Opini

JHT, Bukti Zalimnya Kepemimpinan Kapitalis

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Lilie Herny

(Aktivis Muslimah dan Pemerhati Sosial)

Dalam sistem Islam tidak harus ada tunjangan hari tua atau jaminan kehilangan pekerjaan. Karena pemerintah berkewajiban membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyatnya, memberi modal kerja bagi yang tak mampu untuk membuka usaha.

Wacana-edukasi.com — Lagi-lagi rakyat disuguhi kabar yang tak menyenangkan, yaitu soal aturan permennaker No.2 tahun 2022 tentang jaminan hari tua (JHT) hanya bisa cair 100 persen jika usia 56 tahun. Menteri ketenagakerjaan Ida Faujiyah menjelaskan bahwa penerapan aturan pencairan dana JHT di usia 56 tahun itu merupakan bentuk sayang pemerintah terhadap pekerja. Menurutnya pencairan JHT di usia 56 tahun sudah tepat karena akan menjamin kehidupan masa tua para pekerja (CNN Indonesia, 18/2/2022).

Pemberlakuan permennaker 2 /2022 tersebut terus menuai protes dari masyarakat, terutama kaum buruh. Mereka memandang permennaker sangat zalim dan tidak berperikemanusiaan, karena berdasarkan aturan sebelumnya permennaker 19/2015, JHT bisa diklaim dalam jangka 1 bulan setelah pekerja habis kontrak/ mengundurkan diri.

Klaim pemerintah bahwa penahanan uang JHT adalah bentuk sayang, tentunya sangat melukai hati buruh. Ini sama saja dengan sikap orang tua yang mengatakan sayang pada anaknya, tetapi pada faktanya anaknya ditelantarkan. Bukankah bohong namanya? Hanya pencitraan saja, tapi faktanya nihil. Padahal rakyat sebagai pemilik uang tersebut sangat membutuhkannya, apalagi di tengah pandemi seperti ini, di saat barang-barang kebutuhan semakin mahal tak terbeli.

JHT pada dasarnya adalah pertahanan terakhir para buruh. Dengan uang JHT mereka bisa sedikit bernafas untuk menyambung hidup kembali, jika mereka di PHK, entah itu untuk usaha/ biaya hidup selama mereka menganggur.

Kehidupan para buruh di sistem kapitalis ini makin miris, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini tidak pernah berpihak kepada mereka. Sebagai contoh UU Omnibus Law Cipta Kerja yang lebih condong membela korporasi dari pada berpihak kepada buruh, kemudian yang terbaru mengenai baleid , PP 36 /2021 tentang pengupahan yang membuat UMK beberapa daerah tidak naik. Jikapun naik itu hanya sedikit dan tidak sebanding dengan kenaikan inflasinya. Artinya, jika inflasi lebih tinggi dari pada presentasi kenaikan upah, yang terjadi malah penurunan upah. Bayangkan kala sembako membumbung tinggi , kebutuhan dasar (tarif listrik, air, BBM) semua naik, tetapi pemasukan berkurang, maka yang terjadi adalah besar pasak dari pada tiang.

Demikianlah, sistem kapitalis demokrasi yang diterapkan di negeri ini hanya memosisikan negara sebagai regulator saja. SDA pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta dan asing, hubungan negara dan rakyatnya pun seperti hubungan penjual dan pembeli, hanya mengharapkan keuntungan saja dari rakyatnya.

Di sistem demokrasi kapitalis ini penguasa bermental pedagang. Mereka menjadikan jabatan hanya sebagai wasilah pendulang keuntungan. Maka, akan terjalin simbiosis mutualisme antara peguasa dan pengusaha, jadilah keduanya berkolaborasi mencari keuntungan, mengeruk harta rakyat dan merampas hak-haknya.

Fakta inilah yang seharusnya mendorong kita untuk segera mencampakkan paradigma kepemimpinan kapitalis yang bersumber dari akal dan nafsu. Model kepemimpinan yang menjadi sumber malapetaka dalam kehidupan manusia.

Kepemimpinan dalam Islam

Sistem kepemimpinan dalam Islam adalah kekhilafahan, yang tegak di atasnya ruh berupa landasan keimanan yang sohih, serta aturan hidup yang sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dalam Islam, pemimpin adalah pengurus (raa’in) dan penjaga umat (junnah), bukan penguasa yang seenaknya memeras rakyat.
Dari Ibnu Umar Ra Rosulullah SAW bersabda, “Setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya.” (HR Muslim).

Dalam sistem Islam tidak harus ada tunjangan hari tua atau jaminan kehilangan pekerjaan. Karena pemerintah berkewajiban membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyatnya, memberi modal kerja bagi yang tak mampu untuk membuka usaha. Pembahasan upah dan jaminan kebutuhan hidup juga dibahas terpisah di dalam sistem Islam.

Pembahasan upah adalah akad antara majikan dan pegawai. Pemerintah tidak boleh ikut campur dalam menentukan upah. Kecuali jika ada pertikaian antara kedua belah pihak. Jika begitu, pemerintah harus memilihkan pakar untuk menentukan besaran upah pegawai.

Pemerintahan di dalam sistem Islam juga akan menentukan upah berdasarkan manfaat kerja yang dihasilkan oleh pekerja dan dinikmati oleh pengusaha tanpa membebani pengusaha dengan jaminan sosial, kesehatan dan JHT.

Sedangkan jaminan kebutuhan hidup bukanlah tanggung jawab majikan. Dalam Islam negara lah yang bertanggung jawab menjamin kehidupan rakyatnya. Baik kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Dananya diambilkan dari dana Baitul mal, yang salah satu sumbernya dari kepemilikan umum, SDA dikelola langsung oleh negara , dan tidak diserahkan kepada pihak asing.

Walhasil, keberadaan khilafah sebagai kepemimpinan Islam merupakan satu-satunya solusi untuk memecahkan persoalan ini, sedangkan kholifah sebagai pemimpin akan menjalankan tugasnya dengan penuh amanah, dan mengimplementasikan seluruh aturan dan hukum-hukum Islam dengan dorongan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dengan demikian, hanya sistem Islam lah yang mampu mewujudkan rahmat bagi seluruh alam.

Wallahu A’lam Bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 4

Comment here