Oleh : Siti Komariah (Freelance Writer)
wacana-edukasi.com– Belum lama ini jagat dunia Maya kembali digenjarkan dengan meninggalnya pelajar putri lulusan SMA salah satu sekolah di kota Semarang, yang tewas bunuh diri akibat tidak lolos ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favoritnya. Pelajar tersebut tewas akibat over dosis alkohol dan beberapa obat dari spikiater. Hal ini dilakukan untuk memenuhi nazarnya yang telah ia ucapkan sebelum ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favoritnya.
Pasalnya, pelajar tersebut sebelumnya bernazar jika nanti dia lulus masuk ke PTN favoritnya, maka ia akan memberikan santunan kepada yatim piatu, namun jika tidak maka dia akan bunuh diri (hpos.id, 13/07/2022).
Kasus bunuh diri pada dunia pendidikan bukan hanya kali ini saja terjadi, sebelumnya pada tahun 2021 lalu seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri nekat meloncat dari gedung lantai 10 Mal Palembang. Menurut keterangan keluarga, korban diduga mengalami depresi akibat kuliahnya tak kunjung lulus. Korban merupakan mahasiswa Divloma IV Poltek semester sebelas (merdeka.com, 9/10/2021).
Sungguh miris, kejadian ini semakin menambah panjang noktah hitam dunia pendidikan dalam melahirkan generasi-generasi penerus bangsa. Hal ini juga menjadi bukti bahwa sistem pendidikan kapitalis gagal membangun generasi yang berkepribadian kuat, beriman dan bertakwa. Semua itu akibat asas kurikulum dalam pendidikan kapitalisme adalah materi semata, serta sekuler (memisahkan agama dari kehidupan).
Pendidikan sekuler hanya mampu mencetak generasi-generasi lulusan yang berprogres pada kebutuhan industri, bukan pada kemajuan sebuah peradaban. Generasi yang dihasilkan senantiasa berkarakter materialistik dan liberalis. Maka tak heran, jika mereka memiliki mental yang rapuh dan berpikir pendek jika tidak bisa meraih apa yang diinginkannya, termaksud gagalnya mereka masuk pada perguruan tinggi favoritnya.
Apalagi sistem kapitalisme juga menjadikan standar kebahagian berpijak pada materi, maka semua tolak ukur perbuatan adalah bagaimana cara mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya, tanpa peduli jalan yang ditempuh halal ataupun haram. Selama memiliki materi (harta) yang banyak, maka kebahagiaan akan diperoleh, sedangkan jika mereka tidak memiliki materi yang banyak hidup mereka akan sengsara dan menderita. Inilah pemikiran yang melekat dalam benak sebagian generasi saat ini, sehingga mereka berupaya untuk mencari materi demi meraih kebahagiaannya.
Rusaknya generasi pun tak luput dari hilangnya peran negara dalam menyediakan layanan pendidikan yang murah, bahkan gratis untuk diakses bagi setiap individu rakyat yang ingin mengenyam pendidikan. Sistem kapitalisme yang menjadi biang keroknya, menjadikan layanan pendidikan menjadi suatu program yang juga dikomersialisasi. Akibatnya, masyarakat yang ingin meraih pendidikan yang berkualitas harus menyediakan bajet yang cukup tinggi, tak jarang mereka juga harus bersaing untuk mendapatkannya.
Hal ini jauh berbeda dengan Islam. Islam menganggap bahwa generasi adalah manusia yang wajib dijaga dan dilindungi, serta dibentuk menjadi generasi yang memiliki pemikiran cemerlang, dan dijauhkan dari pemikiran-pemikiran dan budaya yang dapat merusak mereka, sebab di pundak generasi lah peradaban bangsa akan ditentukan.
Islam dengan sistem pendidikannya yang berkurikulum akidah Islam, dan pendidikan Islam memiliki tujuan untuk mencetak generasi-generasi yang memiliki syakhshiyyah al-Islamiyah (kepribadian islam). Dimana aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap) senantiasa disandarkan pada ketakwaan terhadap Allah swt. tak hanya itu, para pelajar pun dibekali dengan berbagai ilmu dan pengetahuan tentang kehidupan. Metode penyampaian pelajarannya pun dirancang untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut, maka jika ada metodologi yang tidak berorientasi pada tujuan tersebut, maka negara melarang tegas hal itu. Sehingga, generasi-generasi yang lahir pun memiliki kepribadian yang mampu membawa peradaban bangsa menuju peradaban yang gemilang.
Disisi lain, Islam pun mewajibkan negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya, termaksud menyediakan pendidikan yang murah dan gratis, serta memiliki sarana dan prasarana penunjang proses pembelajarannya mulai dari penyediaan guru yang mumpuni hingga sarana lainnya dengan sebaik-baiknya. Sekolah-sekolah didirikan di berbagai daerah, baik di daerah perkotaan maupun pelosok yang tidak ada perbedaan. Negara membangun sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sehingga, dengan adanya pendidikan yang murah dan mudah dijangkau, maka semua rakyat bisa mengenyam pendidikan dan bisa dipastikan bahwa tidak akan ada anak putus sekolah, maupun putus kuliah, apalagi tidak mampu mengenyam dunia pendidikan akibat kekurangan biaya.
Sebagaimana tergambar masa kejayaan Islam silam, dunia Islam membangun berbagai sekolah-sekolah yang melahirkan generasi cemerlang. Diantara sekolah tersebut antara lain, Nizamiyah di Baghdad, Al-Azhar di Mesir, al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, dan Sankore di Timbuktu, Mali, Afrika. Dari beberapa lembaga tersebut, berhasil melahirkan tokoh-tokoh pemikir dan ilmuwan Muslim yang sangat disegani dan dikenal namanya hingga saat ini. Misalnya, al-Ghazali, Ibnu Ruysd, Ibnu Sina, Ibn Khaldun, Al-Farabi, al-Khawarizmi, dan al-Ferdowsi
Tak hanya itu, negara Islam juga membangun berbagai perpustakaan. Diantaranya, di Andalusia berisi 400 ribu buku. Perpustakaan Darul Hikmah (Mesir) mengoleksi sekitar 2 juta judul buku. Perpustakaan Umum Tripoli (Syam) mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku. Perpustakaan Al-Hakim (Andalusia) memiliki 40 ruangan yang setiap ruang berisi lebih dari 18 ribu judul buku.
Sungguh keberhasilan yang luar biasa. Jika negeri ini ingin memiliki generasi yang tangguh, maka tidak ada jalan lain kecuali mengambil Islam sebagai tatanan dalam setiap kehidupannya. Wallahu A’alam Bisshawab.
Views: 38
Comment here