari kepemimpinan mereka akan dimintai pertanggungjawaban Allah kelak di akhirat.
Yasyirah, S.P
Views: 1
Comment here