Oleh Saptanisa al-Batani, S.Pd.I.
wacana-edukasi.com—Di penghujung tahun 2021, kabar pergantian kurikulum ramai diperbincangkan. Kurikulum 2013 dan kurikulum darurat pandemi covid yang selama ini diterapkan di sekolah akan diganti dengan kurikulum paradigma baru atau kurikulum prototipe. Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya, yaitu KTSP 2013. Kemendikbud Ristek berharap kurikulum prototipe ini bisa memberikan solusi pilihan bagi sekolah dalam mengatasi kehilangan pembelajaran atau loss learning selama pandemi covid dan mengakselerasi transformasi pendidikan nasional.
Dilihat dari beberapa karakteristiknya, kurikulum prototipe ini sepintas terlihat bagus dan bisa menjadi solusi loss learning selama pandemi. Tengok saja, kurikulum baru ini pembelajarannya dirancang berbasis project yang mengembangkan soft skills dan karakter pancasilais siswa, seperti akhlak mulia, gotong royong, kebhinekaan global, kemandirian, nalar kritis, dan kreatifitas. Pembelajaran berfokus pada materi inti dan esensial agar alokasi waktunya cukup bagi guru untuk melakukan proses pembelajaran yang mendalam, terutama pada kompetensi mendasar, seperti literasi dan numerasi. Selain itu, guru mengajar sesuai dengan kemampuan siswa atau dikenal dengan istilah teaching at the right level dengan penyesuaian konteks dan muatan lokal yang dapat dilakukan dengan lebih fleksibel.
Dalam hal pengadaan sumber belajar, penerapan kurikulum prototipe didukung melalui penyediaan buku teks serta pelatihan dan pendampingan bagi guru, kepala sekolah, dan dinas pendidikan. Buku panduan berupa teks modul dan perangkat bahan ajar lain disediakan secara digital melalui platform digital untuk guru. Buku cetak yang disediakan melalui aplikasi SIPlah dapat dicetak mandiri oleh pihak sekolah melalui bantuan BOS reguler, dukungan Pemda, dan yayasan. Pelatihan mandiri bagi guru dan kepala sekolah, juga dilaksanakan melalui mikro learning di platform digital, melalui program guru dan sekolah penggerak. Canggih, tapi mampukah mengatasi loss learning?
Hitam Putih Pergantian Kurikulum
Perubahan kurikulum di Indonesia sudah mengalami pergantian beberapa kali, mulai dari CBSA, KTSP, hingga Kurikulum 2013 atau biasa disingkat kurtilas. Pergantian kurikulum ini pastinya dilatarbelakangi beberapa sebab tertentu sehingga ada kebijakan untuk menerapkan kurikulum baru tersebut. Konon, penerapan kurikulum baru ini dilaksanakan untuk melengkapi dan menyempurnakan kekurangan yang ada pada kurikulum sebelumnya, karena telah dirancang dengan menelaah lebih dalam terkait apa saja yang menjadi kendala pada kurikulum sebelumnya. Harapannya, dikemudian hari dampak positif dari kurikulum baru dapat lebih meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, zaman yang berkembang dengan sangat cepat, membutuhkan adanya perubahan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan yang muncul. Dalam dunia pendidikan, fungsi kurikulum inilah yang diharapkan akan menjawab tantangan masa depan akibat tuntutan perubahan zaman tersebut, agar tetap mampu merealisasikan tujuan pendidikan.
Akan tetapi, Ibarat dua sisi mata uang, pergantian kurikulum juga bisa membawa dampak negatif, tidak hanya bagi guru dan sekolah, siswa pun bisa terdampak karena terjadi loss learning, terutama pada tahap awal pergantian kurikulum. Hal ini disebabkan karena guru belum mampu menerapkan kurikulum baru secara menyeluruh. Guru harus betul-betul memahami kurikulum baru beserta komponen-komponennya jika ingin menerapkannya dengan hasil yang maksimal. Sebab, sebaik apapun kurikulum baru yang dikembangkan, jika ujung tombaknya yaitu guru tidak mampu mengejawantahkannya dalam proses kegiatan pembelajaran dengan baik maka kurikulum tersebut pasti tidak akan berjalan dengan baik dan lancar.
Sosialisasi penerapan kurikulum baru juga membutuhkan waktu. Sosialisasi sangat penting untuk memberikan pemahaman tentang tujuan, kompetensi, serta capaian yang ingin dicapai dari kurikulum baru. Jika sosialisasi ini gagal, maka harapan kurikulum akan berhasil juga akan semakin kecil. Ujung-ujungnya adalah loss learning.
Selain itu, fasilitas pendidikan yang belum merata dan kurang memadai juga bisa mengakibatkan loss learning. Apalagi kurikulum prototipe ini menggunakan modul ataupun pelatihan yang berbasis digital. Sekolah-sekolah yang ada di kota besar pastinya akan mampu memenuhi tuntutan dari perubahan kurikulum tersebut. Akan tetapi, bagaimana dengan sekolah-sekolah di tempat terpencil yang serba terbatas, jauh dari akses transportasi apalagi tekhnologi? Tentu akan amat sangat kesulitan.
Kurikulum Pendidikan Islam, Jelas Lebih Berkualitas
Dalam konsep Islam, pendidikan yang diselenggarakan hendaknya dengan dasar akidah Islam yang lurus, yang tercermin pada penetapan arah pendidikan, penyusunan kurikulum, dan silabus, serta menjadi dasar dalam kegiatan belajar mengajar (KBM). Pendidikan diarahkan bagi terbentuknya karakter anak didik yang kepribadian Islam, yakni pribadi yang memiliki pola pikir Islam dan pola sikap Islam. Pendidikan Islam akan mendidik, membina, serta membekali mereka agar menguasai ilmu pengetahuan, sains dan teknologi serta tsaqafah Islam. Pendidikan juga harus menjadi sarana utama bagi dakwah dalam menyiapkan anak didik agar kelak menjadi kader-kader dakwah militan yang membina umat dan ikut memajukan masyarakat Islam. Kebijakan pendidikan seperti ini berlaku secara umum pada sekolah negeri maupun swasta.
Melalui kurikulum pendidikan unggul inilah, negara Islam akan memastikan bahwa warga negaranya mampu menguasai berbagai bidang keahlian yang diperlukan untuk kemajuan masyarakat, baik yang berkaitan dengan tsaqofah Islam seperti fiqih, tafsir, ulumul Quran dan hadits, dan semisalnya maupun dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, sains dan teknologi seperti teknik mesin, ilmu kimia, matematika, fisika, kedokteran, dan lain sebagainya.
Dari kurikulum pendidikan Islam inilah, Insyaallah tidak akan terjadi istilah loss learning, justru akan menghasilkan pembelajaran berkualitas yang akan melahirkan sosok istimewa dan mampu menjadi pemimpin politik dan pemerintahan serta militer semisal Abu Bakar ra, Khalid bin Walid ra, Shalahuddin al-Ayyubi, ataupun Muhammad al Fatih. Pada saat yang sama, lahir pula sosok-sosok yang luar biasa seperti Imam Abu Hanifah dan al-Khwarizmi, Ibnu Sina, Al Kindi, dan ilmuwan muslim lainnya, yang ahli dalam ilmu fikih maupun cabang ilmu tsaqafah Islam yang lain.
Sudah saatnya kurikulum pendidikan kita kembali kepada kurikulum pendidikan Islam. Kalau bukan sekarang, mau kapan lagi?
Views: 68
Comment here