Opini

Surat Edaran Pengaturan Adzan, Upaya Mengebiri Syiar Islam

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Eti Ummu Nadia

“Seseorang akan berperilaku sesuai dengan cara berpikirnya, dan cara berpikirnya ditentukan oleh pemahamannya.”

Wacana-edukasi.com — Pernyataan Menteri Agama (Yaqut Cholil Qoumas tentang pengeras suara masjid ataupun mushala menjadi polemik. Karena pejabat tersebut menganalogikan suara adzan dengan gonggongan anjing ditengah penjelasannya tentang aturan suara adzan. Pernyataan itu disampaikan saat ditanyai perihal aturan adzan di Gedung Daerah Propinsi Riau, Rabu (23/02/2022). Pejabat tersebut mengatakan bahwa tidak ada larangan adzan, akan tetapi mengatur volumenya.

Sebelumnya juga sudah terbit surat edaran pengaturan terkait volume adzan. Pihaknya tidak melarang masjid ataupun mushala untuk menggunakan toa karena itu merupakan syiar agama Islam. Akan tetapi ini harus diatur volume speakernya tidak boleh kencang-kencang. Dia menyebutkan maksimal 100 desibel suara toanya. Aturan ini pun semata-mata tujuannya demi menjaga keharmonisan masyarakat.

Pejabat itu pun mengatakan jika toa dinyalakan secara bersamaan, maka itu bukan lagi syiar agama, akan tetapi menjadi gangguan di sekitarnya karena mendengar toa sehari 5 kali. Apalagi jika penduduk setempat ada non muslim. Diibaratkannya tetangga kita mempunyai anjing semua, kemudian anjing tersebut menggonggong secara bersamaan, kita akan terganggu tidak?  (detik.news, Kamis (24/02/2022).

Tak ayal pernyataan tersebut menuai kritikan. Salah satunya dari Ketua Komisi VII DPR, RI, Yandri Susanto yang menanggapi Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang pengeras suara toa masjid atau mushala. Menurutnya, peraturan tersebut tidak bisa digeneralisasi di seluruh daerah. Surat edaran itu tidak bisa digeneralisir ujarnya. Karena tidak mungkin aturan itu diterapkan dari Sabang sampai Merauke. Ada daerah tertentu yang tidak bisa diatur-atur suara adzannya. Seperti Sumatera yang jarak rumahnya jauh-jauh, kalau volume adzannya 100 desibel, gak akan kedengaran, ujarnya.

Yandri juga mengatakan jangan sampai Surat Edaran itu memunculkan konflik horizontal. Yandri meminta Menteri Agama mengevaluasi agar tidak menggeneralisasi aturan tersebut. Menurut Yandri, evaluasi perlu dilakukan Pejabat Agama demi menghindari kemarahan publik lebih besar. Kemudian Yandri meminta dijelaskan oleh Menteri Agama itu aturan penggunaan pengerasan suara tersebut. Sebab, selama ini tidak pernah ada masalah muncul terkait adzan. Komisi VII DPR RI Yandri Susanto itu meminta Menteri Agama untuk menunjukan beberapa tempat yang selama ini terganggu dengan suara adzan atau pun protes keras dari masyarakat. Tapi kalau gak ada, kenapa dipersoalkan? Justru dengan diatur-atur begini, publik seperti marah. Nah marah ini menurutnya mesti diluruskan ucapnya. (Republika.co.id, 25/02/2022).

Sungguh miris melihat kondisi saat ini, di saat masyarakat masih menghadapi dampak dari covid-19 yang belum usai, ekonomi melemah, minyak langka, kacang kedelai dan daging mahal, ditambah juga bahan pokok lainnya. Di saat masyarakat menginginkan penurunan harga sembako demi meringankan beban masyarakat, tapi publik justru dibuat tercengang dengan aturan penurunan volume toa masjid.

Bagaimana bisa Menteri Agama yang notabenenya seorang muslim bisa berpikiran untuk menyamakan suara adzan dengan gonggongan anjing? Tentu saja perbedaannya sangat jauh antara suara adzan dengan gonggongan anjing, ibaratnya antara langit dan bumi. Suara adzan merupakan syiar agama Islam, dan kalimat yang suci jadi tidak sepantasnya dibandingkan dengan hewan yang najis. Jika ada umat Islam yang berpikiran seperti itu, jelas cacat pemahaman dan keimanannya. Sebagaimana dalam kitab Nidzamul Islam bab “Thariqul Iman” karya Syekh Taqiyuddin An-Nabani.

“Seseorang akan berperilaku sesuai dengan cara berpikirnya, dan cara berpikirnya ditentukan oleh pemahamannya.”

Jadi, akar masalahnya ada pada pemahaman. Jika pemahaman seseorang itu salah atau cacat, tentu saja hasil berpikirnya akan salah dan cacat juga.

Maka narasi yang diciptakan oleh Menteri Agama ini yang terkesan membandingkan suara adzan dengan gonggongan anjing, muncul dari pemahaman umat yang sekuler dan liberal. Sekularisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga agama hanya dijadikan ibadah ritual saja, tidak diterapkan ditempat lain seperti tempat kerja, sekolah, bahkan politik dan lain sebagainya. Adapun Liberalisme adalah paham kebebasan. Manusia bebas melakukan apa pun tanpa harus agama ikut campur. Demokrasi yang lebih menjamin pada kebebasan berpendapat. Akibatnya seseorang bebas berpendapat tanpa memikirkan apa itu berdampak baik atau tidak, manfaat atau tidak. Seperti kasus pelecehan agama atau pun penistaan agama. Alhasil pernyataan “membandingkan suara adzan dengan suara gonggongan anjing” menjadi hal biasa dari sudut pandang mereka. Bahkan sebelumnya juga kerap terjadi penistaan agama, Islam dihina, kemudian simbol-simbol agama Islam dilecehkan.

Masih ingat dengan pernyataan seorang ibu berkonde, yang membandingkan suara kidung lebih merdu daripada suara adzan? Pernyataan tersebut jelas melecehkan agama Islam. Akan tetapi kasusnya tidak ditindaklanjuti meski sudah ada laporan. Ini adalah salah satu dari sekian kasus penistaan agama lainnya. Apakah setiap kasus penistaan agama ini akan ditindak lanjuti? Atau justru kaum muslim harus kembali menelan kepahitan, karena simbol agama mereka selalu dilecehkan.

Inilah bukti bahwa sistem yang diemban sekarang memang terbukti gagal melindungi simbol-simbol agama Islam. Meskipun Islam menjadi agama terbesar di dunia, dan mayoritas di negara kita, tapi justru Islam selalu menjadi obyek untuk dikerdilkan. Sebenarnya apa faktor penyebabnya? Semua itu dikarenakan sistem sekularisme – liberalisme. Walaupun umat Islam menjadi umat terbanyak, akan tetapi banyak dari mereka yang tidak memahami syariat Islam secara utuh. Karena pemahaman dan pemikiran umat sudah diracuni dengan paham yang salah, yaitu paham yang mengadopsi dari Barat bukan dari syariat Islam. Alhasil penistaan dan pelecahan simbol agama Islam pun kerap terulang, bukan dari nonmuslim saja, bahkan seorang muslim sekalipun. Tidak menutup kemungkinan hal serupa bisa terulang jika seorang penista agama tidak diberi sanksi tegas. Mau itu pejabat, ataupun rakyat biasa. Selama sistem kufur yang diterapkan, sanksi tegas bagi para penista agama akan sulit didapatkan.

Kondisi seperti ini tak akan terjadi jika kaum Muslim dipimpin oleh kepemimpinan Islam yakni khilafah. Karena Khilafah merupakan pelindung dan penjaga kaum muslim dan warga negaranya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu (laksana) perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya, (mendukung, dan berlindung (dari musuh) dengan kekuasaan) nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (Khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika ia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasai, Abu Daud, Ahmad).

Khilafah menjaga agar keimanan kaum muslim tetap tersuasanakan. Karena itu merupakan salah satu bentuk perlindungan Khilafah. Bagi warga nonmuslim, mereka akan tersuasana dengan kebaikan. Oleh karena itu suara adzan tidak akan jadi masalah dan tidak akan diperkarakan. Karena mereka memahami hakikatnya suara adzan merupakan syiar agama Islam yang merupakan panggilan shalat bagi umat Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Jika adzan untuk sholat dikumandangkan, maka pintu-pintu langit dibuka, dan doa-doa dikabulkan.” (HR. Ath, Thayalisi, Silsilah Ash Shaihah, no 1413).

Bahkan suara yang disukai Rasulullah SAW adalah adzannya Sahabat Bilal bin Rabbah.

Jika dilihat dari sejarah, bahwa di masa kepemimpinan khilafah yang selama 1300 Tahun lamanya memimpin dunia dengan penerapan syariat Islamnya, terbukti mampu menjaga dan melindungi umat Islam atau pun nonmuslim. Sehingga, kaum muslim dan nonmuslim dapat hidup berdampingan dengan rukun. Seperti contoh di kota Andalusia yang di setiap sudut kotanya memiliki masjid-masjid yang mengumandangkan adzan. Walaupun di kota peradaban tersebut ada 3 agama besar seperti Islam, Nasrani dan Yahudi, akan tetapi mereka hidup dengan harmonis. Itulah gambaran ketika umat dipimpin oleh kepemimpinan Islam di bawah naungan khilafah islamiyyah.

Wallahu’alam Bishawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 20

Comment here