Opini

Kebangkrutan Sri Langka : Utang Ribawi Alat Penjajahan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Lely Novitasari

(Aktivis Generasi Peradaban Islam)

wacana-edukasi.com– Ramainya berita kebangkrutan negara Sri Lanka akibat terjerat utang yang sebagian besar dikucurkan oleh IMF sebesar USD51 miliar berbuntut panjang.

Dilansir dari detik .com, krisis di Sri Lanka yang berkepanjangan ini disebabkan negara mengandalkan pemasukan hanya dari sektor pertanian sementara pemenuhan kebutuhan dalam negeri dibuat ketergantungan dengan impor. Seperti pemenuhan kebutuhan bahan bakar minyak, susu, gas LPG, hingga kertas toilet. Hal ini semakin diperparah dengan hantaman devaluasi/ penurunan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang luar negeri, kondisi rakyat yang sulit memenuhi kebutuhan pokok, sementara pejabat korupsi memperkaya diri dan hidup bermewah- mewahan hingga politik kacau dibuatnya.

Belajar dari bangkrutnya Sri Lanka. Bagaimana kabar Indonesia? Melihat dari data APBN Kita, per 28 Februari menyebut utang negara tercatat sebesar Rp 7.014,58 T. Akankah Indonesia dapat mengambil pelajaran dari kondisi negara Sri Lanka? Bagaimana nasib negara- negara yang mengalokasikan utang bukan untuk hal- hal yang produktif? Mampukah negara- negara itu lepas dari jerat utang ribawi, sang pelumas sistem kapitalisme?

Jebakan Utang

Jika menggunakan analogi sistem tubuh manusia, utang ribawi/ berbunga adalah darah bagi sistem kapitalisme. Perannya amat sangat penting bagi keberlanjutan “kehidupan” sistem ini. Mayoritas para ahli ekonomi kelas dunia sepakat mustahil suatu negara, bahkan dalam lingkup dunia usaha bisa berhasil berkembang tanpa berhutang. Maka jangan heran jika tingkat hutang menjadi salah satu parameter penilaian ‘Trust’/ kepercayan. Imbasnya, tidak ada satu negara pun di dunia saat ini yang tidak memiliki utang untuk mewujudkan pembangunan negeri mereka.

Nasib bertambah buruk bagi negara yang tak bisa mengelola sumber daya alamnya dengan baik, lebih mengandalkan impor dalam pemenuhan kebutuhan negeri, serta adanya pejabat yang justru sibuk memperkaya diri dan kelompoknya. Maka tak bisa dihindari negara akan berutang untuk membangun negaranya. Celah ini dilihat oleh negara maju dengan memberikan pinjaman utang. Ibarat ada udang dibalik batu, pemberian utang tak mungkin tanpa maksud yang ingin dituju. Metode ini menjadi strategi ampuh mewujudkan jebakan utang.

Negara yang mempunyai tingkat pengembalian utang yang rendah akan semakin mudah dikendalikan sesuai kepentingan negara pemberi utang. Hal ini juga dapat menurunkan pengaruh politis sebuah negara dalam percaturan politik global. Akibatnya, muncullah para pemimpin boneka yang hanya menjadi pelayan negara-negara maju.

Dari gambaran ekonomi secara luas tersebut, akan nampak bagaimana asing bisa mendikte sebuah negara yang mempunyai beban utang sangat tinggi melalui syarat-syarat yang mereka ajukan dalam memberikan utang. Utang dalam sistem kapitalis yang menerapkan riba menjadi senjata penjajahan paling sakti bagi negara-negara Kapitalis kepada negara-negara berkembang saat ini.

Dilihat dari dampak peningkatan utang, kedepannya jelas akan menjadi beban luar biasa bagi generasi mendatang. Pemerintah dengan mudah tinggal membuat kebijakan/ undang-undang untuk menekan pengeluaran dan penambahan pemasukan semaunya seperti menaikkan pajak, dan seterusnya demi menjaga kekuasaannya.

Penekanan pengeluaran biasanya lebih condong dengan mereduksi subsidi rakyat. Bagai jatuh tertimpa tangga, bertambahlah penderitaan rakyat karena negaranya mengalami defisit anggaran dengan pajak yang tinggi dan minimnya jaminan penghidupan dari pemerintah.

Negara berkembang akan bangkrut bila utang yang diambil hanya untuk menutup utang atau dialokasikan hanya pada pembangunan infrastruktur, bukan dialokasikan pada pengelolaan barang dan jasa yang produktif. Akhirnya dana utang itu tak akan berputar menghasilkan meningkatkan laju roda ekonomi.

Jebakan utang ala kapitalis sebagai cara baru menjajah negara- negara berkembang sekaligus menjadi alat meningkatkan hegemoni negara maju. Akibatnya negara pemberi utang akan sangat mudah mempengaruhi kebijakan dalam dan luar negeri di negara- negara pengutang. Akankah negeri lain akan menyusul karena tidak mengambil pelajaran dan meninggalkan kepercayaan pada kapitalisme global?

Penyelesaian tuntas haruslah melakukan perubahan secara sistemik oleh negara yang berdaulat dan mandiri. Mustahil hanya sekedar mengganti pucuk pimpinan, apalagi hanya level menteri/pejabat. Sejarah Islam sebagai sebuah ideologi dan sistem telah terbukti secara nyata mampu membangun sebuah negara tanpa utang, bahkan mampu mewujudkan kesejahteraan secara merata.

Khilafah atau Daulah Islam memiliki sistem negara yang asasnya berlandaskan kepada kedaulatan milik Syara’ dan kekuasaan milik umat. Dengan demikian akan meminimalisir pejabat yang semena-mena dalam membuat hukum dan menjalan aturan sesuai kepentingan hawa nafsu pribadi atau kelompoknya. Hasilnya, keadilan akan menjadi nyata dirasakan, karena jalannya kepemimpinan bebas dari pengaruh kepentingan segelintir elit politik dan pihak asing. Kesejahteraan merata akan diraih ketika pengelolaan semua hasil potensi ekonomi yang ada di negeri-negeri Islam sepenuhnya digunakan untuk kepentingan rakyatnya.

Bangkrutnya Sri Langka

Hal pertama yang harus dilakukan yaitu negara harus segera lunasi utang tanpa berutang. Dengan mengelola sumber daya alam secara mandiri yang hasilnya dapat dipakai untuk membayar utang luar negeri serta membangun infrastruktur negara, memenuhi kebutuhan dalam negeri tanpa impor agar pendapatan negara bisa dialokasikan pada fasilitas- fasilitas umum penunjang kesejahteraan rakyatnya.

Kedua, pejabat yang terlibat dalam peminjaman utang haruslah ikut bertanggung jawab, karena merekalah yang ikut andil dalam perizinan utang luar negeri.

Ketiga, berhenti membangun negara dengan utang luar negeri. Dalam sejarah sepanjang periode Nabi saw., defisit anggaran hanya pernah terjadi pada saat Penaklukan Makkah. Itu pun tetap segera dilunasi pada periode Perang Hunain pada tahun yang sama.
Pada masa Daulah Islam untuk membangun infrastruktur diambil dari Baitul Mal, yang mana pendapatan Baitul Mal didapat dari zakat, hasil pengelolaan sumber daya alam oleh negara, dan jizyah. Pertimbangan utama keseimbangan anggaran pada masa itu adalah prinsip kesederhanaan dan kemampuan untuk mandiri sebagaimana dalam ajaran Islam.

Lalu, jika Islam telah memberikan solusi dan terbukti efektif, kenapa masih bertahan dengan kapitalisme yang menjadi biang kekacauan?

Wallahu’alam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 10

Comment here