Oleh: Dwi Indah Lestari
wacana-edukasi.com– Kasus penembakan laskar FPI beberapa waktu lalu, banyak mengundang perhatian publik. Setelah perjalanan panjang penegakan hukum kasus tersebut, masyarakat akhirnya harus menelan pil pahit, dengan vonis bebas untuk para pembunuhnya. Benarkah keadilan telah lumpuh di negeri ini?
Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan akhirnya bisa menghirup napas lega, setelah Ketua Majelis Hakim M Arif Nuryanta menjatuhkan vonis bebas untuk keduanya atas kasus pembunuhan anggota Laskar Pembela Islam (FPI) pada Desember 2020 lalu. Meskipun terdakwa sebenarnya dinyatakan bersalah telah membunuh, namun hakim memutuskan tidak dapat dikenai hukuman karena dalam rangka membela diri (cnnindonesia.com, 18/3/2022).
Keadilan Telah Lumpuh?
Miris. Kenyataan ini tak pelak mengusik rasa keadilan publik. Sebegitu murahkah harga nyawa manusia di negeri ini? Sehingga dihilangkan dengan begitu mudahnya tanpa mendapatkan balasan yang setimpal. Padahal kedua terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan membunuh secara sengaja dan dituntut 6 tahun penjara oleh jaksa penuntut sesuai dakwaan primer pasal 338 KUHP tentang pembunuhan secara sengaja juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Vonis bebas tersebut jelas tidak memenuhi rasa keadilan yang seharusnya diterima oleh korban dan keluarganya. Bahkan kalau ditimbang dari tuntutan hukuman 6 tahun penjara itu saja, juga tidak sebanding dengan hilangnya nyawa para korban. Ironisnya lagi, selain melepaskan, hakim juga memerintahkan agar hak-hak, kemampuan, dan martabat kedua polisi itu dipulihkan.
Bagaimana bisa hanya karena alasan membela diri, para pelaku pembunuhan itu bisa dilepaskan begitu saja? Bila demikian, seharusnya seseorang yang membunuh begal karena membela diri, atau suami yang membunuh pemerkosa, juga tidak boleh dijatuhi sanksi apapun. Namun pada faktanya mengapa hukum tidak diterapkan sama?
Dari realitas ini, masyarakat seharusnya dapat melihat bagaimana praktik sanksi yang diterapkan dalam sistem sekuler demokrasi yang berlaku saat ini. Sudah berkali-kali publik harus menyaksikan ketimpangan hukum yang ditetapkan. Bila pejabat, korporat dan kroninya yang tersandung kasus pidana, mereka bisa mudah mendapatkan vonis ringan bahkan bebas. Sementara bila rakyat jelata yang menjadi pelakunya, hukuman berat diberlakukan apa adanya.
Hal ini disebabkan karena sistem demokrasi yang meniscayakan kedaulatan hukum ada di tangan manusia, telah membuka celah bagi pembuat hukum untuk mengutak-atiknya sesuai kepentingan. Alhasil, praktik hukum pisau, tajam ke bawah namun tumpul ke atas akan selalu disaksikan oleh rakyat dalam sistem ini. Slogan setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum hanyalah omong kosong. Tidak ada keadilan hakiki untuk rakyat kecil.
Keadilan Hukum Dalam Sistem Sanksi Islam
Sistem demokrasi yang merupakan derivat dari ideologi kapitalisme dengan asas sekulernya, sudah terbukti tidak mampu memberikan jaminan keadilan hukum bagi manusia. Semestinya sistem rusak ini segera ditinggalkan oleh umat, dan kembali menoleh pada sistem Islam yang berasal dari Sang Maha Pencipta, Allah SWT.
Dalam Islam kedaulatan hukum bukan berada dalam genggaman manusia, melainkan pada syariat. Seorang pemimpin diperintahkan hanya menerapkan apa yang dituntunkan oleh Allah dalam aturan syariatNya itu. Sehingga benar salah, baik buruk segala sesuatu harus distandarkan pada hukum syara’ semata, bukan dengan hawa nafsu atau kepentingan tertentu.
Berkaitan dengan nyawa manusia, Islam memberikan penghargaan yang sangat tinggi. Sebab Nabi SAW pernah bersabda, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai). Allah SWT juga telah menyampaikan bahwa membunuh satu manusia seolah-olah sama dengan membunuh seluruh manusia.
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya, Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi, kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.” (QS. Al Maidah: 32)
Untuk itu, syariat menetapkan hukum qishash pada tindak kejahatan pembunuhan atau penganiayaan fisik, baik sengaja atau pun tidak sengaja. Sanksi yang berlaku adalah yang setara dengan kejahatannya. Misalnya membunuh, maka sanksinya adalah dibunuh. Atau dengan membayar diyat (denda) bila keluarga korban memaafkan. Sedangkan besarnya diyat juga telah ditetapkan oleh syariat. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an.
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.” (QS. Al Baqarah: 178)
Selain itu, sanksi dalam Islam memiliki dua fungsi, yaitu sebagai jawabir dan zawajir. Jawabir memiliki fungsi menebus dosa. Dengan begitu, pelaku kejahatan tidak akan mendapatkan azab di akhirat atas perbuatan tersebut. Sementara fungsi zawajir adalah untuk mencegah orang lain melakukan kejahatan yang sama.
“Dan dalam (hukum) qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (TQS. Al-Baqarah: 179).
Demikianlah penjagaan Islam terhadap jiwa manusia. Namun penegakan hukum Islam hanya akan sah bila yang melaksanakannya adalah institusi negara yang sesuai dengan syariat, yaitu khilafah. Bukan individu atau kelompok. Dengan khilafah, keadilan hakiki akan dirasakan dan diperoleh seluruh lapisan umat. Wallahu’alam bisshowab.
Views: 5
Comment here