Oleh : Netty al Kayyisa (homescholer, pengamat kebijakan publik)
wacana-edukasi.com– Bencana alam tak bosan bertandang. Mulai dari yang kecil hingga yang besar. Mulai kerugian individu hingga kerugian komunal. Mulai ratusan ribu hingga jutaan barang berharga terlindas tanpa batas.
Masih belum hilang dalam ingatan, banjir bandang yang menimpa Batu Kota Wisata. November 2021 silam. Banjir yang menimbulkan banyak kerugian dan mencengangkan banyak orang karena kedasyatannya. Tak lama berselang, tahun 2022 ini, di bulan Juli, ketika perhatian anak manusia pada pendidikan, bencana kembali melanda. Banjir di Garut, erupsi anak gunung Krakatau, juga banjir di Karawang. Bertubi-tubi menghampiri. Seperti tak kenal lelah meninggalkan duka dan air mata bagi anak negeri.
Tak dimungkiri, pemerintah dan masyarakat bersinergi mencegah bencana ini. Seperti yang kita pahami, sejak pelajaran SD hingga perguruan tinggi, banjir tidak serta merta ada dengan sendirinya. Meski curah hujan itu nyata, debit air juga bisa menjadi penyebabnya, tapi penebangan hutan juga banyak berperan. Reboisasi menjadi program andalan untuk mengatasi banjir dan bencana alam yang lain.
Hingga untuk menunjang program ini, pemerintah Jabar telah membuat aplikasi e-tanam untuk memantau perkembangan penanaman pohon. Langkah ini diikuti oleh Pemkot Batu. Melalui Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Batu Aries Setiawan menyampaiakn bahwa program ini disebabkan karena dua hal yaitu berkaca dari peristiwa banjir bandang tahun lalu dan terinsiparsi dari pemprov Jabar.
Dengan program e-tanam ini berharap program penanaman pohon oleh individu atau melalui program reboisasi yang digalakkan bisa terpantau, terlaporkan dan terus berkembang. Tidak ditelantarkan dan bisa tumbuh maksimal. Akankah bisa terwujud dan berhasil sesuai harapan?
Bukan pesimis dan putus asa. Tetapi melihat fakta. Pemprov Jabar telah menggunakan aplikasi ini sejak tahun 2019. Pada faktanya bencana tidak terelakkan. Bukan masalah ini adalah takdir dari Yang Maha Kuasa, tetapi ada hal yang lain yang perlu dilihat dan diperiksa. Sudahkah tata keloala negara sesuai dengan syariahNya? Sehingga Allah tidak murka dan menurunkan bencanaNya?
Sudah berapa banyak reboisasi yang dilakukan, penanaman pohon digalakkan tetapi cara pandang terhadap tata kelola lahan masih berdasarkan keuntungan bukan pelayanan terhadap umat. Di satu sisi menanam, di sisi lain membiarkan lahan baru dibuka untuk pertanian, pemukiman dan kepentingan lainnya yang hanya berorientasi uang. Bisa dikatakan program e-tanam ini tak menyentuh akar persoalan.
Di Batu contohnya, harga tanah semakin mahal. Banyak lahan di buka, dikavlingkan untuk perumahan dan villa. Yang hanya dimiliki oleh segelintir orang bahkan bisa jadi bukan masyarakat dalam kota Batu. Di daerah yang seharusnya menjadi tanah resapan di buka lahan untuk pertanian sayuran sebagai komoditi andalan. Bukan hanya memenuhi kebutuhan pangan masyarakat akan sayuran, tetapi demi mempertahankan prestise sebagai kota pariwisata, kota penghasil sayur dan buah, serta mencapai keuntungan sebesar-besarnya karena lahan yang di buka termasuk lahan subur. Sementara untuk petani sendiri apakah mendapatkan keuntungan? Memiliki lahan menjadi juragan tanah yang kaya raya? Sekali lagi hanya dinikmati segelintir orang saja.
Tak salah memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk perbaikan lahan. Bahkan sangat dianjurkan. Tetapi selama paradigma tentang pengelola lahan tidak bergeser maka tidak akan mendapatkan hasil maksimal.
Agar kecanggihan teknologi berhasil maksimal, termasuk di dalamnya adalah program e-tanam ini, maka yang harus ditata terlebih dahulu adalah cara pandang terhadapa tata kelola lahan. Dalam perspektif Islam, isu pokok tentang lahan adalah bagaimana pengelolaan tanah bisa optimal dan berkelanjutan. Optimal di sini bukan bermakna bermanfaat hanya untuk segelintir orang, tetapi bermanfaat untuk seluruh umat. Maka ada banyak regulasi berkaitan dengan pengolahan lahan dalam Islam.
Islam membolehkan pembukaan lahan untuk pertanian, hanya perlu diperhatikan lahan mana yang bisa digunakan untuk pertanian, mana yang digunakan untuk penyerapan air. Untuk tanah-tanah dan hutan-hutan yang digunakan untuk penyerapan, maka tidak dibolehkan dibuka sembarangan untuk lahan pertanian. Lahan pertanianpun harus di kelola oleh pemilik tanah dengan sistem dikerjakan sendiri atau memperkerjakan orang lain. Bukan dengan disewakan yang menjadikan pemilik tanah tanpa bekerja pun mendapatkan hasil maksimal. Ini cara pandang kapitalis sejati.
Perijinan pembukaan tanah ini juga tidak digelontorkan besar-besaran. Harus diperhatikan apakah memang dikerjakan secara maksimal? Apakah tidak membahayakan masyarakat? Apakah tidak membahayakan kelangsungan fungsi tanah secara berkelanjutan?
Dalam Islam, negara juga memiliki hak menetapkan tanah tertentu sebagai tanah yang di proteksi. Tidak boleh dimiliki oleh siapapun. Dipergunakan hanya untuk kemaslahatan umat. Seperti kawasan hutan sebagai penyerapan air sekaligus paru-paru dunia.
Dengan kembali pada konsep Islam dalam penataan lahan, yang berbasis pelayanan dan kemaslahatan umat, maka tak akan dijumpai penyalahgunaan fungsi lahan sehingga upaya reboisasi, penanaman kembali bisa dilakukan dengan maksimal, tanpa ada aktivitas yang saling bertentangan. Wallahu’alam bi showab.
Views: 10
Comment here