wacana-edukasi.com– Penguatan karakter yang menjadi program presiden yang di gagas sejak 2016 menyasar semua bidang terutama pendidikan. Di tingkat pendidikan dasar menempati porsi yang lebih besar dibandingkan dengan aspek pengetahuan. Sebagaimana yang disampaikan menteri pendidikan saat itu, Muhajir Efendi, gerakan penguatan pendidikan karakter sebagai pondasi dan ruh utama pendidikan. Lima karakter utama yang digagas yaitu religius, nasionalisme, integritas, kemandirian dan kegotongroyongan.
Berbagai program dicanangkan untuk mensukseskan program penguatan karakter. Masing-masing sekolah, dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi berlomba-lomba mengadopsi dan menyesuaikan program sekolah dengan penguatan karakter. Seperti melalui upacara bendera, pembacaan asmaul husna, sholat berjamaah, pelatihan LDK, outbond dan sejenisnya.
Hanya saja, seluruh program yang tentunya menyedot biaya yang cukup banyak ini tak membuahkan hasil maksimal. Terbukti dengan terciduknya rektor UNILA ketika mengikuti acara Character Building di Bandung. Di acara tersebut, konon mereka belajar bagaimana menumbuhkan semangat gotong royong, saling membantu, integritas dan kemandirian. Sayang, acara ini harus tercoreng dengan ditangkapnya sejumlah oknum pejabat yang melakukan korupsi. Apakah yang dimaksud gotong royong, saling membantu dalam bidang korupsi? Apakah seperti ini karakter religius dan nasionalis yang hendak dibangun dari program ini? Apakah gotong royong itu juga ditunjukkan dengan korupsi besar-besaran dan berjamaah yang barangkali yang dilakukan oleh rektor UNILA ini hanya salah satu contohnya. Yang tidak terungkap barangkali lebih banyak.
Hal ini seharusnya menjadi koreksi, apakah sudah tepat pencanangan program penguatan karakter ini? Apakah sudah tepat program-program yang dilakukan? Ataukah hanya sebatas jargon tanpa realitas nyata di lapangan? Apakah karakter bisa terbentuk hanya dengan membaca asmaul husna, sholat berjamaah, upacara bendera, seminar-seminar, pelatihan, training, outbond dan sebagainya?
Karakter seseorang akan terbentuk seiring dengan cara pandangnya terhadap kehidupan. Jika seseorang telah mengenali siapa dirinya, untuk apa dia diciptakan, kemana setelah mati, maka akan terbentuk secara utuh karakter diri yang berpengaruh. Dia akan senantiasa mengikatkan apa yang dilakukannya dengan kesadaran tujuan penciptaannya. Saat berbuat, bertingkah laku, berbicara dan memutuskan sesuatu, akan selalu terikat dengan pemikiran mendasar ini. Inilah aqidah. Yang akan berpengaruh dalam kehidupannya.
Aqidah yang kokoh tidak akan bisa terbentuk hanya dari pembiasaan sholat berjamaah, pembacaan asmaul husna dan sebagainya. Bukan berarti itu aktivitas yang tidak berguna. Justru itu adalah satu rangkaian tuntunan dalam Islam. Hanya saja itu belum cukup. Dibutuhkan proses berpikir yang mendalam tentang seluruh alam dan titik kelemahannya. Dengn menyadari betapa seluruh alam ini lemah dan ada yang lebih kuat dari manusia yaitu penciptanya, akan menundukkan arogansi dalam dirinya. Mengekangnya untuk selalu taat pada penciptanya. Mengikatkan diri terhadapa semua aturanNya. Menjadikan standart kehidupannya adalah apa yang diridlai penciptanya. Bukan sekedar hawa nafsu belaka. Kebahagiaannya pun akan di ukur dengan standart dari pencipta.
Inilah karakter kuat yang diharapkan dalam Islam. Memandang religius tidak semata dengan ibadah mahdah saja tetapi dengan seluruh ketundukan kepada Allah. Membangun kemandirian dan kerja sama atas dasar keimanan. Membangun integritas dengan stadart yang benar. Mengisi kehidupan dengan taat pada aturanNya. Membentuk karakter sekaligus membangun sebuah peradaban mulia. Membangun negeri yang baldatun thoyibatun wa rabbun ghafir yang sesungguhnya.
Netty Al Kayyisa
Views: 9
Comment here