Oleh: Lilie Herny
wacana-edukasi.com– Jargonnya “dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat”. Janjinya suara mayoritas yang akan diutamakan. Itulah madu yang selalu dihembuskan demokrasi. Manis tapi menyakitkan.
Pada faktanya demokrasi tidaklah semanis yang dipropagandakan. Kenyataannya yang berkuasa dan menentukan kebijakan justru para oligarki. Kekuasaan dikendalikan oleh segelintir orang dengan mengatasnamakan suara rakyat. Hukum dan undang-undang dibuat sesuai kepentingan mereka. Yang penting pundi-pundi uang mereka terus bertambah, habis perkara. Urusan rakyat banyak yang protes, demo dan menghujat dengan kebijakan yang mereka buat masa bodohlah. Ibarat anjing menggonggong kafilah berlalu. Undang-undang tetap akan disahkan dan diketok palu. Miris.
Seperti berita terpanas beberapa pekan terakhir ini, pemerintah tetep ngotot merealisasikan pemindahan IKN, Ibu Kota Negara ke daerah Penajam Paser Utara Kalimantan Timur. Padahal kondisi negeri ini mengalami krisis multidimensi. Pandemi covid-19 yang tak berkesudahan, perekonomian kacau, puluhan juta rakyat hidup di bawah garis kemiskinan, kriminalitas, pengangguran, bahkan utang luar negri yang menumpuk hingga mencapai 7 ribu trilyun rupiah. Luar biasa.
Walaupun jutaan rakyat tidak setuju dengan rencana pemerintah untuk pindah ibu kota, tetapi pemerintah tetap mengesahkan UU IKN. Bahkan warga Penajam Paser Utara pun merasa tidak pernah dimintai persetujuan terkait pembangunan ibu kota baru tersebut. Hal ini menimbulkan tanda tanya dan kecurigaan di tengah masyarakat, untuk siapa sebenarnya proyek IKN tersebut? Mengapa terlalu dipaksakan di tengah krisis seperti ini? Yang jelas secara kasat mata, rakyat yang masih mempunya hati nurani sudah bisa membaca, kalau proyek IKN hanya menguntungkan kaum oligarki, terutama para investor dan pihak asing bukan rakyat.
Inilah potret buram demokrasi, melalui mereka yang katanya wakil rakyat, disahkan berbagai kebijakan yang berpihak kepada para pengusaha dan pemilik modal. Bahkan banyak pengusaha yang duduk di lembaga pemerintah, sehingga semakin mudahlah mereka membuat tipu daya. Menko polhukam Mahfud MD pernah blak-blakan mengutarakan bahwa UU yang dibuat harus sesuai dengan pesanan sponsor pihak tertentu.
“Problem kita sekarang dalam membuat aturan hukum sering kacau balau, pasal-pasalnya dibuat karena pesanan, undang-undang perda di buat karena pesanan juga ada, disponsori orang- orang tertentu agar ada aturan tertentu” (New.detik.com.19/12/2019).
Ironisnya meskipun rakyat berkali-kali tertipu dengan janji manis demokrasi, banyak yang masih belum sadar juga kalau mereka tertipu. Mereka masih berharap dengan berganti pemimpin maka masalah akan selesai. Padahal selalu berulang, setiap pemilu dan pemimpin baru terpilih, nasib negeri ini tak juga berubah, bahkan semakin banyak masalah.
Sistem demokrasi sudah pasti berbeda dengan sistem Islam. Perbedaan yang mendasar adalah dari asasnya yang menjadi sumber lahirnya sistem itu. Demokrasi lahir dari hasil kejeniusan manusia yang sarat dengan kelemahan dan kekurangan sedangkan sistem Islam berasal dari Allah SWT, sang pencipta manusia dan alam semesta. Allah lebih tahu kelemahan dan kelebihan manusia. Di dalam sistem demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat. Yang sedangkan di dalam sistem Islam kedaulatan ada di tangan syara’ yang bersumber pada Alquran dan Sunnah Rosul.
Karena itu di dalam sistem Islam hukum dan undang-undang yang diterapkan adalah hukum yang berasal dari Allah SWT, sehingga tidak ada celah bagi penguasa untuk membuat hukum sendiri yang menguntungkan dirinya dan kelompoknya. Di sistem demokrasi hukum dibuat oleh orang-orang yang duduk di parlemen. Hukum dibuat berdasarkan kepentingan bahkan berdasarkan pesanan pihak-pihak yang mensponsorinya.
Untuk menyerap aspirasi umat, di dalam Islam ada majelis umat yang berfungsi menyampaikan aspirasi masyarakat dan sekaligus menjalankan fungsi amar ma’ruf nahi munkar. Majelis umat berkewajiban menegur Kholifah dan pejabatnya jika melenceng dari syari’at Islam dan buruk dalam melayani umat. Tidak akan ada suap menyuap karena mereka menjalankan tugasnya di atas landasan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.
Di dalam pemerintahan kholifah sebagai pemimpin tertinggi wajib bertanggung jawab penuh terhadap seluruh rakyatnya. Dia tidak akan bisa tidur nyenyak sebelum terlebih dulu memastikan apakah rakyatnya sudah terpenuhi kebutuhan atau belum. Hal ini menunjukkan bahwa kholifah sejatinya adalah pelindung dan pelayan bagi rakyatnya. Seperti dalam hadist berikut ini.
“Sesungguhnya imam (penguasa) laksana perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan dia sebagai tameng, jika dia memerintahkan ketakwaan kepada Allah SWT dan berlaku adil, maka dengan itu dia akan mendapatkan pahala, jika memerintahkan yang lain dia akan mendapatkan dosa (HR Al Bukhori/Muslim).
Demikianlah, sesungguhnya tidak ada yang bisa memberikan keadilan dan pembelaan pada umat kecuali sistem Islam dengan syariatnya yang agung. Syariat Islam kaffah itu hanya akan bisa diterapkan di sebuah negara yang menjadikan aqidah Islam sebagai satu-satunya azas negaranya. Dialah daulah Islam ‘ala min hajinnubuwah. Wallahu a’lam.
Views: 22
Comment here