Opini

Demokrasi, Sistem Ramah Koruptor

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Sari Chanifatun

wacana-edukasi.com– Selasa, 6 September 2022, sebanyak 23 narapidana korupsi bebas bersyarat dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjenpas Kemenkumham). Masa hukuman mereka para narapidana korupsi menjadi lebih singkat dari yang semestinya mereka jalani, sebab dipotong remisi.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Demikian halnya remisi koruptor termuat dalam Permenkumham Nomor 7 tahun 2022, aturannya menyatakan bahwa bagi koruptor yang ingin mendapatkan remisi koruptor sehingga dapat bebas bersyarat harus memenuhi persyaratan. Syarat remisi koruptor adalah wajib sudah membayar denda dan uang pengganti.

Koordinator Humas dan Protokol Ditjen Pas Rika Aprianti, menjelaskan kembali isi Permenhkumham No. 7 Tahun 2022 yang mengatur persyaratan terpidana untuk membayar lunas denda dan uang pengganti bagi narapidana kasus korupsi untuk mendapatkan hak remisi maupun integrasi (pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas).

Remisi Koruptor yang diberikan kepada 23 narapidana korupsi ini pun menjadi sorotan ICW
(Indonesia Corruption Watch). Pada hari Rabu, (7/9/2022) Koordinator ICW Adnan Topan Husodo di kanal YouTube Populi Center mengatakan, “Adanya pemberian remisi yang menurut akal sehat kita sebagai masyarakat yang melihat bahwa korupsi sebenarnya merupakan kejahatan yang sangat serius, kejahatan para kerah putih, kejahatan orang-orang yang memiliki jabatan, lalu kemudian menganggap kejahatan korupsi sebagai sebuah kejahatan yang biasa,”

Adnan merasa heran jika kejahatan korupsi menjadi semakin dianggap sebuah kejahatan biasa dan pemberian remisi koruptor itu sungguh tidak masuk akal. Contoh seperti mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari yang baru dua tahun menjalani masa tahanannya kini bebas bersyarat, padahal kasus korupsinya termasuk besar (detiknews, 7/9/2022)

Zaenur Rohman peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) juga telah menyatakan, “Harusnya Kejaksaan dan KPK setiap menuntut terdakwa tipikor (tindak pidana korupsi) itu harus memberi tuntutan salah satunya pencabutan hak-hak tertentu. Misalnya hak tertentu itu adalah hak pembebasan bersyarat dan hak remisi.”

Hal itu dinilai memungkinkan untuk diterapkan, mengingat pada Pasal 18 UU Tipikor yang mengatur pidana tambahan salah satunya berupa pencabutan hak-hak yang diberikan pemerintah, bukan seperti yang diatur pada Pasal 35 KUHP.

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, “Berharap selanjutnya jika ada terdakwa korupsi yang tidak kooperatif, jika dia seorang pejabat publik maka dalam tuntutannya mungkin akan kita tambahkan agar dapat mencabut hak dipilih dan mencabut supaya terdakwa tidak mendapatkan haknya selaku terpidana.”

Seperti halnya 23 napi korupsi bebas bersyarat dari penjara pada hari yang sama, Selasa (6/9/2022) diantaranya: mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah; mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali; mantan Hakim MK, Patrialis Akbar; dan Gubernur Jambi, Zumi Zola. Lainnya yang bebas bersyarat juga mantan Dirut Jasa Marga, Desi Arryani; dan Mirawati Basri. Selayaknya mereka semua wajib mengikuti beberapa kegiatan terkait pembinaan sampai masa hukumannya berakhir.

Aturan pada Pasal 240 ayat 1 huruf g, hanyalah mengatur seorang eks napi yang hendak mendaftarkan diri, berkewajiban menyampaikan pada publik kalau dirinya pernah dipidana serta telah selesai menjalani hukumannya.

Dalam pasal tersebut tertulis, “Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,”

Juga yang terdapat pada Pasal 45A ayat (2) PKPU Nomor 31 Tahun 2018 menjelaskan soal syarat bagi mantan koruptor yang ingin maju sebagai caleg pada pemilu harus memberikan lampiran keterangan soal statusnya. Bunyi pada pasal tersebut, “Dengan melampirkan surat keterangan dari kepala lembaga pemasyarakatan yang menerangkan bahwa bakal calon yang bersangkutan telah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Mereka hanya diwajibkan melampirkan surat dari pemimpin redaksi media massa tingkat lokal atau nasional yang menyatakan calon dimaksud sudah terbuka dan jujur mengumumkan ke publik sebagai mantan terpidana (beritasatu.com)

Hukum Ramah bagi Koruptor

Cerminan hukum pada demokrasi menjadi sorotan publik, betapa lenturnya hukum hasil buatan manusia saat ini. Begitu mudahnya bagi napi korupsi dibebaskan bersyarat tanpa penjelasan yang cukup pada publik hanya berdalih sudah sesuai aturan yang ada. Mantan napi korupsi atau koruptor masih berpeluang bisa menjadi calon anggota legislatif (caleg) di DPR, DPRD, dan DPRD pada Pemilu nanti. Produk hukum yang ramah bagi para pelaku korupsi. Tergambar pada UU Pemilu tidak adanya larangan bagi mantan koruptor untuk kembali menjadi caleg.

Demokrasi Menjauhkan Muslim dari Hukum Islam

Tidak ada teori konsep hukum yang baku pada demokrasi, yang ada hanyalah konsep ide sekulerisme. Hukum dapat berjalan sesuai dengan idealitas pemikiran manusia dan terlepas dari hukum agama.

Dampaknya hukum demokrasi menjauhkan muslim dari hukum Islam, terutama masalah publik (kemasyarakatan) dan kekuasaan. Landasan hukumnya hasil buatan manusia dan tidak boleh melibatkan agama. Tanpa disadari hukum pada demokrasi mengancam umat Islam dalam berakidah.

Hukum dalam Pandangan Islam

Manusia dalam Islam ditegaskan sebagai makhluk yang lemah, yang tidak layak membuat aturan-aturan hidup. Hanya Allah Yang mempunyai hak dalam membuat aturan hidup. Lihat Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 57:
قُلْ إِنِّى عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّى وَكَذَّبْتُم بِهِۦ ۚ مَا عِندِى مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِۦٓ ۚ إِنِ ٱلْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ يَقُصُّ ٱلْحَقَّ ۖ وَهُوَ خَيْرُ ٱلْفَٰصِلِينَ

Artinya: Katakanlah (Muhammad), “Aku (berada) di atas keterangan yang nyata (Al-Qur’an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.”

Lemahnya demokrasi telah tergambarkan dari produk hukumnya yang lemah bahwa sumber kedaulatan ada di tangan rakyat. Hal ini sangat bertentangan dengan Islam bahwa kedaulatan hanya milik Allah SWT. Islam menetapkan manusia hanya sebagai pelaksana hukum.

Wallahu a’lam bish showwab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 27

Comment here