Opini

Radikalisme, Isu Usang Menyasar Islam

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Novianti

wacana-edukasi.com– Dikutip dari laman humas.polri.go.id (13/08/2022) Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono mengingatkan agar masyarakat waspada terhadap gerakan intoleransi, radikalisme dan terorisme. Terutama memasuki tahun ajaran baru karena dalam lima tahun terakhir, kampus sudah menjadi incaran kelompok radikal-terorisme.

Sebelumnya, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman mengintrusikan agar jajaran TNI AD peka terhadap perkembangan kelompok radikal yang sudah masuk di kalangan pelajar. Hal ini disampaikannya saat memimpin apel gelar pasukan di kawasan Silang Monas, Jakarta pada Januari lalu.

Radikalisme memang menjadi isu utama akhir-akhir tahun ini dan terus digoreng. Semua jajaran pemerintahan mulai dari para menteri hingga lembaga-lembaganya seperti BNPT mengopinikan seolah radikalisme merupakan persoalan utama bangsa. Padahal hingga sekarang makna radikalisme sendiri masih belum jelas sehingga dapat menimbulkan kesalahan persepsi dan identifikasi serta kegaduhan di tengah masyarakat. Antar masyarakat bisa saling curiga sehingga berpotensi munculnya bibit pepecahan.

Negara Penuh Drama

Kepemimpinan di negara saat ini lemah, berjalan tanpa visi dan arahan yang jelas. Banyak kebijakan yang diputuskan presiden tetapi justru tidak sinkron dengan para pembantunya. Terlihat, presiden tersandera oleh kepentingan dari orang-orang yang berada di sekitarnya.

Beberapa kali presiden menganulir kebijakan yang membuat masyarakat bingung. Misal berkaitan dengan batubara. Pemerintah melarang ekspor batubara sejak 1 hingga 31 Januari. Keputusan ini kontan direspon kalangan pengusaha batubara. Akhirnya, keputusan presiden hanya seumur jagung. Dua pekan dari sejak pelarangan, tongkang-tongkang sudah kembali membawa batubara ke luar Indonesia.

Ketika harga minyak goreng melambung naik, pemerintah mencoba menetapkan aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk minyak goreng kemasan per 1 Februari 2022. Harga sempat turun di pasaran tetapi menjadi langka. Akhirnya pertengahan Maret, aturan dicabut dan harga diserahkan ke mekanisme pasar.

Persoalan hukum juga memiliki PR yang besar. Masyarakat sering dipertontonkan dengan dagelan-dagelan yang membuktikan hukum telah tebang pilih terutama jika melibatkan penguasa dan pengusaha. Penjahat dan koruptor kelas kakap Djoko Tjandra yang sempat jadi buronan karena kabur ke luar negeri, hukumannya malah dipangkas. Demikian juga Jaksa Pinangki yang disuapnya, dari hukuman 10 tahun dipangkas tinggal 4 tahun. Koruptor Eks-Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mendapat pengurangan yang semula divonis 9 tahun penjara menjadi 5 tahun. Masih banyak sederet bukti lain yang menunjukkan hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Kemiskinan, stunting, demoralisasi juga seharusnya menjadi perhatian dan segera dicari solusinya. Namun, lagi-lagi penguasa sudah kehilangan kepekaannya. Mereka lebih menyibukkan dengan persiapan perebutan kekuasan menjelang pemilu 2024.

Pemerintah sudah kehilangan fokus, lebih memprioritaskan proyek-proyek mercusuar yang tidak berdampak pada kepentingan masyarakat banyak. Sebagai contoh proyek kereta api cepat, bandara, dan pemindahan ibu kota negara. Sudah menjadi rahasia umum, proyek-proyek sering dijadikan bancakan dan penyelewengan kerap terjadi. Dengan dalih untuk percepatan ekonomi, nyatanya kehidupan rakyat tetap sulit.

Pantaslah, tingkat stres masyarakat dan penyakit kesehatan mental makin merebak. Rakyat hanya dimanfaatkan untuk kepentingan elite politik dan memperkaya para pemilik modal. Hubungan penguasa-rakyat bersifat transaksional bukan pelayanan. Semua harus dibayar dengan uang. Tak peduli miskin atau kaya.

Senyatanya, yang menjadi kekhawatiran masyarakat adalah kehidupan yang bertambah sulit akibat naiknya biaya hidup. Sejak awal tahun, pemerintah telah mengurangi subsidi dan menaikkan harga mulai dari BBM, gas, dan listrik. Sederet persoalan lain juga harus segera diselesaikan seperti pengangguran dan kemiskinan.

Karenanya, isu radikalisme sama sekali tidak nyambung dengan persoalan riil yang dihadapi masyarakat. Akhirnya, energi bangsa terbuang untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan tidak membawa kebaikan bagi masyarakat.

Di Balik Isu Radikalisme

Narasi perang melawan radikalisme bukanlah isu yang hanya muncul di Indonesia. Ini isu global yang dihembuskan ke negeri-negeri muslim pasca Amerika Serikat dengan dukungan negara-negara Barat menyerukan perang melawan terorisme. Keduanya, baik istilah terorisme dan radikalisme, dibuat dengan definisi multitafsir yang bisa dijadikan sebagai alat untuk menggebuk siapa saja yang berlawanan dengan rezim. Seringkali yang menjadi sasaran adalah kelompok umat Islam yang kritis dan bersuara vokal terhadap kebijakan penguasa yang dzalim serta bertentangan dengan syariat Islam.

Donald Trump saat menjadi presiden kala itu menyatakan bahwa Amerika Serikat sedang berperang melawan Islam radikal. Hal ini disampaikan di hadapan para pemimpin 55 negara muslim agar kelompok-kelompok esktrim diperangi karena membahayakan kehidupan manusia. Steve Bannon, pria yang dipandang pemikir ideologis pemerintahan Trump mengungkapkan bahwa kelompok radikalisme merupakan ancaman. Meski berjumlah kecil sebesar 10% dari populasi umat Islam keseluruhan, tetapi bisa menggerogoti kekuatan Barat.

Mantan PM Inggris, Tony Blair juga menuduh idiologi Islam sebagai idiologi syetan. Ciri idiologi syetan adalah menolak legitimasi Israel, berpendapat hukum harus kembali pada hukum Allah, menyebarkan gagasan penyatuan umat Islam di seluruh dunia dalam Khilafah dan tidak mengadopsi nilai-nilai liberal.

Presiden Prancis Emmanuel Macron juga melontarkan pernyataan keji bahwa Islam agama yang sedang mengalami krisis. Ia melakukan pengawasan terhadap masjid dan tidak mengizinkan membawa atribut-atribut agama di area pendidikan dan layanan publik. Langkah-langkah tersebut dilakukan Macron untuk mengatasi tumbuhnya radikalisasi yang berseberangan dengan prinsip dasar persatuan Prancis yaitu sekularisme.

Dengan demikian isu radikalisme bukan gagasan yang berangkat dari fakta dan pengamatan obyektif. Ia adalah proyek global negara-negara Barat yang dipaksakan harus diadopsi oleh negeri-negeri muslim. Tentunya Barat tidak bisa secara langsung menindak kelompok yang dianggap radikal melainkan meminjam tangan para penguasanya.

Gencarnya hembusan isu radikalisme oleh para pejabat menunjukkan bahwa negara ini sudah dalam pengaruh dan arahan negara-negara Barat. Tujuannya adalah menekan kelompok muslim yang berjuang untuk melahirkan kebangkitan Islam yang merupakan ancaman menakutkan bagi Barat. Tak heran, pergerakan yang menyatukan umat Islam seperti aksi 212 mendapat sorotan. Gerakan semacam ini akan terus diteropong Barat dan diframingkan secara negatif. Tujuannya agar masyarakat mengasingkan dan menolak ide-idenya.

Isu radikalisme sejatinya upaya menyembunyikan kegagalan sistem sekuler kapitalisme, sistem Barat yang diterapkan di negeri-negeri muslim termasuk Indonesia. Mata umat dikaburkan dari persoalan korupsi yang makin menjadi, perampokan SDA oleh asing, dan berbagai kebijakan yang mencekik rakyat. Semuanya akibat penerapan sistem sekuler kapitalis.

Dengan fakta tersebut, seharusnya umat Islam segera merapatkan barisan agar jangan sampai terpecah belah oleh isu radikalisme. Fokuskan pada upaya membongkar kebobrokan sistem sekuler kapitalis dan memperjuangkan idiologi Islam sebagai satu-satunya solusi yang dapat memberikan harapan di masa depan.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 5

Comment here