Oleh. Sartinah
(Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com– Tradisi mudik tak bisa dipisahkan dari masyarakat Indonesia, khususnya kaum Muslim. Nyaris setiap menjelang hari-hari besar, mudik ke kampung halaman menjadi impian para urban. Apalagi setelah dua tahun pelarangan mudik oleh pemerintah karena pandemi Covid-19. Tahun 2022 menjadi kali pertama mudik pascapandemi.
Sudah bisa ditebak, setelah dua tahun menahan diri tidak mengunjungi kampung halaman, jumlah pemudik membeludak. Berdasarkan keterangan pihak Jasa Marga, sekitar 1,7 juta kendaraan meninggalkan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabotabek). Sebagian menuju ke arah timur (Trans Jawa dan Bandung), sebagiannya lagi ke barat (Merak), dan selatan (Puncak). Jasa Marga menyatakan jumlah kendaraan tersebut naik 9,5 persen dibandingkan saat Lebaran tahun 2019, atau sebelum pandemi. (Detik.com, 03/05/2022)
Sayangnya, tradisi mudik yang sudah terjadi puluhan tahun berkorelasi dengan banyaknya jumlah kecelakaan lalu lintas. Menurut data dari Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, tercatat ada 2.945 kecelakaan selama periode arus mudik Lebaran 2022, yakni sejak Sabtu (23/04/2022) hingga Senin (02/05/2022). Dari jumlah tersebut, 51 terjadi di ruas jalan tol, sementara 2.894 kecelakaan terjadi di jalan non-tol. (Kompas.com, 03/05/2022)
Kurang Persiapan
Demi mengantisipasi lonjakan penumpang dan mengurai kemacetan, pemerintah melalui Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan empat skema manajemen rekayasa lalu lintas, yakni pengalihan kendaraan barang, one way, contra flow, dan ganjil genap.
Sayangnya, skema tersebut belum mampu menjadi solusi mengurai kemacetan saban Idulfitri tiba. Meski membeludaknya pemudik sudah diprediksi pemerintah, tetapi minimnya persiapan fasilitas membuat problem tahunan mudik tak pernah terurai. Di beberapa tempat, rakyat masih harus menghabiskan waktu berjam-jam di jalanan karena macet. Belum lagi, maraknya kecelakaan masih terus menyertai tradisi mudik.
Menyikapi macet saat arus mudik dan balik, Kementerian Perhubungan menyatakan bahwa macet menjadi sebuah keniscayaan. Pasalnya, sarana dan prasarana yang disiapkan pemerintah tidak didesain untuk menghadapi puncak arus mudik dan balik. Menurut Kemenhub, kemampuan pemerintah membangun sarana dan prasarana masih terbatas dan membutuhkan dana yang sangat besar. Andaipun dibangun, jika Lebaran usai maka akan mubazir. Sehingga langkah yang dilakukan hanya optimasi. (Merdeka.com, 22/04/2022)
Rakyat Dilayani atau Dieksploitasi?
Harapan semua masyarakat saat mudik adalah dapat pulang ke kampung halaman dengan nyaman, aman, dan tanpa hambatan. Namun harapan tersebut tampaknya masih jauh panggang dari api. Berkali-kali rezim berganti, nyatanya tidak membuat pelayanan infrastruktur memadai, terlebih saat mudik. Yang terjadi justru rakyat kerap kali dieksploitasi untuk kampanye berbagai kepentingan politik hingga ekonomi. Seperti saat warga mengikuti program mudik gratis yang diselenggarakan oleh Pemkot Medan.
Dalam program tersebut masyarakat diberi kaus putih bergambar Wali Kota Medan dan wakilnya. Padahal, tidak ada korelasinya antara mudik dan kaus, kecuali demi kepentingan politik atau ekonomi. Sejatinya, tugas penguasa ataupun pejabat adalah melayani rakyat tanpa pamrih. Bukan justru melayani rakyat sembari mencari simpati demi kepentingan pribadi.
Di sisi lain, berbicara tentang mudik maka erat hubungannya dengan infrastruktur. Negara sebagai penanggung jawab seluruh urusan rakyat, sudah sepatutnya menyediakan secara mandiri sarana dan prasarana infrastruktur. Bukan justru diserahkan pengelolaannya kepada swasta maupun asing. Sebab, jika sudah berhubungan dengan swasta, maka tidak ada kata murah apatah lagi gratis. Semuanya berorientasi pada profit oriented. Rakyat yang sudah membayar pajak, masih harus dipalak iuran ini dan itu jika akan memanfaatkan layanan infrastruktur. Misalnya saja saat menggunakan jalan tol.
Inilah sejatinya derita rakyat di bawah sistem kapitaliame yang hanya menempatkan negara sebagai regulator. Negara hanya menjadi penjembatan antara pengusaha dengan rakyat, namun tak terjun langsung mengurusi rakyatnya. Maka tak heran jika setiap mudik tiba, rakyat harus berjibaku menghadapi berbagai problem di perjalanan. Seperti macet, kecelakaan, jalan dan jembatan rusak, kendaraan kurang memadai, dll.
Layanan Isfrastruktur dalam Islam
Islam diturunkan sebagai solusi atas seluruh problematik manusia, termasuk menyelesaikan sengkarut layanan transportasi. Dalam Islam, tugas utama negara (Khilafah) adalah mengurusi seluruh kebutuhan rakyat tanpa terkecuali. Termasuk memberikan pelayanan terbaik pada seluruh sarana dan prasarana transportasi.
Khilafah sebagai penjamin kebutuhan rakyat, tidak akan mengomersialkan layanan publik kepada swasta. Sebab, semua fasilitas tersebut menjadi tanggung jawab negara dalam penyediaannya. Tak hanya menjamin layanan transportasi terbaik, Khilafah pun menjaga keselamatan jiwa. Sebab, menjaga nyawa (hifzh an nafs) juga merupakan orientasi kebijakan negara dalam mengurus rakyatnya.
Khilafah akan menyediakan seluruh sarana umum yang dapat dimanfaatkan oleh semua lapisan masyarakat. Salah satunya adalah sarana transportasi umum seperti kereta api, pesawat, kapal laut, dll. Meskipun sarana-sarana tersebut boleh dimiliki oleh individu masyarakat, namun negara juga harus memilikinya jika terdapat maslahat di dalamnya. Sebab, prioritas utama pelayanan negara adalah kemaslahatan rakyat.
Negara boleh menetapkan kebijakan untuk menggratiskan layanan transportasi, namun boleh juga menarik pendapatan dari layanan tersebut. Termasuk mengambil keuntungan di dalamnya. Kemudian hasilnya menjadi milik negara dan menjadi salah satu pemasukan Baitulmal yang disimpan di pos kepemilikan negara. Dari pos tersebutlah kebutuhan publik seperti menyediakan infrastruktur jalan, tol, jembatan, rest area, dan sejenisnya dibiayai. Dengan penyediaan layanan tersebut, maka masyarakat bisa bepergian dengan aman, nyaman, murah, bahkan gratis.
Penyediaan layanan transportasi aman, nyaman, murah, dan gratis hanya bisa terwujud jika Islam diterapkan sebagai pengatur kehidupan. Para khalifah pun benar-benar bertindak sebagai pelayan yang mengabdikan seluruh daya dan upayanya untuk melayani rakyat. Sebab jika tidak amanah, maka dia tidak akan masuk surga. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. dalam hadis Muslim, “Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum muslim, kemudian dia tidak bersungguh-sungguh untuk mengurusi mereka, kecuali dia tidak masuk surga bersama mereka.”
Wallahu ‘alam bishshawab
Views: 3
Comment here