Opini

Ironi, PPN Naik Lagi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lestari (Pemerhati Kebijakan Publik)

wacana-edukasi.com– “Jangan tanyakan apa yang telah negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan pada bangsamu” (John F. Kennedy).

Ungkapan ini seolah menjadi tameng untuk membenarkan seluruh kebijakan sekelompok elit sekalipun tampak jelas menindas rakyat kecil, termasuk di Indonesia.

Dilansir dari cnbcindonesia.com (25/3/2022), Pemerintah negeri ini kembali menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diberlakukan mulai tanggal 1 April 2022. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa tarif PPN akan naik menjadi sebesar 11% dari semula 10%. Menurutnya, kebijakan ini diterapkan guna menciptakan pondasi pajak negara yang kuat.

Merespon hal tersebut, ekonom senior Faisal Basri menolak kebijakan ini untuk dijalankan. Faisal menilai tidak ada unsur keadilan sebagaimana selama ini disampaikan oleh pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan jajaran. Bagaimana tidak, ketika PPN naik menjadi 11% dari sebelumnya 10%, namun disaat yang sama Pajak Penghasilan (PPh) justru diturunkan beberapa persen.

PPN sendiri merupakan pajak yang bisa dikatakan paling bersentuhan dengan masyarakat, yang pemungutannya berlaku pada tiap transaksi. Nahas, dalam draf RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), bahkan akan naik lagi menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025 mendatang.

Anehnya, seperti telah disebutkan di atas kala tarif PPN menanjak, justru Pajak Penghasilan (PPh) diturunkan yakni dari 25% menjadi 22%. Bahkan sebelumnya sempat diistimewakan hingga 20%. PPh yang notabenenya dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima, semisal PPh terhadap badan-badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta justru mendapat perlakuan berbeda. Kesannya kebijakan pajak yang ditetapkan di tengah-tengah masyarakat hanya untuk mencekik rakyat.

Perlu diketahui,peningkatan tarif PPN ini akan mendorong inflasi, sebagaimana ungkapan ekonom Bima Yudistira. Daya beli masyarakat perlahan akan semakin menurun karena biaya produksi yang meningkat. Terlebih lagi di tengah pandemi Covid-19 yang turut memperparah perekonomian masyarakat, rasanya punggung kian membungkuk karena beban pajak yang kian tak paham situasi dan kondisi. Sudahlah kesulitan mencari kerja, pendapatan perhari tak seberapa, ditambah lagi dengan iuran tagihan sana-sini dari negara.

Alhasil imbas dari tebang pilih kebijakan ini, yang kaya makin untung sedangkan yang miskin makin buntung, sebab kesejahteraan itu tak merata. SDA yang melimpah hanya mengalir dan dinikmati pada segelintir oknum berkuasa, diprivatisasi oleh swasta, pemilik modal, dan pihak asing. Malangnya, rakyat hanya dapat mengais sebagian kecil saja, bahkan nyaris tidak ada.

Jika dibandingkan dengan negara serupa Amerika Serikat (AS), atau negara-negara maju lainnya di G20 (baca : 20 Negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia), memang tarif PPN Indonesia lebih rendah. Akan tetapi perlu diperhatikan juga pendapatan perkapita negara tersebut. Berbeda dengan negara maju di atas, bagi Indonesia pada tarif PPN yang berlaku saat ini saja sudah membuat rakyat kelimpungan, bagaimana jika memaksa untuk mencapai standar serupa. Bagaimana bisa mengikut standar PPN negara G20, jika dengan Malaysia saja masih tertinggal?

Dampak penerapan sistem ekonomi kapitalisme memang pahit. Keberadaan negara senantiasa berlepas dari tanggungjawab dari menyejahterakan rakyatnya. Faktanya, untuk merasakan kesejahteraan saja harus memeras keringat dan air mata, seolah rakyat ini tak memiliki pemimpin negeri. Mereka mengaku telah mengurusi rakyatnya, padahal jika mau jujur sejatinya rakyat mengurus dirinya sendiri. Sementara negara hanya memalak rakyat atas nama pajak.

Wajar sistem kapitalisme yang lahir dari akidah sekulerisme, senantiasa memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga menurut alam ideologi ini, agama cukup ditempatkan di ranah privat saja, sementara di luar itu termasuk ranah kehidupan bernegara peran agama mesti ditiadakan.

Inilah yang menjadi pangkal kezaliman merebak di mana-mana oleh segelintir orang yang hanya mengedepankan kepentingan materi dan mengesampingkan aturan agama.

Jika para pemamngku kebijakan produk dari kapitalisme hanya menyakiti rakyat, namun berbeda halnya dengan Islam yang menjalankan sistem peraturan Illahi secara totalitas. Sosok pemimpin di dalamnya adalah insan yang bertakwa, sehingga melahirkan sikap amanah yang kuat dalam kepribadiannya, serta benar-benar menghujam dari dalam jiwa untuk representatif dan kompatibel dalam menyelesaikan setiap masalah, baik ekonomi, sosial, hukum dan sebagainya.

Dalam sistem ekonomi Islam adalah jaminan dari negara untuk tercukupinya kebutuhan primer bagi setiap individu-individu warga negaranya secara menyeluruh tanpa terkecuali, meski setiap individu mampu memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadarkesanggupannya di tengah-tengah masyarakat. (An-Nabhani, 1990).

Adapun terkait pemungutan pajak dalam Islam atau yang dikenal dengan dharibah hanya dilakukan apabila anggaran negara dalam kondisi Baitul Mal kosong atau defisit. Itupun hanya bersifat temporal dan hanya dibebankan terhadap warga negara kelas atas serta tidak diambil dari warga negara yang miskin. Sebab, kas Baitul Mal yang ditetapkan syariah talah mumpuni sebagai sumber pembiayaan negara Islam dalam menjamin kesejahteraan rakyat, tanpa harus memungut pajak.

Sungguh, sudah saatnya kita menyadari bahwa hanya Islamlah satu-satunya sistem yang layak diemban dan diimplementasikan dalam kehidupan. Maka menjadi suatu keharusan bagi kita untuk terus memperjuangkan suatu kemuliaan ini dengan berusaha menjadi muslim yang kaffah serta tak henti-hentinya mendakwahkan syariat Allah guna melanjutkan kembali kehidupan Islam.Wallahua’lam bish showwab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 5

Comment here