wacana-edukasi.com– Berbicara tentang bunuh diri remaja dan pelajar, banyak kasusnya. Dalam tahun 2022 saja, terdapat kasus bunuh diri remaja di Kebon Jeruk (Jakarta Barat), Cikarang, Karawang, Denpasar Bali, dan sebagainya dengan berbagai motifnya. Bahkan, seorang siswi di Semarang mengakhiri hidupnya karena tidak diterima di PTN impiannya yaitu UGM.
Sungguh nahas, karena tindakan tersebut ternyata sudah dinazarkan oleh pelaku, yang apabila keterima, maka ia akan memberikan santunan untuk anak yatim. Pelaku sebagaimana yang diceritakan sang kakak lewat twitter juga berpacaran dengan seorang abusive atau melakukan kekerasan verbal dan manipulatif sehingga mendorong pelaku untuk mengakhiri hidupnya dengan cara overdosis alkohol dan obat-obatan dari psikiater.
Kasus berikutnya juga terjadi pada salah satu mahasiswa di Samarinda yang nekat gantung diri akibat kuliahnya selama 7 tahun tak kunjung selesai dan skripsinya ditolak terus oleh dosen. Tak ayal lagi, faktor depresi menjadi penyebab utama kasus bunur diri pada remaja, pelajar maupun kasus secara umum.
Menurut ahli Kesehatan jiwa, Nova Riyanti Yusuf, depresi dan gangguan bipolar adalah dua penyakit mental yang bisa mendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri. WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa depresi menjadi penyakit denan angka kasus tertinggi kedua di dunia setelah penyakit jantung. Di Indonesia sendiri sebanyak 800 ribu jiwa meninggal dunia per tahunnya karena bunuh diri. (idntimes.com, 10/10/2020).
Berbicara penyebab depresi sendiri tentu sangat banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi depresi, dari persoalan ekonomi hingga relasi keluarga maupun sosial. Namun, segala persoalan yang menjadi penyebab depresi seharusnya tidak sampai menyebabkan seseorang mengakhiri hidup bila ada keimanan yang kuat dalam dirinya.
Suasana keimanan inilah yang mahal dan langka dalam sistem sekular kapitalis seperti saat ini. Sudahlah iman susah dicari bahkan dihalang-halangi, pengaturan untuk penyelesaian kehidupan juga semakin sulit dan sulit. Dari sisi akarnya, sekuler adalah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama tidak boleh mengatur kehidupan. Agama hanya berperan dalam ranah urusan pribadi individu, dan hanya menyangkut spiritualitas dan ibadah individu semata. Bahkan, tidak beragama pun dipersilahkan.
Efek dari negara yang tidak berlandaskan aqidah ini sangat fatal, karena pada akhirnya urusan ketaatan kepada Tuhan diserahkan kepada pilihan individu masing-masing. Mirisnya lagi adalah sistem ini menolak apabila agama yang haq hendak diterapkan sebagai solusi kehidupan. Maka, bila urusan keimanan sebagai obat penyebab depresi ini ingin dihadirkan, mau tidak mau sekularisme ini harus ditinggalkan dan diganti dengan sistem Islam untuk mengatur urusan kehidupan.
Negara yang berlandaskan aqidah Islam dan menerapkan syariat Islam sebagai peraturannya, akan mempunyai metode yang khas dalam penyelesaian persoalan kehidupan. Karena Islam datang dari Dzat Yang Maha Menciptakan, maka hanya Islamlah yang mampu menaungi manusia sesuai dengan fitrahnya. Bila dikaitkan dengan kasus bunur diri pelajar diatas, tak lepas dari persoalan dunia Pendidikan yang juga berlandaskan pendidikan sekuler.
Terbentuknya keimanan yang kuat pada diri peserta didik hanya menjadi pemanis saja, pada praktiknya sangat jauh dari tujuan tersebut. Berbeda dengan sistem Islam dimana aqidah Islam dijadikan landasan pendidikan sehingga negara akan memberlakukan semua yang ditujukan untuk terbentuknya tujuan Pendidikan Islam yaitu keimanan yang kokoh dan terbentuknya kepribadian Islam pada diri peserta didik.
Peserta didik adalah semua penduduk negara tanpa pandang status, ekonomi bahkan agama, semua berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan gratis atau murah. Akses pendidikan akan mudah karena menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban dimana negara berkewajiban menyelenggarakannya untuk menjadikan generasi Islam berkulitas, kuat, sholih demi menyokong peradaban Islam.
Ratna Mufidah, SE
Views: 24
Comment here