Oleh: Meitya Rahma
Baru-baru ini, berita perubahan logo halal merebak di media sosial. Label Halal yang sekarang berbentuk gunungan dengan warna keunguan, dan menghilangkan tulisan Majelis Ulama Indoensia (MUI). Kebijakan baru ini rupanya menuai banyak kritikan dari masyarakat. Label halal yang sudah merakyat bahkan mendunia dengan tulisan arabnya kini tampil beda. Label halal yang familier kita lihat diterbitkan oleh MUI dinyatakan tidak berlaku lagi. Nantinya yang boleh mengeluarkan label halal adalah lewat Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag. Padahal masyarakat sudah akrab dengan dengan label halal dengan tulisan “Majelis Ulama Indonesia”, dengan kaligrafi berbahasa Arab.
Seperti diketahui kaligrafi label halal baru dianggap sulit dipahami. Bentuk tulisan Arab halal diprotes karena dianggap kurang familier dan susah dibaca. Perubahan label halal yang baru dikenalkan Kementerian Agama atau Kemenag pada Sabtu 12 Maret 2022 menuai protes Netizen. Seperti yang dikemukakan pemilik akun DenYas @Denni_Susanto. Bentuk label baru susah dibaca. “Anak saya ga bisa baca yang tulisan membentuk gunungan wayang (benarkah itu tulisan halal). Logo lama lancar bacanya Anak kelas 1 SD,” kata @Denni_Susanto (Seputar tangsel. Com,13/3/22).
Itulah komentar dari netizen terkait logo halal yang dikeluarkan oleh Kemenag. Logo yang terkesan seperti gunungan wayang. Selain hurufnya kurang jelas, tema gunungan pada bentuk tulisan halal juga menjadi polemik. Gunungan dianggap identik dengan budaya Jawa. Mungkin Kemenag ingin nguri-uri atau melestarikan budaya Jawa. Jadi konsep logo halal ini dibuat seperti gunungan wayang. Namun masyarakat menganngap logo baru ini tulisan halal-nya tidak terbaca. Negara lain saja yang notabene nya bukan negara Muslim seperti Roma, atau Korea saja memakai huruf Arab sebagai label halal-nya. Indonesia sebagai mayoritas Muslim malah tidak menggunakan huruf Arab.
Menag Yaqut mengatakan bahwa dengan diluncurkannya label halal baru ini, secara bertahap label Halal MUI Tidak Berlaku Lagi. Sebab, kata Gus Yaqut, yang berhak mengeluarkan sertifikasi halal adalah pemerintah bukan ormas. Karena yang berhak mengeluarkan sertifikat halal adalah pemerintah yang dalam hal ini adalah kemenag. Logo label baru ini dikeluarkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) lewat Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Label baru yang telah berlaku secara nasional ini ditetapkan dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal,” (Kumparannews.com,12/3/22).
Label Halal Indonesia versi Kemenag berbeda jauh dengan versi MUI. Dari bentuk dan warnanya sudah beda jauh. Tak hanya dari bentuknya, secara fungsi bagi pelaku UMKM pun dianggap menjadi beban produksi. Salah seorang pelaku UMKM mengeluhkan biaya produksi lagi untuk membuat kemasan dengan logo baru tersebut. Logo lama baru diganti pada 2019 lalu. Padahal mereka mencetak label halal pada produknya sekitar 4-5 tahun kedepan. Ini akan membuat mereka rugi. Gonta ganti Logo Label Halal merupakan beban biaya produksi baru bagi UMKM. Di tambah dengan kondisi saat ini berbagai kebutuhan pokok dan keperluan hidup mengalami kenaikan, padahal laba juga pas-pasan.
Kemenag akhir-akhir ini memang memiliki pemikiran yang nyleneh. Hal yang sudah pada tempatnya, diutak atik. Sebelumnya ia mengusik dengan pengaturan pembatasan suara toa Masjid maupun Musala. Sekarang masalah label halal. Seperti tak ada yang lebih urgen dari pada mengurusi label halal.
Dari segi urgensitasnya saja masyarakat memandang bahwa pergantian ini tidak lah begitu mendesak. Karena label Halal dari MUI pun sebenarnya cukup untuk mengetahui bahwa sebuah produk itu halal ataukah haram. Inilah imbas UU Omnibus Law. Dengan perubahan pasal Undang-Undang nomor 33 tahun 2014, tentang jaminan produk halal, yaitu berkurangnya peran MUI dalam penetapan sertifikat halal (Seputar Tangsel.com,12/3/22).
Saat ini bukan hanya berkurang, namun sudah tidak memiliki kewenangan dalam sertifikasi halal. Kewenangan sertifikasi halal saat ini diberikan kepada BPJPH. Padahal selama ini, MUI di dalam proses penetapan sertifikasi halal sangat ketat.
Sebenarnya apa tujuan pemerintah ( dalam hal ini adalah Kemenag) dalam hal labelisasi halal ini. Jika tujuan yang dilakukan pemerintah dalam labelisasi halal pangan, adalah mencari lahan basah untuk investasi, ini tidak dibenarkan. Ini akan berimbas pada ketidakpastian standar halal dan haram. Masyarakat harus lebih teliti dalam melihat komposisi suatu produk. Karena bisa saja nantinya label halal hanya sekedar menjadi formalitas. Jika benar demikian, maka penetapan halal haram tidak bersandar pada keimanan dan tidak pula memperhatikan kepentingan umat Islam yang wajib menjaga kehalalan produk.
Di sistem ekonomi kapitalisme sekuler seperti saat ini, masalah kehalalan dan keharaman adalah hal yang sepele. Jadilah halal haram tidak menjadi penting bahkan mungkin dapat menghambat keuntungan para kapital. Karena mereka tak terlalu pusing dengan haram dan halal. Yang penting produk mereka terjual banyak, untung yang melimpah. Padahal dalam Islam Allah SWT berfirman dalam QS. Al Maidah ayat 88 : “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu, sebagai rezeki yang halal dan baik, bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada Nya.
Firman Allah ini menunjukkan bahwa dalam menentukan halal haram harus didasari dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, sesuai hukum syara’. Tidak hanya sekedar label yang bertuliskan halal saja. Produknyapun harus diawasi dan dikontrol oleh para ahli dan ulama, agar umat muslim terjaga dari keharaman.
Tidak adanya peran negara yang menyangkut urusan publik (mu’amalah), merupakan penyebab utamanya. Memang benar kiranya, jika menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, hanya akan menghantarkan kepada kehancuran. Saat ini para pemimpin dan para stake holder negri ini menentukan arah kebijakan yang kontroversial namun tidak memberikan rasa aman bagi masyarakat. Bukannya memberikan rasa tenang, aman pada masyarakat, malah menuai protes masyarakat, membuat rasa tidak tenang. Semakin lama negri ini sudah menampakkan para penguasa yang sebenarnya tidak bisa amanah memimpin negri ini. Rakyat akan semakin sadar seiring berjalannya kebijakan yang nyleneh, dan tak berpihak pada rakyat.
Views: 11
Comment here