Oleh Rizki Amalia Marlim, S.Si.
wacana-edukasi.com— Lagi dan lagi, publik dikejutkan dengan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dipenghujung tahun 2021. Seorang anak berusia 14 tahun diculik, diperkosa hingga dijual di media sosial melalui aplikasi MiChat, diungkap Polrestabes Bandung. Kini, kondisi korban masih dalam kondisi trauma dan telah mendapatkan pendampingan dari instansi terkait (pikiran-rakyat.com, 28 Desember 2021).
NT, seorang perempuan bersama kakaknya menjadi korban pelecehan seksual disertai dengan kekerasan ketika menjadi penumpang salah satu taksi online tanggal 24 Desember 2021 pukul 02.00 di Jakarta Barat (idntimes.com, 24 Desember 2021). Masih kuat juga dalam ingatan kita juga bagaimana tagar #savenoviawidyasari menghiasi halaman sosial media. Atau bagaimana seorang guru di sebuah pondok pesantren di Bandung, Herry Wirawan menjadi terdakwa kasus pelecehan seksual kepada para santrinya.
Komnas Perempuan menerima 4.500 aduan kasus kekerasan terhadap perempuan sepajang periode Januari-Oktober 2021. Angka ini naik dua kali lipat lebih banyak daripada jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2020. Komnas Perempuan berupaya untuk menangani setiap laporan namun terbatas pada SDM serta adanya antrian dalam penanganan kasus (news.detik.com, 6 Desember 2021).
Melihat data seperti ini, bagaimana peran negara untuk melindungi para perempuan?
Kesetaraan Gender bukan Solusi
Sistem tatanan sosial masyarakat saat ini mendorong perempuan untuk lebih maju dan lebih dominan daripada laki-laki dengan tujuan untuk menghilangkan adanya kejahatan dan kekerasan seksual. Istilah kesetaraan gender sendiri tidak lain muncul akibat adanya diskriminasi hak-hak asasi kaum perempuan oleh Barat. Karena itulah, para perempuan Barat tersebut menuntut hak-hak nya.
Dalam Islam, baik laki-laki atau perempuan dikenai _taklif_ (beban) syariah yang sama dalam beberapa hal. Islam telah menetapkan berbagai hak bagi kaum perempuan sebagaimana juga telah menetapkan kewajiban bagi mereka. Hal yang sama juga berlaku bagi laki-laki. Sehingga, apabila ini dijalankan maka tidak perlu lagi ada kesetaraan diantara keduanya karena antara perempuan dan laki-laki tidak ada yang didiskriminasikan.
Laki-laki diciptakan berbeda dalam beberapa hal dari perempuan bukan untuk bersaing, melainkan untuk berkolaborasi dalam tatanan kehidupan berumah tangga. Perbedaan yang ada pada diri laki-laki dan perempuan bukanlah sebuah kekurangan, namun akan menjadi pelengkap diantara keduanya. Karena Islam tidak memandang perempuan itu sebagai makhluk yang lebih kurang daripada laki-laki, sebagaimana disampaikan dalam AlQur’an surat An-Nahl ayat 16, disampaikan bahwa : “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan”
Pengkhususan pada beberapa taklif (beban) syariah pada laki-laki atau perempuan, maknanya bukan berarti tidak ada kesetaraan. Karena Islam mengatur masing-masing memiliki fitrah dan memiliki peran yang berbeda. Sehingga adalah menyimpang dari fitrah ketika perempuan ingin disamakan dengan standar laki-laki.
Akar Masalah
Dengan melihat trend data kekerasan seksual terhadap perempuan terutama sepanjang tahun 2021, belum ada sistem yang kuat untuk bisa melindungi perempuan dari kejahatan dan kekerasan seksual. Dan tidak ada jaminan bahwa hukum yang diberikan akan memberikan efek jera serta membuat orang lain tidak akan melakukan kejahatan yang sama.
Solusi berbasis kesetaraan gender sekilas menggiurkan. Namun apabila ditelaah satu per satu, munculnya kekerasan dan kejahatan seksual terhadap perempuan adalah karena masyarakat sudah semakin jauh dari nilai-nilai Islam. Sulitnya laki-laki untuk bisa menundukkan pandangan, terlebih di kondisi saat ini dimana akses informasi via internet tanpa batas menjadikan segalanya mudah diakses termasuk pornografi. Sistem pergaulan yang permisif dan tidak terpisah antara laki-laki yang perempuan membuat situasi semakin sulit untuk menghindari adanya potensi munculnya naluri seksual.
Berbeda dengan aturan dalam Islam. Solusi pertama yang Islam punya adalah perintah untuk menundukkan pandangan, baik laki-laki maupun perempuan, sebagaimana dalam AlQur’an surat An-Nur ayat 30-31. Allah mewajibkan perempuan menggunakan jilbab ketika hendak keluar rumah karena keseluruhan yang ada pada diri perempuan adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Allah mengharamkan wanita untuk memperlihatkan perhiasannya terhadap selain mahram-nya, yang salah satu hikmahnya adalah untuk melindungi kaum perempuan itu sendiri dari kejahatan dan kekerasan seksual. Disisi lain, Allah juga Allah pun juga melarang kaum laki-laki untuk melihat aurat perempuan sekalipun hanya rambutnya. Disamping itu, ada aturan pemisahan yang jelas antara laki-laki dan perempuan berdasarkan dalil-dalil AlQur’an dan Assunnah sepanjang sejarah Islam. Islam membatasi hubungan dan interaksi yang bebas antara lawan jenis melalui perkawinan. Islam mengatur adanya interaksi kerja sama antara laki-laki dan perempuan sebab semuanya adalah hamba Allah dalam batas-batas yang sudah disyariatkan agar kita saling berhati-hati sehingga tidak terjebak dalam hubungan yang bersifat seksual yang tidak disyariatkan.
Allah tidak mewajibkan kaum perempuan melakukan shalat berjamaah dan shalat jum’at di masjid. Rasulullah SAW telah memisahkan laki-laki dan perempuan sekalipun dalam kegiatan di masjid. Shaf-shaf perempuan diletakkan di belakang shaf kaum laki-laki. Pada saat keluar dari masjid pun, Rasulullah memerintahkan perempuan untuk keluar lebih dahulu kemudian disusul oleh kaum laki-laki sehingga kaum perempuan terpisah dari kaum laki-laki. Syariat Islam mengatur demikian tidak lain adalah karena ingin melindungi perempuan dari potensi kejahatan dan kekerasan seksual sekaligus menjaga laki-laki dari munculnya naluri seksual dari faktor eksternal.
Islam solusi sempurna
Seluruh gambaran diatas adalah bagaimana sistem Islam memberikan perlindungan kepada keselamatan perempuan. Dan sistem yang saat ini ada, telah gagal dalam melindungi hak-hak perempuan terutama dalam jaminan keamanan dan keselamatan.
Islam telah mencontohkan sejak masa Rasulullah SAW diikuti oleh para khalifah setelahnya. Sebagaimana kisah masyhur tentang Kisah heroik Al-Mu’tashim Billah dari Dinasti Abbasiyah yang dicatat dengan tinta emas sejarah Islam dalam kitab al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn Al-Athir. Al Mu’tashim Billah menjawab seruan seorang budak muslimah dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya. Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang Khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki). Panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki), karena besarnya pasukan.
Itu baru satu muslimah dan baru satu tindakan pelecehan. Jelas, bahwa sejauh ini peran negara belum maksimal dalam memberikan perlindungan keamanan dan keselamatan bagi perempuan. Semoga, pada perjalanan tahun berikutnya kita bisa menemukan sosok seperti Khalifah Al Mu’tashim Billah sebagai pelindung para perempuan.
Views: 32
Comment here