Oleh Siti Aisah, S. Pd
(Aktivis Pendidikan Kabupaten Subang)
wacana-edukasi.com– Rukun Islam kelima adalah melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu. Baik secara finansial, fisik psikis dan saat ini ada kesempatan. Dilansir dari laman berita, cnnindonesia.com (20/05/2022) Pemerintah mengkonfirmasi keberangkatan ibadah haji tahun ini lewat Direktur Layanan Haji Dalam Negeri Kementerian Agama Saiful Mujab adalah sebanyak 89.715 dari 92.246 calon jemaah haji reguler telah melakukan pelunasan. Dengan demikian sebanyak 2.531 calon jemaah tersebut belum melakukan konfirmasi keberangkatan usai ditutup pada Jumat 20 Mei 2022 lalu.
Waktu yang semakin mendesak ini membuat pemerintah harus ekstra kebut dalam mempersiapkan keberangkatan calon jamaah haji (calhaj). Tepat tanggal 4 Juni 2022 kloter 1 Calhaj RI akan diberangkatkan. Namun, ada persyaratan lain yang menjadi syarat pemberangkatan perdana calhaj sejak pandemi Covid-19 menyerang. Pemerintah Arab Saudi selaku tuan rumah penyelenggaraan ibadah haji ini memberikan tiga syarat yaitu, calhaj harus divaksinasi COVID-19 minimal vaksin lengkap, lalu PCR 72 jam sebelum keberangkatan dan syarat maksimal umur di bawah 65 tahun.
Perlu diketahui pula persyaratan administrasi yang ditentukan itu seperti vaksin dan usia Ini. Disampaikan oleh pemerintah Saudi Arabia ini pada dasarnya tidak bisa diantisipasi oleh pemerintah Indonesia. Sehingga dengan adanya persyaratan itu tidak sedikit dari calhaj menjadi korban ketidaksiapan pemerintah dalam mempersiapkan administrasi keberangkatan para calhaj. Pemerintah seharusnya menyiapkan sejak awal ataupun melakukan negosiasi dengan Saudi perihal prasyarat ketentuan terbaru keberangkatan calhaj. (okezone.com, 19/5/2022)
Miris kewajiban haji yang berada pada pundak setiap musim yang mampu menunaikannya, tapi karena ada halangan (seperti kasus belum tervaksinasi ataupun usia yang melebihi batas l) dalam menjalankannya jadi tertunda atau bahkan tidak terlaksana sama sekali. Bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan untuk menunaikannya, maka kewajiban haji tersebut telah jatuh kepadanya, saat itu juga dia wajib berazam untuk menunaikan haji. Jika karena satu dan lain hal dia tidak bisa menunaikannya, kemudian meninggal sebelum sempat menunaikanya, maka dia dinyatakan tidak berdosa, karena telah berazam saat kewajiban tersebut jatuh kepadanya. Namun, jika dia mempunyai ghalabatud dzan (dugaan kuat) bahwa kemampuannya akan hilang, sebelum menunaikan haji, maka dia tidak boleh menangguhkan hajinya. Sebaliknya, wajib menunaikan haji saat itu juga. Jika tidak, maka dia berdosa. (Lihat, al-‘Allamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz III/41; Ibn Qudamah, al-Mughni, hal. 660).
Ironis selain dari permasalahan yang menyangkut tentang syarat, rukun, wajib dan penyelenggaraan ibadah haji secara teknis. Ada yang tidak bisa disepelekan terkait administrasi, cara dan hukum ijra’i. Hal ini dikarenakan waktu ibadah haji ini bisa di bulan Syawal, dzulqa’dah, dan puncaknya bulan dzulhijjah. Lalu pengaturan tempat di Mekkah, Mina, Arafah, Muzdalifah dan Madinah yang secara teknis butuh pengaturan yang baik oleh negara.
Sayangnya, pengaturan yang ada terkadang bertentangan dengan hukum syara. Sebagai contoh. Dalam UU No 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, terdapat syarat yang mewajibkan usia 18 tahun. Namun, dalam ketentuan hukum syarat haji adalah baligh yang tentunya tidak berpatokan pada umur. Sehingga tidak heran saat prinsip dasar dari pengaturan penyelenggaraan ibadah haji ini yaitu berprinsip pada sistem yang sederhana dan eksekusinya cepat karena ditangani oleh orang yang ahli dalam manajerial.
Berikut ini kebijakan yang bisa ditempuh oleh khilafah sebagai sebuah negara penyelenggara ibadah haji. Pertama, khilafah akan membentuk departemen khusus untuk mengurus urusan ibadah haji dan umrah. Ini berlaku dari pusat sampai daerah yang tersentralisasi. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan calhaj dalam persiapan, bimbingan, pelaksanaan sampai kepulangannya. Departemen inipun akan bekerjasama dengan departemen kesehatan dan perhubungan guna pelayanan terbaik bagi calhaj.
Kedua, besar kecilnya ongkos naik haji (ONH) yang ditetapkan oleh khilafah ini pada dasarnya disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan atau dikeluarkan oleh calhaj. Hal ini berdasarkan jarak wilayahnya dengan tanah suci. Biaya akomodasi yang dibutuhkan pun sejatinya adalah hal yang dipandang sebagai tugas kewajiban negara dalam melayani urusan jamaah haji dan umrah. Bukan semata-mata pada keuntungan bisnis semata. Khilafah pun tidak diperkenankan mempergunakan dana haji untuk berinvestasi atau dialokasikan pembangunan infrastruktur.
Namun, berbeda saat khilafah membangun sarana transportasi masal yang bisa digunakan oleh calhaj. Pembiayaannya murni dari Baitul mal, bukan dari dana haji. Khalifah ‘Abdul Hamid II, Khilafah utsmaniyah saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istambul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji. Tapi, Jauh sebelum itu, Khilafah ‘Abbasiyyah, yaitu Khalifah Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah) yang disetiap masing-masing titik dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.
Ketiga, Khilafah adalah sebuah kesatuan wilayah yang berada dalam satu kepemimpinan dan satu wilayah negara. Oleh karena itu akan ada kebijakan penghapusan visa haji dan umrah, karena seluruh jamaah adalah warga khilafah yang bisa bebas keluar masuk mekah-madinah tanpa visa. Mereka mungkin hanya perlu menunjukkan kartu identitas diri saja bisa KTP atau paspor, sedangkan untuk visa berlaku untuk muslim yang menjadi warna negara kafir. Baik itu kafir harbi hukman maupun fi’lan.
Keempat, pengaturan kebijakan kuota haji dan umrah. Khalifah dalam hal ini diberi kewenangan untuk mengatur masalah ini, sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jemaah haji dan umrah. Dengan demikian Khalifah pun harus memperhatikan beberapa hal terkait permasalahan pengaturan ibadah haji. Yaitu, Pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jemaah yang belum pernah haji dan umrah, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan. Pengaturan ini akan bisa berjalan dengan baik, jika negara Khilafah mempunyai data base seluruh rakyat di wilayahnya, sehingga pengaturan ini bisa dilaksanakan dengan baik dan mudah.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 259
Comment here