Oleh : Lilis Iyan Nuryanti
(Komunitas Pena Islam)
wacana-edukasi.com– Sungguh miris, kondisi warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi tenaga kerja di Kamboja. Kabarnya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Phnom Penh pada Minggu, 31 Juli 2022, mengevakuasi 62 WNI terduga korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dipekerjakan di perusahaan investasi bodong serta judi online di Kamboja. WNI tersebut disekap dan disiksa. Padahal harapan mereka berangkat ke Kamboja supaya hidup jadi sejahtera dan bangga bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah yang melimpah dan membuat keluarga di rumah bahagia.
Berdasarkan catatan KBRI Phnom Penh, kasus perdagangan manusia di Kamboja bukan kali ini saja terjadi. Pada 2021, 119 WNI korban investasi bodong telah dipulangkan ke Indonesia. Tahun ini, kasus serupa semakin meningkat. Hingga Juli 2022, tercatat 291 WNI menjadi korban, dengan 133 orang di antaranya sudah berhasil dipulangkan.
Menurut keterangan Migrant CARE, para korban berasal dari berbagai daerah antara lain Medan (Sumatra Utara), Jakarta, Depok (Jabar), Indragiri Hulu (Riau), Jember (Jatim). Dari agen yang berada di Kamboja, mereka dijanjikan bekerja sebagai operator, marketing dan customer service dengan gaji US$1000 – 1500, atau sekitar Rp15-22 juta. Faktanya mereka hanya menerima US$500 atau sekitar Rp 7 juta. Apabila para PMI tersebut mengundurkan diri maka harus membayar denda sebesar US$ 2000 – 11000, atau Rp 30-163 juta. Korban dijual dengan harga yang beragam, salah satunya dijual seharga US$2000 atau Rp 30 juta. Mereka dijual dari perusahaan satu ke perusahaan lain karena beberapa sebab. Mereka juga dipekerjakan tanpa kontrak dan jam kerja yang panjang.
Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) memperlihatkan di masa pandemi Covid-19 pada 2020 – 2021, jumlah penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) menurun, tetapi angka kasus pengaduan TPPO meningkat. Sedangkan data Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), pada 2021 saja ada 159 PMI yang menjadi korban perdagangan orang (tempo.com, 31/7/2022).
Hasil studi SBMI atas dukungan Kurawal Foundation yang dilakukan selama Februari – Juni 2021 tentang “Respons dan Tanggung Jawab Perwakilan RI dalam Melindungi Buruh Migran Indonesia dari Dampak Pandemi Covid-19”, menunjukkan fakta bahwa respons pemerintah dalam melindungi PMI yang terdampak pandemi Covid-19 masih belum maksimal. Data itu diambil dari empat negara tujuan PMI, yaitu Malaysia, Singapura, Hongkong dan Arab Saudi.
Studi SBMI yang lain tentang ‘Pemberdayaan Ekonomi Mantan PMI terdampak Covid-19’ mengungkap mayoritas PMI yang pulang ke tanah air di masa pandemi karena mengalami masalah ekonomi dan banyak yang tidak bekerja, serta sulit mengakses bantuan pemerintah. Situasi membuat PMI yang pulang ke Indonesia rentan terjebak dalam jeratan utang dan menjadi korban TPPO.
Berdasarkan hal tersebut, SBMI pun meminta Pemerintah RI mengimplementasikan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia secara maksimal. Pemerintah dinilai harus lebih serius melakukan upaya pencegahan TPPO pada PMI hingga ke tingkat desa, termasuk kepada para mantan PMI yang pulang di masa Pandemi Covid-19.
Selain itu, Perwakilan RI di luar negeri diharapkan mau memastikan kondisi PMI yang terdampak Covid-19 mendapat perlindungan dari segala bentuk TPPO dan memastikan penanganan PMI korban TPPO mendapat pelayanan sesuai kebutuhan korban.
Dalam peringatan Hari Anti-Perdagangan Orang Sedunia pada 31 Juli 2022, SBMI juga meminta Pemerintah Indonesia bisa memastikan identifikasi korban dilakukan sejak PMI masih di negara tujuan, menjamin pemenuhan hak restitusi dan reintegrasi korban. Pemerintah pun diharapkan bisa mendorong negara-negara tujuan pekerja migran agar mau meningkatkan respons yang inklusif terhadap buruh migran terdampak Covid-19, termasuk dari kerentanan terhadap TPPO.
Sulitnya mencari pekerjaan saat ini terkadang membuat seseorang memutuskan untuk bekerja di luar negeri. Apalagi dengan kondisi yang semakin sulit, biaya hidup yang tinggi dan kebutuhan yang harus dipenuhi. Tidak sedikit pula yang akhirnya membuat seseorang yang tidak kuat keimanannya mengerjakan sesuatu yang haram asalkan bisa memenuhi tuntutan.
Seharusnya negara menjamin terciptanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Namun inilah kapitalisme, negara melepas tanggung jawabnya kepada masyarakat.
Masyarakat dibiarkan untuk mencari pekerjaan sendiri-sendiri dan sampai rela mengantri bahkan sogok menyogok demi mendapatkan lapangan pekerjaan. Hal ini membuktikan bahwa negara belum secara tuntas mengatasi permasalahan terkait pengangguran yang semakin meningkat dalam setiap tahunnya, sedangkan jumlah lapangan pekerjaan masih minim. Sehingga rakyat memilih mencari kerja ke luar negeri, walau dengan resiko yang tinggi.
Kasus TPPO atau trafficking tidak cukup diselesaikan dengan usaha pembebasan dan penyelamatan yang dilakukan oleh pemerintah. Butuh solusi yang tepat supaya dapat menuntaskan permasalahan besar tersebut. Sehingga perekonomian masyarakat pun bisa meningkat.
Perlindungan total hanya bisa dilakukan pemerintah bila di dalam negeri tersedia cukup lapangan kerja dan kemudahan memenuhi kebutuhan dasar setiap individu rakyat sehingga tidak perlu merasa terpaksa harus mencari kerja di luar negeri. Kalaupun ada rakyat yang ingin berkarir di luar negeri maka pilihan tersebut harus diiringi tiadanya mudharat dan pemberian jaminan perlindungan oleh negara.
Hanya saja, seluruh upaya tersebut kemungkinan besar menemui jalan buntu, selama sistem kapitalisme masih diterapkan dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seharusnya, semua pihak menyadari bahwa, satu-satunya solusi adalah dengan mengubah persepsi dan mengganti sistem aturan baru yang komprehensif solutif yaitu dengan sistem Islam.
Islam sebagai agama yang sempurna, tentunya memiliki aturan dari sang pencipta. Di dalam negara Islam para pejabatnya adalah pelayan umat. Sehingga negara harus benar-benar hadir di tengah-tengah umat melayani mereka termasuk memberikan dan menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya dan akan memastikan satu persatu warga negaranya benar-benar mendapatkan pekerjaan. Karena dengan bekerja mereka bisa mendapatkan penghasilan dan memberi nafkah keluarga untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Dalam Islam penerapan sistem ekonomi Islam akan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Sumber daya alam (SDA) yang melimpah tidak boleh dieksploitasi untuk segelintir orang sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme. Namun, SDA wajib dikelola oleh negara, yang hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat.
Maka bukan hal mustahil jika pelayanan pendidikan dan kesehatan diberikan secara cuma-cuma alias gratis. Karena penerapan sistem ekonomi Islam mengkondisikan yang demikian.
Dalam Islam, negara juga wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Lapangan pekerjaan yang bisa diakses dengan mudah, membuka lowongan pekerjaan seluas-luasnya di berbagai bidang, pemberian modal, membuka lahan baru (menghidupkan tanah mati). Selain itu, pemerintah membuat kebijakan yang mengoptimalkan pemberdayaan SDM (Sumber Daya Manusia) dalam negeri daripada menjadi PMI. Sungguh sistem Islam adalah solusi tuntas segala persoalan pelik saat ini.
Perekonomian negara juga akan stabil ketika setiap rakyatnya memiliki pekerjaan. Di dalam negara Islam, warga negara tidak akan sampai mengundi nasib dalam bekerja hingga mengorbankan nyawa. Dengan penerapan sistem ekonomi Islam akan mengatur semuanya dengan baik. Ini semua tentu saja akan terwujud jika Islam diterapkan secara sempurna dalam bentuk sebuah negara. Sudah saatnya kita semua mendukung penerapan aturan Islam secara kaffah di muka bumi ini.
Wallhu a’lam bishshawab.
Views: 5
Comment here