Oleh : Ummu Fahhala
(Pegiat Literasi dan Komunitas Peduli Umat)
wacana-edukasi.com– Pemberantasan korupsi di negeri ini dinilai banyak pihak kian suram dan kerugian yang dialami negara pun makin besar. Apalagi penindakan kasus korupsi pun makin lemah, diantaranya dengan pelemahan terhadap lembaga anti korupsi, pembebasan atau seringnya dilakukan pengampunan kepada para terpidana korupsi, melalui pengesahan revisi Undang-undang KPK oleh DPR pada 17 September 2019 dimana UU pengawas KPK lebih berkuasa daripada pimpinan KPK, Dewan Pengawas KPK-lah yang menentukan boleh tidaknya dilakukan penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.
Remisi koruptor jadi sorotan setelah 23 narapidana koruptor kini bebas bersyarat pada 6 September 2022. Melalui remisi ini masa hukuman para koruptor menjadi lebih pendek, pembebasan koruptor ini tidak disertai penjelasan yang cukup ke publik, tapi pemerintah berdalih bahwa langkah tersebut sudah sesuai aturan. Begitu pula mantan koruptor tidak kehilangan hak dipilih dalam kontestasi politik 2024. Ini semakin menegaskan bahwa sistem kapitalisme begitu ramah terhadap para koruptor dan memberi banyak kesempatan kepada koruptor untuk tetap memiliki kepedulian tinggi di hadapan publik.
Faktor Internal dan Sistem
Diantara berbagai faktor terjadinya korupsi adalah keserakahan para pelaku, lemahnya hukum dan pengawasan, adanya campur tangan politik dari yang lebih berkuasa sudah menjadi budaya, mahalnya ongkos demokrasi dan untuk mendapatkan uang tambahan karena gaji kecil.
Tindakan kriminalitas korupsi yang sudah membudaya dan marak terjadi saat ini bukan hanya sekedar faktor individunya saja melainkan faktor sistem kapitalisme sekulerisme yang diterapkan di negeri ini, yang menjadikan hawa nafsu manusia sebagai asas pengatur kehidupan karena faktor agama sudah di jauhkan dari kehidupan sehingga kontrol keimanan individu lemah, mudah sekali melakukan kemaksiatan. Sekulerisme juga menjadikan masyarakat cenderung apatis dan pragmatis. Pada level negara, sekulerisme menerapkan sanksi hanya parsial sesuai kesepakatan manusia dan mudah diubah sesuai kepentingan.
Oleh karena itu, meski korupsi telah nyata merupakan suatu problem sistemik namun solusi yang diambil bersifat parsial seperti ancaman pemecatan dan pemberian sanksi tanpa banyak menyentuh kritik demi perubahan sistem. Korupsi tidak akan menjadi budaya jika sistem yang diterapkan adalah sistem yang shahih yakni sistem Islam.
Solusi Islam
Dalam Islam, korupsi termasuk perbuatan khianat, pelakunya disebut khaa’in. Korupsi berbeda dengan mencuri, menurut Abdurrahman Al-Maliky dalam kitabnya, Nizhamul Uqubat hal.31 bahwa praktik korupsi merupakan tindakan pengkhianatan yang diakukan seseorang yaitu menggelapkan harta yang diamanatkan kepada seseorang itu. Maka sanksi (uqubat) yang akan diberikan kepada pelaku korupsi adalah ta’zir yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Abdurrahman Al Maliki juga dalam kitabnya Nizhamul Uqubat hal. 78-89 menjelaskan bentuk sanksi korupsi, dari mulai paling ringan bisa berupa nasehat atau teguran hakim, penjara, pengenaan denda, pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa, hukuman cambuk hingga hukuman mati, teknisnya bisa digantung atau dipancung.
Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan. Tentu sanksi yang berdasarkan syariat menjadi upaya preventif/zawajir dan kuratif /jawabir akan sangat efektif, sebagai preventif/zawajir menjadi pencegah terjadinya tindakan kriminal berulang dan kuratif/jawabir menjadi penebus siksaan di akhirat.
Selain itu syariah Islam melakukan tindakan preventif lainnya untuk mencegah korupsi, yaitu:
1. Rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas bukan koneksitas atau nepotisme.
2. Negara wajib melakukan pembinaan keimanan kepada seluruh aparat dan pegawainya
3. Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada para aparatnya, seperti yang dilakukan oleh Abu Ubaidah kepada Umar, “Cukupilah para pegewaimu agar mereka tidak berkhianat.
4. Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara, Rasulullah saw bersabda : ”Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran”. (HR. Ahmad).
5. Islam memerintahkan kepada para aparatur negara untuk melakukan perhitungan kekayaan sebelum dan setelah menjabat. Syeikh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al Amwal fii Addaulah Khilafah, untuk mengetahui seorang pejabat dalam suatu instansi pemerintahan melakukan kecurangan atau tidak adalah dengan melakukan pengawasan yang ketat dari badan pengawasan atau pemeriksa keuangan, seperti yang dipraktikan oleh Umar bin Khaththab yang pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.
6. Adanya teladan dari pimpinan.
7. Pengawasan oleh negara dan masyarakat.
Harta korupsi merupakan harta haram karena termasuk harta ghulul (curang), sebab diperoleh dengan menambah jumlah penagihan yang semestinya, melalui cara-cara penipuan, pemalsuan atau memanfaatkan kelengahan orang lain. Maka semua itu dianggap sebagai perolehan yang haram bukan miliknya dan harta tersebut harus disita serta diserahkan ke Baitul Mal yang akan digunakan untuk kemaslahatan masyarakat.
Demikianlah solusi fundamental yang diberikan oleh Islam untuk mencegah dan menyelesaikan tindakan korupsi. Solusi ini hanya akan menjadi sebuah konsep jika Islam tidak diterapkan secara praktis oleh negara.
Views: 8
Comment here