Oleh Dwi Indah Lestari, S.TP
“Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Wacana-edukasi.com — “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Demikianlah kutipan pasal 31 ayat 1 UUD 1945. Namun rasanya kenyataan yang terjadi jauh panggang dari api, dengan adanya aturan baru dari Mendikbudristek terkait penyaluran dana BOS. Bila begitu, mungkinkah cita-cita membangun sistem pendidikan berkualitas akan tercapai?
Kemendikbudristek telah mengeluarkan Permendikbud RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler. Dalam aturan baru tersebut terdapat pasal 3 ayat (2) huruf d, yang mensyaratkan bahwa sekolah yang akan mendapatkan dana BOS Reguler harus memiliki peserta didik minimal 60 orang selama 3 tahun terakhir (republika.co.id, 5 September 2021).
Sementara itu, jumlah lembaga pendidikan di Kabupaten Sampang, Madura, yang menerima bantuan dana BOS Kinerja, tahun ini merosot drastis, menjadi 6 sekolah saja. Padahal tahun 2020 lalu, terdapat 39 lembaga yang menerima bantuan BOS Kinerja. Bahkan tahun ini, Sampang juga tidak menerima bantuan BOS Afirmasi yang merupakan dana bagi satuan pendidikan dasar dan menengah di daerah khusus sesuai ketentuan yang ditetapkan kementerian (jawapos.com, 7 September 2021).
Diskrimimasi BOS?
Aturan baru ini dirasa akan memberatkan beberapa lembaga pendidikan terutama sekolah swasta. Apalagi bila sekolah tersebut berada di daerah-daerah terpencil atau tertinggal. Banyak di antara sekolah-sekolah yang masih kesulitan mendapatkan murid. Berbagai faktor menjadi penyebabnya, di antaranya kesadaran akan pentingnya pendidikan yang kurang dan kalah bersaing dengan sekolah-sekolah negeri favorit.
Banyak pihak juga telah melayangkan protes atas peraturan tersebut. Di antaranya datang dari Aliansi Pendidikan yang merupakan gabungan dari berbagai organisasi. Diwakili oleh Wakil Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Kasiyarno, mereka menolak Permendikbud tersebut. Menurut mereka syarat sekolah harus memiliki minimal 60 peserta didik dirasa sangat diskriminatif dan tidak adil (pikiran-rakyat.com, 3 September).
Padahal sekolah-sekolah termasuk yang ada di daerah tertinggal telah turut memberikan sumbangsih bagi kehidupan pendidikan di Indonesia. Ditambah lagi masih banyak juga sekolah-sekolah yang dari fasilitas sarana dan prasarananya masih jauh dari kata layak. Mulai dari gedungnya, ketersediaan peralatan yang terbatas, dan jumlah tenaga pendidik yang masih kurang. Bukankah sekolah-sekolah semacam ini yang paling membutuhkan dana bantuan?
Ironisnya, berdasarkan peraturan baru itu, sekolah yang mendapat bantuan justru adalah yang sudah stabil dan bagus kinerjanya. Dan bisa diprediksi sekolah tersebut adalah sekolah yang banyak diminati dan biasanya ada di pusat kota, serta menjadi rebutan orangtua untuk memasukkan anaknya ke sana. Tentu saja dari sisi kualitas gedung, guru dan prasarana lainnya pasti lebih baik.
Inilah yang disinyalir oleh berbagai organisasi sebagai bentuk ketidakadilan. Pendidikan yang bagus seakan hanya bagi mereka yang berada di wilayah yang sudah baik pembangunannya atau ekonominya cukup. Sementara jutaan anak lain yang hidup dalam kondisi kekurangan makin terancam tidak bisa menikmati fasilitas pendidikan berkualitas. Padahal hak pendidikan adalah milik setiap warga negara sebagaimana amanat dari UUD 1945.
Kebijakan ini merupakan bukti terjadinya kapitalisasi di sektor pendidikan. Sekolah berkualitas menjadi barang mahal. Siapa yang ingin menikmatinya harus membayarnya. Sementara yang tak mampu akan tersingkir. Negara telah mengabaikan tanggungjawab untuk menyediakan pendidikan berkualitas yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pandangan Islam Tentang Pendidikan
Hal ini sangat jauh bertolak belakang dengan Islam. Dalam sebuah hadits, Rasulullah menjelaskan bagaimana kedudukan menuntut ilmu di dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda,
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah).
Bahkan Allah mengangkat derajat orang-orang yang berilmu.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu berlapang-lapanglah dalam majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mujadalah [58]: 11).
Dari dua dalil di atas jelas bahwa menuntut ilmu merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwa pendidikan merupakan salah satu hak dasar.
Sebagai hak dasar, maka pendidikan membutuhkan pihak yang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengatur dan merealisasikannya sehingga setiap orang bisa menikmatinya, yaitu negara. Maka Islam menetapkan bahwa pemenuhan kebutuhan pendidikan menjadi tanggung jawab negara, yaitu khilafah.
Berbeda dengan sistem demokrasi, pemenuhan hak pendidikan oleh khilafah dilakukan melalui mekanisme langsung. Ini berarti seluruh pembiayaan yang dibutuhkan akan disediakan oleh khilafah. Baik itu untuk membangun fasilitas gedung, perpustakaan, laboratorium, penyediaan buku dan alat untuk pengajaran, hingga tenaga guru sekaligus gajinya, dicukupi oleh negara.
Konsekuensi dari pemenuhan secara langsung oleh negara, maka tidak ada pembebanan biaya bagi setiap warga negara dalam menikmatinya. Rakyat dari semua kalangan bisa mengaksesnya tanpa membayar sepeser pun. Bahkan negara wajib memastikan pembangunan pendidikan dapat dirasakan dengan adil dan merata di seluruh wilayah, baik perkotaan maupun daerah terpencil.
Semua dana yang dibutuhkan akan diambil dari pos pengeluaran Baitulmal. Semua ini memungkinkan untuk bisa dipenuhi sebab didukung oleh sistem ekonomi Islam yang mampu mewujudkan perekonomian yang stabil, kuat dan mandiri. Di antaranya adalah dengan melakukan pengelolaan sumber daya alam yang menjadi harta milik umat secara independen, dan hasilnya kemudian dikembalikan kepada umat berupa pemenuhan kebutuhannya, salah satunya adalah pendidikan.
Dengan begitu, pendidikan murah namun berkualitas bukanlah hal yang mustahil untuk direalisasikan. Bahkan sejarah pernah mencatat pada masa kekhilafahan Abbasiyah, yaitu saat kepemimpinan khalifah Harun Al Rasyid, pendidikan Islam mencapai puncak kejayaannya. Dunia Islam menjadi pusat pengetahuan. Khalifah membangun perpustakaan dengan nama Khizanah Al Hikmah di Baghdad yang berisi banyak buku-buku Islam dan bahasa Arab, serta buku-buku umum.
Beginilah gambaran pengaturan Islam terhadap pendidikan yang akan diwujudkan oleh khilafah. Sebab dalam Islam, khalifah (imam) merupakan pengurus urusan rakyatnya, dan kelak amanah ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
“Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Maka hanya dengan khilafah sajalah, pendidikan gratis berkualitas, adil dan merata untuk umat akan bisa menjadi kenyataan.
Wallahu’alam bisshowab.
Views: 8
Comment here