wacana-edukasi.com–Pro kontra buka warung makan di bulan Ramadan terjadi, sebab dari menanggapi kebijakan Pemerintah Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, yaitu melarang para pemilik warung makan untuk buka dan melayani pembeli makan di tempat pada pagi sampai siang hari, dan boleh buka mulai sore sampai malam hari selama bulan Ramadhan, untuk menghormati umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa. Tapi khusus warung, depot, atau restoran di terminal diperbolehkan, karena yang berjualan di sana khusus untuk orang yang dalam perjalanan (MMC.News, 6/4/22)
MUI ( Majelis Ulama Indonesia) Kabupaten Bekasi, Jawa Barat juga meminta pemilik usaha kuliner seperti restoran, kafe, rumah makan, hingga warung kopi di wilayahnya tutup pada siang hari selama bulan Ramadhan.
Muhhidin Kamal, Sekretaris Umum MUI Kabupaten Bekasi juga meminta para pengelola dari pengusaha tempat hiburan malam menutup sementara aktivitas usahanya selama bulan puasa (CNN,Indonesia, 28/322).
Namun kebijakan tersebut mendapatkan respon yang negatif dari beberapa pihak, diantaranya seseorang yang berinisial RWPS dalam tweeternya yang kemudian dijawab oleh Cholil Nafis, Ketua MUI, bahwa warung tak usah ditutup jualannya, tapi makannya jangan dipamerkan kepada orang yang sedang berpuasa, yang puasa jangan menutup hajat orang lain, tapi yang tidak puasa jangan menodai bulan Ramadhan. Ayo saling tenggang rasa dan saling menghormati. MUI Pusat juga meminta agar jangan ada razia sweeping tempat makan selama bulan Ramadhan. Bahkan Sekjen MUI, Amirsyah Tambunan juga menegaskan bahwa kegiatan perekonomian harus tetap berjalan di bulan Ramadhan.
Miris, semestinya tak ada yang harus dipermasalahkan dengan kebijakan tersebut, jika difahami oleh semua pihak termasuk non muslim, bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia bagi mayoritas penduduk muslim di negeri ini. Mereka para majelis ulama pun semestinya tegas menyikapi dalam rangka syi’ar Islam, bukan malah ikut terbawa arus toleransi terbalik yang salah kaprah, yang pada hakekatnya hanya akan menyempitkan ruang syi’ar Islam, sehingga nilai-nilai hikmah kebaikan yang ada di dalam Islam tidak tersampaikan kepada umat manusia, baik muslim maupun non muslim.
Bahkan lagi-lagi dengan alasan toleransi, muncullah anggapan yang tak logis, yaitu bahwa orang yang berpuasa harus menghormati orang yang tidak berpuasa, maka boleh membuka warung makan di bulan Ramadhan. Bukankah semestinya orang yang tidak berpuasalah yang seharusnya menghormati orang yang berpuasa? Terlebih lagi berpuasa tersebut adalah dalam rangka menunaikan ibadah. Namun, itulah logika terbalik toleransi, sebagai buah dari pemikiran kapitalis liberal, yang menginginkan kebebasan atas nama hak asasi manusia yang harus ditoleransi, meskipun harus melanggar hak orang lain dan bahkan aturan agama.
Demikian gencarnya kampanye toleransi kaum kapitalis liberal, dan hal itu hanya mampu diberangus, tak lain adalah dengan hadirnya kekuatan besar berupa kepemimpinan yang menerapkan sistem kehidupan yang agung yaitu sistem kehidupan Islam yang akan memancarkan cahaya kemuliaan serta rahmat bagi seluruh alam.
Leyla
Dramaga, Bogor
Views: 87
Comment here