Oleh : Ikhtiyatoh, S.Sos
(Penulis, Pemerhati Sosial dan Politik)
wacana-edukasi.com– Pernikahan bukanlah happy ending tapi awal cerita kehidupan baru. Setelah ijab kabul, akan ada riak, ombak dan badai membersamai biduk rumah tangga yang mulai berlayar. Dibutukan persamaan pemikiran dan visi misi demi mempertahankan biduk tetap melaju sampai tujuan. Bagi pasangan yang tidak memiliki fondasi agama yang kuat, tentu akan kesulitan menjalani kehidupan baru tersebut. Mengingat, berumah tangga tidak hanya melibatkan suami dan istri tapi juga keluarga besar dan lingkungan masyarakat.
Hukum Syara’ Ditanggalkan?
Acara pernikahan, seharusnya menjadi momentum suci yang membahagiakan dan menenangkan. Namun, munculnya sejumlah pernikahan viral justru melunturkan kesakralan momen tersebut. Bahkan, pernikahan kerap dijadikan bahan candaan dan diremehkan. Seperti halnya viral mahar sendal jepit serta pernikahan seorang pria dengan kambing betina. Lagi, viral resepsi pernikahan di Magetan, Jawa Timur dimana hanya ada mempelai wanita. Sementara mempelai pria diduga kabur karena kesal, motornya dijual untuk biaya pernikahan.
Hukum syara’ pun semakin ditanggalkan. Kasus poliandri, pernikahan sejenis hingga pernikahan beda agama semakin menyeruak.
Sebelumnya, nettizen heboh dengan berita pengusiran warga terhadap seorang wanita berinisial NN (28) pada Kamis, (14/5/2022). Sejumlah pakaiannya dibakar. Wanita yang merupakan warga Kampung Sodong Hilir, Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukaluyu, Kabupaten Cianjur tersebut menikah siri dengan UA (32). Padahal, wanita tersebut masih berstatus istri sah TS (46). Karena kecewa, TS menjatuhkan talak tiga. Suami kedua yaitu UA juga menjatuhkan talak tiga karena merasa tertipu. NN mengaku berstatus janda beranak dua kepada UA.
Mucul kasus lain yang juga viral, ‘Ternyata Suamiku Perempuan’. Seorang istri bernama Nur Aini syok mengetahui suaminya seorang wanita. Rahasia suaminya, Ahnaf Arrafif alias Erayani baru terbongkar setelah 10 bulan pernikahan. Erayani melakukan berbagai upaya untuk menipu Nur Aini. Termasuk pengakuannya memiliki profesi sebagai dokter dan pengusaha batu bara. Selanjutnya, diketahui Erayani adalah lesbian. Kasus pernikahan sejenis tersebut mengingatkan akan hebohnya podcast Deddy Corbuzier yang mengundang pasangan sejenis Ragil Mahardika dan Frederik Vollert. Keberadaan L96T+ tampak semakin nyata.
Dunia maya kembali digemparkan berita Pengadilan Negeri (PN) Surabaya digugat karena mengesahkan pernikahan beda agama. Padahal, baru saja terjadi kegaduhan di tengah masyarakat akan kasus pernikahan beda agama staf khusus Presiden, Ayu Kartika Dewi dengan Gerald Basian. Belum lagi viral foto pernikahan beda agama di Semarang. Masyarakat di dunia maya maupun dunia nyata heboh memprotes sejumlah kasus pernikahan beda agama tersebut. Anehnya, perkara yang menyulut emosi masyarakat justru dilegalkan.
Peran Agama Dikerdilkan
Deretan kasus pernikahan diatas setidaknya menunjukan fungsi agama (Islam.red) semakin dikerdilkan. Pemerintah seperti acuh melihat berbagai pelanggaran hukum syara’ tersebut. Di Indonesia, masalah terkait pernikahan memang masuk delik aduan. Selama tidak ada warga yang mengadu dirugikan, maka tidak akan ada tindakan hukum. Meskipun terdapat tindakan amoral, asusila maupun pelanggaran hukum syara’.
Padahal, jika melihat kasus poliandri, pernikahan sejenis ataupun pernikahan beda agama, hukum positif Indonesia menentang ketiga hal tersebut. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan, perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dalam Islam, poliandri, pernikahan sejenis serta pernikahan beda agama, hukumnya haram. Artinya, jika salah satu calon mempelai beragama Islam, maka pernikahannya tidak sah. Sayangnya, pemerintah justru menoleransi dengan pasal lain.
Seperti halnya PN Surabaya yang memiliki dasar hukum lain saat melakukan pengesahan nikah beda agama melalui Penetapan Nomor 910/Pdt.P/2022/PN.Sby. Pengesahan dilakukan atas permohonan pasangan BA dan DS yang beragama Islam dan Kristen. Dasar pengesahan adalah pasal 28 B ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan, setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Termasuk pasal 29 UUD 1945 yang menjelaskan negara menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing juga dijadikan sebagai dasar hukum (jawapost.com, 21/6/2022).
Jika pernikahan beda agama yang jelas bertentangan dengan hukum syara’ bisa disahkan, maka tak menutup kemungkinan pernikahan sejenis juga dilegalkan. Begitu pula dengan poliandri. Bukankah selama ini, dengan dalih ‘suka sama suka’ dan ‘tidak merugikan orang lain’ selalu dinomorsatukan? Sejumlah kasus poliandri pun terbongkar, antara lain di Madura (2010), di Ngawi, Jawa Timur (2014), di Bali (2016) dan di Gresik (2020). Bahkan, warga Rembang, Jawa Tengah bernama Badriah melakukan poliandri seizin suaminya (2021).
Religius Nation State
Miris! Negeri dengan penduduk mayoritas muslim tapi semakin marak kasus pelanggaran syara’. Dampak langsung dibalik pernikahan sejenis, poliandri serta pernikahan beda agama telah menimbulkan keresahan dan gejolak di tengah masyarakat. Membiarkan pernikahan yang bertentangan dengan hukum syara’ di tengah masyarakat yang mayoritas muslim tentu akan mengacaukan tatanan sosial.
Sebagian masyarakat Indonesia memang masih memegang teguh norma agama maupun norma kesusilaan. Bersyukur masih banyak masyarakat ataupun nettizen yang mengkitisi fenomena sosial yang semakin rusak. Namun, peran pemerintah dalam penjagaan hukum syara’ sangatlah penting. Membiarkan masyarakat yang menangani kasus pelanggaran hukum syara’ berpotensi memicu konflik horizontal. Oleh karenanya, pemerintah dengan segala sumber daya memiliki wewenang sekaligus kewajiban mencegah terjadinya konflik.
Indonesia sebagai ’religious nation state’ seharusnya menempatkan agama sebagai pertimbangan utama dalam pembuatan dan pelaksanaan hukum. Sayangnya, isu demokrasi lebih kuat dibandingkan Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Demokrasi dengan ajaran kebebasan berasaskan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) menjadikan pemerintah bersikap masa bodoh terhadap pelanggaran agama.
Sebaliknya, upaya menerapkan syariat Islam justru dianggap sebagai sikap kuno yang mengancam keberlangsungan bangsa. Seolah lupa bahwa Islam merupakan ajaran agama yang sempurna dan paripurna. Penerapan syariat Islam pun bukan berarti mengancam eksistensi agama lain. Seolah lupa pula bahwa masyarakat Indonesia masih mayoritas muslim. Seharusnya, pemerintah menyadari bahwa rumah tangga muslim yang dibangun dengan fondasi selain Islam, cepat atau lambat akan runtuh.
Padahal, rumah tangga merupakan pertahanan pertama dan utama dalam sebuah negara. Semakin banyak rumah tangga yang berantakan, semakin kacau kondisi masyarakat. Hal ini tentu bisa mempengaruhi stabilitas keamanan dalam negeri. Dengan kata lain, efek jangka panjang poliandri, pernikahan sesama jenis serta pernikahan beda agama mampu ‘mengguncang suatu negeri’. Jika pernikahannya tidak sah, maka romantisme pasangan jusru menjadi dosa. Bukankah perbuatan dosa bisa mengundang murka Allah SWT? Naudzubillahi mindzalik.
Menjadi penting bagi pemerintah untuk menyadari, terpeliharanya kehormatan setiap warga melalui pernikahan yang normal dan wajar sesuai hukum Pencipta manusia adalah kemuliyaan dalam kehidupan bermasyarakat. Menempatkan kasus pelanggaran hukum syara dalam delik biasa, menjadi hal yang sangat urgen. Artinya, baik ada aduan ataupun tidak, selayaknya tetap diproses secara hukum. Hal ini adalah demi terjaganya kehormatan dan moralitas masyarakat yang akan menghantarkan pada peradaban lebih gemilang. Wallahu’alam bish showab.
Views: 6
Comment here