wacana-edukasi.com–Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Kalbar pada Februari 2022 surplus 211,15 juta dolar AS. Ketua Niaga dan Jasa BPS Kalbar menjelaskan, “Lemak & Minyak Hewan/Nabati (HS15); Bijih, Kerak, dan Abu Logam (HS26) serta Bahan Kimia Anorganik (HS28) merupakan tiga golongan barang unggulan ekspor Kalbar Februari 2022, yaitu masing-masing berkontribusi 38,74 persen, 27,84 persen, dan 19,31 persen,” (kalbar.antaranews.com, 01/04/2022).
India, Tiongkok, dan Malaysia merupakan tiga negara tujuan ekspor Kalbar terbesar pada Februari 2022, masing-masing mencapai nilai ekspor 89,15 juta dolar AS 77,48 juta dolar AS dan 42,42 juta dolar AS dengan kontribusi 209,05 juta dolar AS atau 90,36 persen. Sementara untuk Nilai impor Kalbar Februari 2022 turun 0,69 persen dibanding Januari 2022 yaitu dari 20,34 juta dolar AS turun menjadi 20,20 juta dolar AS. Bahan Bakar Mineral (HS27), Bahan Kimia Anorganik (HS28), serta mesin-mesin/ Pesawat Mekanik (HS84) merupakan penyumbang impor terbesar Kalimantan Barat pada Februari 2022.
Benarkah surplus neraca perdagangan menjadi salah satu indikator kondisi ekonomi yang membaik, kemiskinan dan problem ekonomi teratasi yang menjadi momok dalam sistem ekonomi Kapitalis?
Secara fakta, beberapa negara memang mencapai kebesarannya melalui jalan penjagaan luar negerinya. Namun, dalam politik ekonomi Islam, membuat pasar untuk penjualan produk, apalagi jika masih dalam bahan baku mestinya dikaji ulang langkah mengekspornya, bukan satu-satunya tujuan penciptaan pasar luar negeri.
Tujuan utama sebenarnya adalah memperoleh mata uang keras (hard money) yang dibutuhkan negara untuk membeli apa yang diperlukan bagi revolusi industri, dan untuk memperoleh komoditas yang diperlukan bagi revolusi industri. Jadi, aspek paling penting dalam politik perdagangan luar negeri adalah menjadikan politik perdagangan luar negeri sebagai perdagangan produk industri. Baik neraca perdagangan surplus bagi kita atau surplus bagi negara lain.
Politik perdagangan luar negeri tidak semata berjalan di atas pijakan perdagangan dan ekonomi, tetapi dilakukan atas dasar mengembangkan risalah Islam di antara manusia. Sehingga keluar-masuknya harta (aset) dan manusia dari dan keluar Negara Islam tidak dibangun atas dasar perdagangan dan ekonomi semata, tetapi dilakukan untuk kemaslahatan dakwah.
Sedangkan negara Islam (Khilafah) akan memilih dengan negara-negara mana akan mengadakan kesepakatan perdagangan. Walaupun di sana terdapat pasar penjualan komoditas, apabila tidak terdapat hal-hal yang diperlukan untuk revolusi industri, dan tidak ada hard currency yang diperlukan, sebab mata uangnya tidak ada nilainya di luar negeri maka tidak dilakukan kesepakatan perdagangan.
Selain itu, Khilafah dalam melakukan kesepakatan perdagangan luar negeri harus memperolah manfaat yang lebih besar dibandingkan negara luar tersebut. Apalagi kesepakatan perdagangan dilakukan atas asas kewarganegaraan, bukan sekedar pertimbangan komoditas.
Terlebih, sikap politik negara luar terhadap Islam menjadi penentu. Apakah dijalin hubungan dagang ataukah tidak. Oleh sebab itu, tanpa menjadikan akidah Islam sebagai pendorong dalam aktivitas ekonomi, maka tidak akan pernah dihasilkan kemajuan ekonomi apapun.
Ummu Nida
Pontianak-Kalbar
Views: 3
Comment here