Oleh : Ummu Utsman
wacana-edukasi.com— Omicron mengganas. Dilansir dari Bisnis.com, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Abraham Wirotomo menuturkan, pihaknya menerima laporan bahwa warga Jakarta mulai kesulitan mencari rumah sakit akibat merebaknya Covid-19 varian Omicron. Berdasarkan data pada Rabu (26/1/2022), keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR) di sejumlah rumah sakit di Jakarta mencapai 45 persen.
Padahal sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memastikan sistem kesehatan nasional saat ini telah siap menghadapi lonjakan kasus akibat varian Omicron. Namun, ia menekankan langkah preventif dari kesadaran masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan menjadi kunci utama untuk menekan laju penularan. Mulai dari vaksinasi terus digencarkan. Kemudian, obat dan rumah sakit telah disiapkan (Republika.co.id, 16/1/22).
Pandemi Covid-19 belum usai. Kini muncul varian baru Omicron yang terus melaju. Data Dinas Kesehatan DKI juga memaparkan penularan virus Covid-19 varian Omicron terus meningkat di Jakarta. Dalam keterangan tertulis, 988 orang yang terinfeksi Omicron. Sebanyak 663 orang adalah pelaku perjalanan luar negeri, sedangkan 325 lainnya adalah transmisi lokal (Merdeka.com, 20/1/22).
Adapun sebelumnya, pada 20 Desember 2021, Luhut pernah menegaskan bahwa pemerintah akan mulai melakukan pengetatan jika kasus Covid-19 melebihi 500 kasus dan 1.000 kasus per hari.
Hal itu disampaikannya saat konferensi pers evaluasi PPKM.
“Kami akan memulai melakukan pengetatan ketika kasusnya melebihi 500 dan 1.000 kasus per hari,” ujar Luhut saat itu. (kompas.com)
Untuk menghadapi Omicron, tentunya negara harus memiliki persiapan yang maksimal. Jangan meremehkan sedikit pun, karena ini menyangkut hajat hidup rakyat. Sebut saja, dengan menyiapkan fasilitas kesehatan yang memadai, obat-obatan, RS, ICU, ventilator, dan lain sebagainya. Karena penanganan pandemi ini tidak cukup hanya skala individual, tetapi harus serempak dan totalitas dari semua pihak.
Namun sayang, pada kenyataannya pemerintah seolah terkesan masih menganggap remeh. Pernyataan Luhut yang mengatakan bahwa pemerintah akan melakukan pengetatan ketika kasus melebihi 500 dan 1000 kasus per hari menjadi buktinya.
Jadi, haruskah menunggu ratusan bahkan ribuan jiwa rakyatnya dalam bahaya baru dilakukan upaya pengetatan? Inilah watak asli sistem kapitalisme. Pengetatan aktivitas ditunda-tunda atau bahkan tidak dilakukan sama sekali karena pemerintah lebih mementingkan stabilitas ekonomi. Seperti dari awal pandemi covid-19 merebak di Indonesia, upaya lockdown yang sejatinya bisa menjadi solusi atasi wabah malah tidak dilakukan. Padahal hal ini termaktub dalam Undang-Undang kekarantinaan kesehatan.
Belum lagi permasalahan dana penanganan covid-19. Untuk diketahui, Dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI pada 19 Januari 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut akan menggunakan sebagian anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dari COVID-19 untuk mendanai pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. (Kumparan.com)
Mengapa hal ini bisa terjadi? Dana yang seharusnya digunakan untuk pemulihan ekonomi nasional dari covid-19 yang notabene hak rakyat malah dipangkas juga. Sungguh ironis!
Sistem kapitalisme menjunjung tinggi asas manfaat. Suatu keputusan akan sangat dipertimbangkan. Ketika lebih menguntungkan secara ekonomi, itulah keputusan yang akan diambil dan diberlakukan.
Nyawa rakyat hanya dianggap sebatas angka-angka. Bahkan angka-angka tersebut atau datanya pun masih harus dipertanyakan akurat atau tidaknya. Padahal keselamatan nyawa rakyat seharusnya menjadi prioritas utama. Meski faktor ekonomi juga menjadi faktor vital, namun nyawa manusia tentu lebih penting.
Negara merupakan aktor utama yang mampu mengoordinasi seluruh elemen penanggulangan wabah agar dapat berjalan dengan lancar. Tentu wabah Covid-19 ini tidak akan terselesaikan dalam negara yang menerapkan sistem sekularisme kapitalisme. Sistem ini akan cenderung memilih mengorbankan nyawa rakyat untuk menjaga stabilitas ekonominya.
Berharap solusi pada aturan yang dikeluarkan oleh sistem kapitalis tidak akan menemukan titik akhir. Yang ada hanyalah tambal sulam semata. Maka dari itu, solusi terbaik adalah bukan dengan mengganti kebijakannya, melainkan dengan mengganti sistemnya.
Islam yang berasal dari Allah SWT nyatanya bukanlah sekadar agama ritual. Islam merupakan ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dalam bernegara pun telah ada aturannya dalam Islam. Bahkan dalam sejarahnya, Islam mampu menghilangkan wabah tha’un yang terjadi saat itu.
Dalam sistem Islam, nyawa seorang manusia sangatlah berharga. Ketika terjadi wabah tha’un saat itu yang diprioritaskan adalah nyawa rakyat. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah, “jikalau kalian mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi di daerah kalian berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. Bukhari & Muslim)
Ganasnya varian Omicron sekaligus pandemi Covid-19 hanya bisa diselesaikan dengan sistem yang memprioritaskan nyawa manusia, yaitu sistem yang menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam institusi negara (khilafah).
Wallahu a’lam bishawab
Views: 6
Comment here