wacana-edukasi.com– Guru Besar Teknik Sipil Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak Prof Henny Herawati berpendapat pendangkalan atau kekeringan di aliran Sungai Kapuas menjadi indikasi rusaknya lingkungan di Provinsi Kalimantan Barat. Hal ini dikarenakan adanya alih fungsi lahan mengurangi secara signifikan daerah resapan limpasan air hujan. Tanda-tanda perubahan iklim di Kalimantan Barat dapat dilihat melalui perubahan aliran sungai (kalbar.antaranews.com, 26/04/2022).
Pada penelitian yang dilakukan di Sanggau, tahun 2015 ditemukan bahwa terjadi perubahan signifikan pada daerah aliran Sungai Kapuas. Debit air Sungai Kapuas saat penelitian pada Maret 2015 terlihat masih tinggi. Kondisinya berubah drastis sekitar November yang menunjukkan pendangkalan sungai akibat kekeringan. Debit air yang tinggi di hulu Sungai Kapuas dan berkurang drastis di daerah hilir. Beliau menambahkan bahwa kondisi debit air ini terjadi akibat deforestrasi yang menyebabkan limpasan air menjadi tidak terkendali. Akibatnya terjadi perubahan di daerah aliran Sungai Kapuas.
Direktur Yayasan Natural Kapital Indonesia, Haryono mengatakan tanda perubahan iklim yang paling terlihat di Pontianak adalah terjadinya banjir rob. Sementara anomali suhu di Indonesia sudah terjadi sejak penelitian terakhir tahun 1981. Perubahan iklim itu 90 persen penyebabnya karena aktivitas manusia. bencana akibat perubahan iklim hanya direspon melalui penanganan bencana, belum ada langkah konkrit pemerintah untuk melakukan mitigasi bencana terkait perubahan iklim.
Selama ini peristiwa banjir dan kekeringan dimusim kemarau dianggap hanya sebagai fenomena alam, seperti intensitas hujan yang tinggi atau dianggap suatu siklus alam yang tidak bisa dihindari. Memang benar adanya bahwa banjir dan kekeringan dapat digolongkan sebagai bencana alam, namun sesungguhnya aktivitas dan faktor ulah manusia yang merusak alam itu sendiri yang menjadi sumber terjadinya banjir dan kekeringan beberapa tahun belakangan ini.
Kemudian terjadi deforestasi dan hal ini akibat dari maraknya konversi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit diduga kuat menjadi penyebab utama terjadinya banjir bandang di daerah hulu Sungai Kapuas dan daerah sekitar. Walaupun manfaat dari perkebunan sawit secara ekonomi dapat mempengaruhi perekonomian baik terhadap masyarakat maupun pemasukan kepada kas daerah, namun secara ekologis perlu dipahami bahwa kelapa sawit sangat berbeda dengan pohon-pohon hutan yang selama ini sangat berfungsi sebagai penyangga (buffer) dari terjadinya erosi, longsor serta menghambat terjadinya sedimentasi langsung daerah aliran sungai Kapuas.
Ditambah pembukaan jalan di area perkebunan sawit diduga menjadi salah satu dari ketidakmampuan tanah untuk menyerap air. Begitu juga kekeringan karena musim kemarau seringkali terjadi akibat DAS tidak mampu lagi mengendalikan penyerapan air tanah, akibat pohon dikonversi ke lahan sawit dan perumahan tanpa memperhatikan lingkungan. Apalagi pengelolaan SDA secara kapitalistik menjadi prioritas utama pemerintah. Tentu saja yang terdampak bukan hanya alam tetapi juga kehidupan manusia di masa sekarang dan generasi anak-cucu kita yang akan datang. Hari ini saja sudah terlihat dampaknya banjir bandang, longsor, rusaknya ekosistem di alam. Ini semua akibat dari keserakahan para korporasi dan penguasa zalim.
Pandangan sistem kapitalisme tentu berbeda dengan sistem Islam. Sistem Kapitalisme yang telah merusak lingkungan, sistem Islam justru menjaga lingkungan karena itu merupakan tempat hidup manusia. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-A’raf: 56).
Pembangunan dan pemanfaatan hutan lebih mengutamakan kemaslahatan umat ketimbang segelitir elite yang memiliki kuasa dan harta. Sempurnanya syariat Islam telah mengatur dengan detail terkait hal tersebut. Misalnya, dengan mengategorikan kepemilikan hutan pada kepemilikan umum, sehingga tidak boleh ada yang menguasainya, termasuk asing.
Adapun negara hanya bertugas mengelola hutan dan mengembalikan kebermanfaatannya pada umat. “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput (hutan), air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Begitu pun negara, tidak boleh mengubah hutan menjadi perkebunan sawit walaupun hal tersebut mendatangkan devisa negara. Selain hal tersebut berpotensi menciptakan banjir dan longsor, negara telah memiliki sumber pemasukan yang melimpah dari fai, kharaj, dan kepemilikan umum lainnya, seperti tambang, minyak bumi, batu bara, dan lainnya yang semuanya tak boleh diprivatisasi.
Sabrina Karima
Pontianak-Kalbar
Views: 4
Comment here