Oleh Ummu Adibsa
Jargon pemimpin dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat yang diusung oleh sistem politik demokrasi nyatanya hanya bersifat teoritis.
http://Wacana-edukasi.com — Sekalipun pilpres baru akan diselenggarakan 2 tahun mendatang, yakni pada tahun 2024, namun sejumlah kandidat paslon sudah digembar-gemborkan dalam kontestasi pemilihan itu. Ada yang mengusulkan pasangan Puan-Ganjar yang ditujukan untuk meredam isu konflik internal dalam partai mereka. Ada pula yang mengusulkan Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin untuk maju menjadi calon presiden (capres) melalui pemilihan umum nanti. Nama Erick Thohir pun juga muncul sebagai capres tahun 2024 mendatang.
Harapan rakyat memiliki pemimpin yang adil, amanah dan benar-benar mengurusi kepentingan rakyat merupakan hal wajar yang diinginkan oleh seluruh rakyat. Namun, hal penting yang harus disadari adalah keberadaan pemimpin tidak akan lepas dari sistem politik yang mengatur masalah kepemimpinan tersebut.
Jargon pemimpin dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat yang diusung oleh sistem politik demokrasi nyatanya hanya bersifat teoritis. Pada praktiknya, pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang merepresentasikan siapa pemodal yang ada di balik kemenangannya itu. Pasalnya, mahar politik dalam sistem demokrasi begitu mahal, seperti biaya kampanye, uang serangan subuh, dan sebagainya.
Semua itu dilakukan agar mereka mendapatkan suara mayoritas masyarakat yang dijadikan sebagai legalitas untuk dapat berkuasa. Pada hasilnya, kita bisa melihat bagaimana kepemimpinan yang ada dalam sistem politik demokrasi ini. Misalnya seperti, pejabat korup, KKN, oligarki, korporatokrasi menjadi fenomena dalam jajaran kekuasaan.
Masyarakat hanya dijadikan sebagi vote getter. Selepas pemilu, rakyat ditinggalkan, penguasa sibuk bagi-bagi kursi kekuasaan, mereka sibuk menjadi pelayan para kapital. Oleh karena itu, sekalipun saat ini ekonomi dan kesehatan rakyat makin berat karena pandemi belum usai, para elit tetap makin gencar menonjolkan ambisinya dalam kontestasi pilpres 2024 mendatang. Karena, dengan adanya pilpres peluang mereka menjadi pemegang kebijakan yang notabenenya untuk meraup pundi-pundi kekayaan dan kekuasaan semakin besar.
Rakyat seharusnya belajar dari adanya pilpres-pilpres yang telah berlalu terlebih pada pilpres tahun 2019 silam. Sekalipun salah satu paslon mendapatkan dukungan dari umat dan ulama, namun setelah pesta demokrasi usai, maka usai pula perselisihan di antara para paslon. Mereka kembali berkoalisi dan membagi-bagi kekuasaan. Inilah watak politisi yang lahir dari sistem demokrasi yang harus rakyat sadari. Sangat berbeda kualitas politisi yang ada di dalam sistem Islam. Dasar kepemimpinan dalam Islam adalah ri’ayatus su’unil ummah (mengurusi urusan/kepentingan ummah/rakyat). Maka, penguasa yang lahir darinya akan menjadi pelayan dan pelindung umat atau rakyat, sebagaimana hadits Rasulullah SAW:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari)
Dalam kitab Ajhizah Daulatul Khilafah karya Syaikh Taqiyuddin an Nabhani, dijelaskan bahwa sifat raa’in dan junnah bagi pemimpin yang disematkan oleh Rasulullah SAW, menunjukkan adanya Ikhbâr (pemberitahuan) terhadap eksistensi seorang imam/khalifah. Jika Ikhbâr ini datang dari Allah SWT dan Rasulullah SAW mengandung celaan maka ada tuntutan untuk meninggalkannya yang disebut dengan larangan. Jika mengandung pujian kemudian ada tuntutan untuk melakukannya yang disebut dengan perintah. Sehingga sifat dari pemimpin dan politisi dalam sistem Islam yang disebut dengan Khilafah ini akan benar-benar mengurusi kepentingan rakyat sesuai dengan apa yang diperintahkan di dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Begitu pula dalam pemilihan calon khalifah dan pejabat publik yang didasarkan pada kemampuan mereka dalam mengurus kepentingan rakyat dan memberi kepentingan terhadap mereka. Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para khalifah setelahnya. Maka, dalam sistem khilafah akan mudah menemukan sosok pemimpin sekelas seperti Umar bin Khattabyang benar-benar mengurusi rakyatnya dikala bencana kelaparan melanda dan wabah tha’un. Khalifah Harun Ar-Rasyid yang terkenal karena kesejahteraan rakyatnya dan pengembangan ilmu pengetahuan. Kepemimpinannya hanya 2 tahun dan mampu menihilkan kemiskinan.
Fakta sejarah para pemimpin ini hanya secuil gambaran ketika mereka berkuasa dan mengurus kepentingan rakyat. Oleh karena itu, umat seharusnya memiliki agenda politik sendiri yang menghadirkan kepemimpinan Islam jika menginginkan penguasa yang peduli dengan rakyat. Bukan malah tertipu lagi dalam pencitraan politis dalam sistem demokrasi.
Wallahu a’lam bishowab
Views: 15
Comment here