Oleh : Ikhtiyatoh
(Pemerhati Kebijakan Publik)
wacana-edukasi.com– Indonesia adalah negara hukum. Artinya, tidak seharusnya pengadilan jalanan atau street justice berlaku. Akan tetapi, pada kenyataannya, hal tersebut kerap terjadi. Seperti halnya dengan kasus pengeroyokan pada aksi demonstrasi ribuan mahasiswa di komplek gedung DPR/MPR, Senin (11/4/2022). Aksi yang awalnya damai tiba-tiba rusuh dengan kedatangan Ade Armando. Tuntutan peserta demo pun kalah pamor dengan aksi pemukulan yang menimpa dosen UI tersebut.
Masyarakat Dukung Street Justice?
Street justice memang tidak dibenarkan, mengingat, hukum di Indonesia bukanlah hukum rimba. Pun demikian, sebagian masyarakat justru mendukung dan senang dengan aksi main hakim sendiri yang menimpa Ade Armando. Padahal, kondisi korban babak belur hingga dirawat intensif di rumah sakit. Pendukung Ade pun ramai menghujat serta menuntunt pihak kepolisian segera menangkap pelaku.
Bagi sebagian masyarakat, cukup mengherankan, kenapa seorang Ade Armando muncul dalam aksi demonstrasi tersebut? Apa urgensinya dia berada disana? Meskipun, tidak ada larangan bagi siapapun untuk ikut serta dalam aksi unjuk rasa. Termasuk Ade yang merupakan seorang dosen, seharusnya memang dekat dengan mahasiswa. Pada saat diwawancara, Ade mengaku bergabung dengan peserta demo karena mendukung perjuangan mahasiswa.
Pun demikian, selama ini, masyarakat lebih mengenal Ade sebagai buzzer pemerintah, bukan sebagai akademisi. Sementara aksi demontrasi tersebut merupakan upaya mengkritisi sejumlah kebijakan pemerintah saat ini. Menjadi wajar, teriakan ‘munafik’ oleh peserta demo yang ditujukan kepada Ade Armando menggema.
Kekerasan Verbal Picu Kekerasan Fisik
Sebelum bergabung dengan peserta aksi, Ade juga sempat memposting nyinyiran rencana aksi demo tersebut. “Serius mau pada demo? BEM (yang konon) seluruh Indonesia, akan gelar demo turunkan Jokowi, 11 April. Apa nggak haus ya? Nggak laper ya? Atau memang nggak puasa?” tulis Ade dalam salah satu aplikasi media sosial. Tampaknya, postingan tersebut turut menjadi pemantik emosi peserta aksi. Beruntung aparat kepolisian mengamankan Ade Armando meski dalam kondisi cukup memalukan karena tanpa celana.
Wajah terduga pelaku langsung memenuhi beranda media sosial pada hari yang sama saat kejadian. Padahal, pihak kepolisian belum melakukan pengumuman. Pihak kepolisian baru mengumumkan tujuh terduga pelaku pada keesokan harinya. Enam pelaku pemukulan yaitu Abdul Latip, Dhia Ul Haq, Muhammad Bagja Komarudin, Alfikri Hidayatullah, Markos Iswan serta seorang provokator yaitu Arif Ferdini.
Abdul Manaf yang sebelumnya disebut sebagai salah satu tersangka ternyata salah tangkap. Padahal identifikasi pelaku dilakukan dengan alat face recognition yang disebut-sebut sangat akurat. Begitu pula dengan Try Setia Budi Purwanto yang terkejut identitas dirinya viral sebagai pelaku pengeroyokan. Padahal saat terjadi aksi, dia berada di Kampung Lembasung, Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung.
Terlepas dari siapa provokator sesungguhnya dibalik pemukulan tersebut, aksi street justice seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah. Selama ini, Ade kerap melakukan kekerasan verbal. Banyak masyarakat termasuk umat Islam yang tersinggung dengan ucapan-ucapan yang terlontar dari lisannya. Ade Armando sendiri pernah dilaporkan dan sempat menjadi tersangka kasus pelecehan agama. Namun, kasus tersebut tidak diproses sampai sekarang. Wajar, jika masyarakat menganggap Ade kebal hukum karena bagian dari buzzer pemerintah.
Adanya ketidakadilan hukum inilah yang mampu memantik terjadinya street justice. Masyarakat tidak lagi mempercayai lembaga hukum guna menyelesaikan masalah-masalah mereka. Akhirnya, mereka justru bersemangat main hakim sendiri.
Disaat bersamaan, pendukung Ade Armando justru bereaksi dengan membuat narasi yang melakukan anarkisme adalah para kadrun radikal yang belum move on dari kekalahan pilpres. Sudah jelas, istilah kadrun selama ini disematkan kepada muslim atau pihak oposisi pemerintah. Padahal, Prabowo maupun Sandiaga Uno sudah bergabung dengan pemerintah. Jadi, sesungguhnya buzzer sendiri yang belum move on atas kontestasi politik yang pernah terjadi.
Istilah-istilah kadrun, radikal, anti NKRI yang ditujukan kepada pihak oposisi sudah seharusnya dihentikan. Meskipun hanya sekedar istilah, namun mampu mengubah suhu politik terus memanas. Masyarakat pun menjadi terbelah hanya karena memilih menjadi pendukung pemerintah ataupun menjadi oposisi. Padahal, pemerintahan manapun tetap akan memiliki oposisi yang bertugas mengoreksi kebijakan yang ada. Bahkan, oposisi sangat penting demi jalannya pemerintahan yang lebih seimbang dan sehat.
Street justice yang terjadi pun tidak cukup dilihat sebagai problem kriminal semata. Tetapi juga harus dilihat dari problem sosial. Kekerasan fisik yang terjadi kali ini merupakan akibat dari kemarahan rakyat yang terakumulasi bertahun-tahun. Dibalik peristiwa pemukulan Ade Armando ada peristiwa politik dan ketidakadilan hukum. Kondisi inilah yang membuat emosi rakyat meluap. Seharusnya, pemerintah mampu mengantisipasi potensi terjadinya kekacauan saat Ade Armando muncul di tengah masa. Sayangnya, aparat justru kebobolan.
Urgensi Keadilan Hukum
Rakyat diminta untuk meredam emosi dan tidak main hakim sendiri, sementara pemerintah tak mampu merealisasikan tegaknya hukum yang adil. Selama penegakan hukum masih diskriminatif, selama itu pula street justice bisa muncul sewaktu-waktu. Meskipun, hukum melihat Ade Armando sebagai korban kekerasan (fisik) namun masyarakat justru melihatnya sebagai pelaku kekerasan (verbal) serta provokator.
Peristiwa tersebut setidaknya mengingatkan kita bahwa bisa saja seseorang merasa kebal hukum karena berlindung di balik jubbah penguasa. Namun, setiap manusia tidak kebal terhadap takdir. Jika pun ada hal yang direncanakan manusia, tak jarang rencana tersebut meleset dan berlaku rencana Pencipta Alam Semesta. Munculnya video yang menunjukan adanya rombongan turun dari sebuah mobil kemudian bagi-bagi jaket almamater serta memasuki area demo lewat pintu belakang seolah mengkonfirmasi ada rencana manusia disana.
Selain itu, adanya kunjungan dari anggota watimpres, Putri Kus Wisnu Wardani dan diunggah di akun instagram justru mengkonfirmasi bahwa Ade memang bagian dari pemerintah. Hal ini tentu menyakiti hati rakyat yang sementara berseteru dengan Ade. Jika pun anggota warimpres ingin menjenguk sebagai kawan, tak perlu mengunggah di sosial media.
Sudah saatnya pemerintah menerapkan hukum berasaskan keadilan. Tidak ada hukum yang lebih adil selain hukum dari Pencipta Alam Semesta, Sang Penguasa Dunia. Sudah saatnya negara menerapkan Islam secara menyeluruh dalam segala sendi kehidupan, termasuk dalam hal sistem hukum dan sanksi. Hal ini penting untuk menghindari street justice muncul kembali. Problem di tengah masyarakat pun lebih mudah teratasi. Wallahu ‘alam bish showab.
Views: 185
Comment here