Oleh : Sri Ummu Ahza
( Aktivis Pemerhati Masyarakat dan Pegiat Literasi AMK4)
wacana-edukasi.com– Kota Layak Anak (KLA) atau kota ramah dengan anak adalah suatu gagasan menunjukkan adanya lingkungan kota yang terbaik serta lingkungan yang memiliki komunitas yang kuat secara fisik dan tegas, komunitas yang mempunyai aturan yang jelas, yang memberikan kesempatan pada anak dan memiliki fasilitas pendidikan yang memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka.
Menurut UNICEF, kota ramah anak adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Kota yang diinginkan oleh anak-anak adalah kota yang dapat menghormati hak anak-anak.
Layaknya anak-anak memang sudah selayaknya mereka mendapatkan perlakuan yang nyaman, pendidikan yang mumpuni, dan perlindungan dari berbagai ranah. Sehingga tercipta keamanan dan kenyamanan sesuai harapan bersama dari berbagai kalangan.
Seperti contoh kota layak anak di kota Jakarta Barat saat 3 bulan lalu meraih penghargaan. Sebagaimana dikabarkan dari sindonews.com pada hari Sabtu 23 Juli 2022. Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Barat meraih penghargaan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) kategori Nindya Tahun 2022.
Penghargaan diberikan langsung oleh Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang di malam puncak penghargaan (Kabupaten dan Kota Layak Anak Tahun 2022) yang diselenggarakan di Kabupaten Bogor.
KLA diberikan oleh Kementerian PPPA kepada kabupaten/kota yang memang telah memiliki sistem pembangunan hak dan perlindungan khusus anak secara menyeluruh, berkelanjutan, dan benar-benar terencana. Terdapat sejumlah kategori dalam penghargaan tersebut, yaitu predikat Pratama, Madya, Nindya, Utama, dan KLA.
Melihat pemberian penghargaan tersebut ditingkat Nindya terlihat mampu mewakili aspirasi anak-anak agar terlindungi dari berbagai hal. Sehingga keamanan dan kesejahteraan ikut diraih dan layak disebut KLA secara menyeluruh.
Eksploitasi seksual
Namun berbanding terbalik. Justru tingkat kekerasan terhadap anak masih cukup tinggi. Kekerasan yang dimaksud adalah secara umum, dengan mengutip dari Convention on the Rights of the Child, bisa dimaknai dengan beberapa kekerasan tersebut dapat berupa pelecehan, pengabaian atau disiasiakan, penganiayaan atau ekpsploitasi, kekerasan fisik bahkan mental.
Ironisnya, kekerasan yang dialami oleh anak-anak justru terjadi di lingkungan terdekat, yaitu kelarga. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sebanyak 4.294 kasus kekerasan pada anak dilakukan oleh keluarga dan pengasuh (2011-2016).
Kasus penyekapan dan eksploitasi seksual terhadap remaja NAT di Jakarta Barat sudah naik kepenyidikan. Kabid Humas Polda Metro Jaya menyebut telah memeriksa tujuh saksi dan segera akan menetapkan tersangka.
Remaja 1,5 tahun NAT disekap dan dipaksa jadi pekerja seks komersial. Korban diintimidasi agar tidak kabur dan tidak menolak melayani pelanggan. Kejadian ini berlangsung selama 1,5 tahun, sejak Januari 2021-Juni 2022 baru terungkap dan pihak keluarga melaporkan ke pihak kepolisian.
Pihak kepolisian telah melakukan gelar perkara dalam kasus ini dan telah memasuki ke tahap penyidikan. Sejauh ini pihak kepolisian tengah berkoordinasi dengan pihak P2TP2A untuk perlindungan terhadap korban (metrotvnews.com 19/09/22).
Membaca kabar tersebut sungguh sangat disayangkan, kota yang telah meraih penghargaan menuju kota layak anak tidak mampu memberikan perlindungan terhadap anak. Sementara kita lihat rentang waktu terjadinya sudah mencapai 1,5 tahun.
Tidak dapat dimungkiri lagi, dunia digital kini telah menjalar ke berbagai lini kehidupan. Bahkan di tengah arus digital yang semakin menakutkan. Sehingga semua hal dengan mudah diakses memberikan kebebasan sebagai dalih memberikan hak pada anak. Namun lepas kendali pengontrolan terhadap hal-hal yang tidak dibenarkan.
Untuk menyimpulkan suatu program memiliki kesuksesan dengan program yang dibuatnya adalah dengan melihat indikator tujuan program terkomparasi dengan program dan hasil dari program tersebut. Semua tidak mampu dikomperasikan jika sistem aturan yang mengatur tidak berperan serta secara optimal. Yang mana hanya fokus pada penghargaan dan keuntungan dari beberapa pihak.
Sehingga justru yang ditunai adalah kegagalan demi kegagalan, sehingga program tersebut disimpulkan tidak mampu menjadi solusi. Layaknya KLA ini dibentuk dalam rangka jelas dalam memberikan hak sebenarnya pada anak. Namun itu belom terealisasi yang sudah dicangkan sudah jauh sebelumnya. Bahkan perlindungan hak anak diterlantarkan.
Negara melindungi anak dan masyarakat
Jika menelusuri Islam, maka akan ditemukan beberapa kenyataan yang menakjubkan, salah satunya dapat dilihat betapa perlindungan hak-hak anak dalam catatan sejarah Islam, tak terhenti pada wacana belaka, namun hingga pada praktik. Berbagai program itu terlaksana karena peran Negara yang optimal dari berbagai lini kehidupan.
Sosok khalifah ketiga dalam khulafurosyidin Umar bin Khatab, telah disebut-sebut sebagai sosok teladan sepeninggal Rasulullah SAW dalam hal memberikan perlindungan terhadap anak, bahkan hingga mampu memastikan pendidikan yang layak bagi mereka. Sosok yang sangat dikenal dengan sebutan al-Faruq mewakili dalam mengalirkan energi positif ke segenap warga agar mengajari anak-anak mereka cara berenang, berkuda, dan mendalami syair dan syiar.
Tradisi ini yaitu memberikan hak-hak bagi anak secara layak, bahkan juga dipertahankan oleh para khalifah pada masa berikutnya. Di bidang pendidikan, para pemimpin yang berkuasa mempertahankan adanya katatib, lembaga-lembaga pendidikan, gratis, dan terbuka untuk semua. Permasalahan tentunya juga fokus pada perlindungan keluarga hingga masyarkat, karena bebrgai kalangan ikut terlibat dalam mensejahterakan hak anak.
Karena itu untuk mengaktifkan peran dari semua kalangan tentunya harus ada akekuatan penuh yang mampu menggerakkan. Yaitu suatu aturan yang mengikat dan tegas.
Wallahua’lam bi shawab
Views: 27
Comment here