Opini

Korupsi Penyakit Akut, Cukupkan Character building Jadi Solusi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Nurhikmah
(Tim Pena Ideologis Maros)

wacana-edukasi.com– Lagi dan lagi rakyat dipaksa mengelus dada setelah berita korupsi di lingkungan perguruan tinggi ramai diberitakan di berbagai media. Dikutip dari detikNews.com (21/8/2022) KPK menetapkan Rektor Universitas Lampung (Unila), Prof Dr Karomani (KRM) sebagai tersangka kasus suap proses penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri Unila. Kombes Asep mengatakan kegiatan OTT terhadap Karomani dkk dilakukan pada Jumat, 19 Agustus 2022, sekitar pukul 21.00 WIB. Tim KPK mengamankan 8 orang di wilayah Lampung, Bandung dan Bali.

Pada media yang sama diberitakan bahwa dalam operasi tangkap tangan (OTT), KPK menemukan bukti uang tunai Rp 414,5 juta, slip setoran deposito di salah satu bank sebesar Rp 800 juta, dan kunci safe deposit box yang diduga berisi emas senilai Rp 1,4 miliar. Selain itu, ada bukti lain berupa kartu ATM dan buku tabungan berisi Rp 1,8 miliar.

Mirisnya operasi tangkap tangan tersebut dilakukan saat Dr Karomani, Rektor Unila sedang mengikuti kegiatan character building di Bandung. Sebagaimana dikutip dari detikNews.com (20/8/2022), sebelum kena OTT KPK, Karomani mengikuti acara pembentukan karakter (character building). Berdasarkan situs Unila, Karomani beserta para wakil rektor mengikuti character building di Hotel Sari Ater, Lembang, Bandung, Jawa Barat (Jabar), pada Rabu-Sabtu (17-20/8). Acara itu diikuti tim Indikator Kinerja Utama (IKU) dan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) Unila.

Menanggapi hal ini, Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menyatakan bahwa kejadian seorang rektor yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap menjadi pelajaran untuk melakukan perbaikan. Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi (Diktiristek), Nizam mengatakan, “Kejadian ini juga menjadi pembelajaran bagi kami untuk terus menerus melakukan perbaikan tata kelola dan peningkatan pengawasan dengan tetap mendorong otonomi perguruan tinggi yang sehat dan akuntabel.” Terlebih, menurut dia, saat ini Kemendikbud Ristek sedang mendorong perguruan tinggi menjadi zona berintegritas, bebas dari korupsi. (Kompas.com, 21/08/2022)

Tahun 2021 lalu Indonesia Corruption Watch (ICW) sendiri pernah mengungkapkan hasil kajiannya terkait kerugian negara yang disebabkan oleh kejahatan korupsi di sektor pendidikan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa negara merugi sebesar Rp1,6 triliun sepanjang 2016-September 2021. Peneliti ICW, Dewi Anggraeni, juga mengatakan terdapat 240 korupsi pendidikan yang ditindak aparat penegak hukum dalam waktu enam tahun terakhir. (CNN Indonesia, 22/11/2021).

Hal ini kemudian menunjukkan bahwa berbagai program pembangunan karakter khususnya di lingkungan pendidikan hingga saat ini belum mampu memberikan pengaruh besar dalam penyelesaian masalah korupsi di Indonesia. Padahal kampus sendiri dianggap sebagai pusat intelektual yang harusnya menjadi wadah pencetak generasi agent of change.

Bukti Kegagalan Sekularisme

Pada dasarnya yang menjadi biang atau akar persoalan yang membuat Indonesia termasuk sebagian besar Negara di dunia sangat sulit menuntaskan praktek korupsi hingga saat ini adalah dikarenakan mental kapitalistik yang dimiliki para intelektual. Mental ini serta merta lahir dari sistem pendidikan demokrasi yang berbasis sekularisme (paham yang memisahkan agama dari kehidupan).

Sekularisme telah membelokkan tujuan pendidikan yang sebenarnya yakni dalam hal membentuk dan melahirkan generasi bermoral dan berkepribadian Islam ke arah materialistik. Bahkan pendidikan hanya terarah pada kepentingan dagang atau politik semata. Akibatnya ouput yang terbangun dari sistem pendidikan ini adalah generasi-generasi hedonis, materialis, individualis, dan pragmatis tetapi berakhlak minimalis. Sehingga, pemberian pelatihan-pelatihan anti korupsi sekalipun tak akan mampu membendung mental keserakahan tersebut, selama pendidikan masih berbasis pada sekularisme.

Disamping itu, para koruptor makin dilenakan oleh sistem hukum lemah yang ada, bukannya memberikan efek jerah justru memunculkan potensi korupsi-korupsi lainnya. Dalam demokrasi, slogan “tajam ke bawah tumpul ke atas” memang nampak adanya. Terbukti dari berbagai kasus yang ada. Tercatat banyak kasus korupsi yang meski telah terbukti merugikan negara dan rakyat dalam jumlah yang sangat besar tetapi dipidanakan hanya beberapa tahun masa tahanan dengan alasan yang tidak masuk akal. Sedangkan tak sedikit kasus pencurian yang hanya merugikan puluhan atau ratusan ribu dijerat dengan pidana yang sama bahkan bisa lebih berat dan tanpa embel-embel banding.

Rakyat Rindu Solusi Hakiki

Sejak dulu korupsi memang telah menjadi penyakit akut yang alami oleh Indonesia. Sehingga yang diperlukan bukan sekadar pelatihan-pelatihan yang bersifat pragmatis, tetapi butuh solusi yang lebih mendasar. Adapun yang mampu menjadi solusi tepat atas persoalan ini tentu hanyalah dengan kembali pada sistem Islam. Sebab terbukti selama kurang lebih 13 abad lamanya Islam mampu menjadi sistem kehidupan yang berhasil memimpin 2/3 dunia, serta menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan termasuk masalah korupsi. Meski terdapat beberapa masa yang di isi oleh para penguasa-penguasa yang rakus akan kekuasaan, namun hal itu tak lantas mengurangi entitas kesempurnaan Islam.

Penyelesaian masalah korupsi dalam Islam dimulai dari penerapan sistem pendidikan yang bertujuan membentuk karakter dan kepribadian Islam pada diri setiap generasi. Sebagai harapan output dari pendidikan tak hanya berfokus pada penguasaan ilmu IPTEK, tetapi juga ketakwaannya pada Syariah Islam. Salah satu pengaruhnya akan tercipta kebiasaan amar ma’ruf nahi mungkar di tengah masyarakat termasuk kepada penguasa pemerintahan sebagai buah dari ketaatannya pada hukum Syara’.

Dalam Islam sendiri, seorang pemimpin memiliki tugas dan peran sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Seorang Imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Oleh karena itu, sebagai salah satu upaya dalam mencegah terjadinya tindak korupsi, negara berkewajiban membentuk badan pengawasan/pemeriksa keuangan. Sebagaimana yang tertulis dalam kitab karya Syekh Abdul Qodim Sallum, Al Amwal fi Daulah Khilafah, “untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan.”

Sebagai pelengkap dari upaya tersebut dalam sistem Islam, sanksi yang ditetapkan kepada para pelaku kejahatan termasuk koruptor akan bersifat tegas dan menjerahkan, tidak seperti dengan sistem hukum dalam demokrasi sekuler hari ini. Adapun sanksi tersebut bisa berupa publikasi, stigmatisasi, peringatan, pengasingan, penyitaan harta, cambuk, hingga hukuman mati. Hal ini akan disesuaikan dengan kadar kejahatan yang diperbuat oleh pelaku.

Dengan penerapan aturan yang sistematis seperti ini, diyakini tindak kejahatan korupsi akan dapat diselesaikan dan mampu mencegah lahirnya koruptor-koruptor yang lain. Namun Islam tidak akan mampu diterapkan secara sistematis, kecuali dengan adanya negara yang menaunginya dalam hal ini disebut sebagai institusi Khilafah Islamiyah.

Wallahu’alam Bisshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 8

Comment here