wacana-edukasi.com–Penghapusan premium dan pertalite telah lama menjadi topik hangat dalam agenda rapat para dewan. Melalui situs resmi ESDM, penghapusan dua jenis BBM itu dilakukan pemerintah dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan dengan mendorong penggunaan BBM yang ramah lingkungan. Penghapusan Bahan Bakar Minyak (BBM) oktan rendah jenis premium dan pertalite dimaksudkan untuk mengurangi emisi karbon dan menuju energi hijau yang ramah lingkungan.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan bahwa penghapusan Premium tidak akan berdampak pada masyarakat sebab konsumsinya relatif kecil. Bahkan penghapusan Premium tidak akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat karena konsumen Premium sudah semakin kecil.” (27/01/22 detikfinance.com)
Ini akan berbeda apabila Pertalite yang akhirnya dihapuskan. Sebab, saat ini konsumsinya telah mencapai 80% sehingga tentu saja akan berdampak pada terkereknya inflasi dan tergerusnya daya beli masyarakat. Hal ini pun berakibat buruk pula bagi pemulihan ekonomi di tengah pandemi.
Kebijakan penghapusan BBM oktan rendah ini berawal dari penandatanganan Perjanjian Paris atau Paris Agreement oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam perjanjian ini Indonesia menyanggupi untuk mengurangi emisi gas karbon 29% hingga 40% pada 2050. Guna menindaklajuti hasil dari _paris agreement_ Indonesia melalui kementrian ESDM dan pertamina, membuat program kebijakan ‘langit biru’.
Program langit biru merupakan program yang bertujuan untuk mengendalikan dan mencegah pencemaran udara dan mewujudkan perilaku sadar lingkungan baik dari sumber tidak bergerak (industri) maupun sumber bergerak yaitu kendaraan bermotor.(Dephub.go.id 27/01/22)
Menurut Pakar ekonomi Universitas Cendrawasih Ferdinand Risamasu program tersebut tepat guna membangun kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi BBM ramah lingkungan. Lantas, benarkah program tersebut memang murni bertujuan untuk mengurangi emisi karbon? Atau memang ada motif lain yang mendasari terbitnya program tersebut?
Penghapusan bahan bakar minyak (BBM) oktan rendah secara hakikatnya merupakan upaya terselubung liberalisasi migas di sektor hilir. Dimana sejatinya harga BBM lantas diserahkan kepada mekanisme pasar.
Jika kebijakan ini di lanjutkan tentunya akan berdampak pada perekonomian masyarakat khususnya untuk masyarakat menengah kebawah. kenaikan harga BBM secara simultan juga akan mengerek kenaikan harga-harga bahan makanan.
Lalu, siapa yang diuntungkan? Tidak lain adalah pihak asing, di mana penghapusan BBM beroktan rendah ini akan membuka peluang kepada asing untuk ikut bermain di sektor hilir demi meraup lebih banyak cuan dari yang telah mereka timbun melalui penguasaan BBM di sektor hulu.
Demikianlah sistem kapitalis bermain. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Akankah kita masih mau bertahan dengan sistem yang batil ini?
Islam memandang bahwa seluruh kekayaan alam yang menguasai hajat hidup manusia adalah harta milik umum. Harta milik umum diantaranya meliputi emas, minyak, batu bara dansebagainya. Negara di larang menyerahkan pengelolaannya baik kepada individu maupun korporasi. Negara lah pihak yang bertanggung jawab untuk mengelola harta milik umum tersebut dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat.
Sebagaimana sabda Nabi SAW : “Kaum muslim berserikat pada tiga hal yaitu air, api dan padang gembalaan.” (HR. Abu Dawud)
Dari hadist ini di pahami bahwa negara wajib mengelolanya agar rakyat dapat memanfaatkan hasilnya. Sehingga seharusnya jika di atur sesuai aturan Islam, maka pengelolaan minyak bumi hasilnya harus di kembalikan seutuhnya kepada rakyat.
Demikianlah Islam mengatur harta kepemilikan umum yang harusnya di gunakan sepenuhnya untuk kemaslahatan ummat. Ketika Islam di terapkan tentunya tidak akan ada lagi celah bagi para kapital untuk menguasai hak-hak rakyat. Ketika Islam di terapkan kesejahteraan akan nampak dalam seluruh aspek kehidupan.
Ali Afan, S.Pd.
Views: 4
Comment here