Opini

Meningkatnya Kasus Kekerasan dan Eksploitasi Anak, Apa Solusinya?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Nur Indah

wacana-edukasi.com— Tahun telah berganti, namun pandemi Covid 19 tak kunjung usai. Memunculkan beragam promblematika turunan mulai dari masalah ekonomi, sosial, pendidikan, dan masih banyak lagi. Salah satu yang menjadi sorotan adalah kekerasan pada anak yang meningkat selama pandemi.

Anak-anak adalah korban tersembunyi pandemi Covid-19 yang kurang lebih 2 tahun ini menyelimuti dunia. Selain penularan virus, anak-anak juga harus mengadapi masalah yang berdampak pada masa depan mereka.

Tidak hanya masalah kesehatan, anak-anak juga mengalami masalah pendidikan yang kurang optimal selama pandemi, rentan menjadi korban kekerasan, bahkan kasus prostitusi anak melonjak selama pandemi.

Titik Suhariyati, Sekretaris Umum LPAI menjelaskan bahwa selama pandemi, kasus kekerasan yang terjadi pada anak meningkat sebesar 40 persen. Sepanjang tahun 2021, tercatat ada sebanyak 1.735 kasus laporan perlindungan terhadap anak yang diterima oleh LPAI (kompas.com, 30/12/2021).

Selain itu eksploitasi dan perdagangan manusia juga terus memantau anak-anak. Sebelum pandemi tepatnya pada tahun 2019, kasus eksploitasi anak (prostitusi anak) mencapai 106 asus. Jumlah tersebut terus meningkat selama pandemi yaitu pada 2020 sebanyak 133 kasus dan pada tahun 2021 sebanyak 165 kasus. Tak menutup kemungkinan jumlah kasus prostitusi lebih tinggi karena tidak semua korban membuat laporan (republika.id, 3/11/2021).

Tindak Pidana Perdangangan Orang (TPPO) pun tidak lepas mengintai anak-anak. TPPO dengan korban anak-anak juga meningkat selama pandemi. Pada tahun 2019 tercatat 111 kasus. Jumlah tersebut meningkat di tahun selanjutnya yaitu pada 2020 terdapat 213 dan pada 2021 terdapat 256 kasus (republika.id, 3/11/2021).

Upaya pemerintah memberantas derita anak

Kasus-kasus tersebut kebanyakan terjadi akibat himpitan ekonomi. Selain itu, lingkungan keluarga dan masyarakat yang harusnya memberikan suasana yang nyaman dan aman untuk perkembangan anak justru memberikan tekanan terhadap kondisi psikologis anak seperti kekerasan yang terjadi di lingkungan keluarga.

Regulasi terkait perlindungan anak sebenarnya telah diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan dari UU Nomor 23 Tahun 2002. Regulasi tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah untuk melindungi anak-anak karena sadar bahwa anak-anak merupakan generasi penerus bangsa. Namun, pada implementasinya, regulasi tersebut tidak mampu melindungi anak-anak di Indonesia. Terbukti dari fakta yang kita temukan di lapangan dan dari data yang telah tercatat pada bagian sebelumnya.

Upaya untuk melindungi anak-anak tidak akan optimal dengan sistem yang berlaku saat ini yaitu sistem sekuler-kapitalis yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Agama hanyalah ranah privasi. Segala aturan dibuat oleh manusia atas dasar pemikirannya sendiri. Sehingga, standar benar dan salahnya tergantung bagaimana setiap manusia menyikapinya.

Oleh karena itu, diperlukan peran negara beserta sistem pemerintahan yang benar-benar mengutamakan hajat hidup masyarakat pada umumnya dan anak anak pada khususnya. Yang dibutuhkan adalah sistem yang menyelesaikan persoalan dari akarnya sehingga masalah-masalah cabang dapat teratasi dengan maksimal.

Islam adalah Solusi

Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan. Islam mengatur bagaimana tata cara menjalani hubungan dengan Allah (ibadah), hubungan dengan diri sendiri (akhlak), serta hubungan bermasyarakat dan bernegara. Solusi yang diberikan oleh sistem Islam dalam Daulah Khilafah yang pertama adalah preventif (pencegahan).

Eksploitasi anak disebabkan oleh himpitan ekonomi. Maka, di dalam sistem Islam, kepala keluarga dalam hal ini ayah atau suami diwajibkan untuk mencari nafkah dan negara akan menyediakan lapangan pekerjaan yang layak. Salah satunya adalah industri yang dikelola secara mandiri oleh negara seperti tambang yang akan menyerap banyak tenaga kerja. Jika kepala keluarga tidak mampu menafkahi dengan alasan yang syar’i, maka kewajiban tersebut akan dialihkan kepada kerabat terdekat. Jika tidak ada, maka diambil alih oleh negara.

Terkait dengan kekerasan pada anak, di dalam Islam, orang juga diwajibkan untuk mendidik anak-anak mereka dengan baik. Dalam daulah Khilafah, negara turut berperan dalam membentuk generasi yang baik, sopan dan santun. Negara akan memberlakukan aturan pendidikan yang islami dengan pola pikir dan pola sikapnya, pergaulan antara perempuan dan laki-laki dipisahkan sehingga terhindar dari khalwat dan ikhtilath, dan media yang tersedia akan bebas dari konten pornografi/pornoaksi. Dengan demikian, adab generasi islam akan terjaga dan lingkungan akan menjadi tentram.

Lalu, bagaimana jika kasus kekerasan ataupun eksploitasi terhadap anak telah terjadi? Khalifah akan dengan tegas memberikan sanksi kepada para oknum yang melakukan hal tersebut. Tidak memandang apakah ia pejabat pemerintahan, kerabatnya, ataupun rakyat biasa sekalipun.

Hal ini dapat kita lihat pada saat kalifah Umar bin Khattab memerintah. Suatu ketika, seorang pemuka agama Nasrani yang bernama Jabalah bin Aiham masuk Islam. Saat berhaji, seorang Arab Badui menginjak kain ihramnya. Jabalah merasa kesal karena ia adalah mantan tokoh terkenal dan pemuka agama. Jabalah pun memukul orang tersebut. Setelah berhaji, orang Arab Badui itupun melaporkannya kepada Khalifah Umar bin al Khattab. Jabalah dipanggil oleh Khalifah dan menyuruh orang Arab Badui itu memukul Jabalah.

Di dalam Islam, setiap orang sama dan tidak ada keistimewaan yang diberikan saat seseorang menghadapi sebuah hukuman. Walaupun sebelumnya, ia adalah orang terhormat di sukunya.

Demikianlah Sistem Islam dalam menyelesaikan sebuah permasalahan terutama yang santer dikabarkan saat ini mengenai kekerasan yang terjadi pada anak. Anak adalah aset peradaban. Sudah sepatutnya mereka dijaga sebaik mungkin. Wallahu’alam

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 61

Comment here