Oleh : Lely Novitasari
Aktivis Generasi Peradaban Islam
wacana-edukasi.com– Problema anak stunting masih menjadi momok yang terjadi di negeri subur ini. Saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara dengan prevalensi stunting yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang berpendapatan menengah.
Menggalang kerja sama dengan Badan Pangan Nasional atau National Food Agency (NFA), dilakukan oleh pihak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai upaya mencegah stunting. Kegiatan ini bertajuk “Gerakan Makan Telur Bersama” yang diadakan di Lapangan Desa Kebumen, Sukorejo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Ahad (25/9/2022). Republika.co.id
Masih melansir dari Republika, acara makan telur bersama dengan memanfaatkan stok telur yang berlimpah di Kendal diungkapkan oleh Kepala BKKBN Hasto Wardoyo sebagai ide yang inovatif. Dikatakan dengan mengonsumsi telur bagi ibu hamil juga calon ibu dengan kandungan protein telur yang cukup tinggi diharapkan menjadi salah satu upaya peningkatan gizi untuk mencegah melahirkan bayi stunting.
Baru ini BKKBN juga menggandeng sejumlah mitra swasta dan asing untuk memperkuat penanganan penurunan prevalensi stunting. Dilansir dari antaranews.com bonus demografi Indonesia menimbulkan polemik baru ketika angka stunting masih 24,4 persen, dikatakan oleh Kepala BKKBN dalam acara penandatanganan MoU BKKBN bersama Mitra di Jakarta.
Diantaranya yang dijadikan mitra kerja sama tersebut dituangkan dalam Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani oleh BKKBN bersama Tanoto Foundation, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMMAN), Yayasan Bakti Barito, dan PT Bank Central Asia Tbk serta Amerika Serikat, melalui United States Agency for International Development (USAID).
Direktur USAID Indonesia Jeff Cohen mengatakan, “USAID gembira bisa memperkuat kemitraan dengan mitra sektor swasta untuk mendukung pencapaian sasaran Pemerintah Indonesia dalam menurunkan prevalensi stunting nasional pada tahun 2024,”
Sementara Direktur Yayasan Bakti Barito, Dian A. Purbasari berpendapat melalui pemberian nutrisi yang cukup maupun tumbuh di lingkungan yang layak serta suportif diharapkan kolaborasi beberapa pihak itu bisa menghasilkan sebuah bukti nyata untuk meningkatkan kesehatan anak-anak bangsa.
Sebuah tanda tanya besar datang, kenapa di negeri yang berlimpah kekayaan sumber pangan dan energi terjadi problem anak stunting dan kekurangn gizi?
Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
Mengambil penggalan lirik lagu di atas memperlihatkan sebuah gambaran betapa suburnya Indonesia. Negeri yang dianugerahi kekayaan alam yang berlimpah ditambah letak posisi wilayah negara yang dinilai strategis, dikenal sebagai negara agraris. Letaknya pada daerah tropis yang memiliki curah hujan yang tinggi. Kondisi inilah yang membuat Indonesia memiliki lahan yang subur dan banyak jenis tumbuhan yang dapat tumbuh dengan cepat.
Mengutip Kemdikbud RI, potensi Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia diantaranya dengan ketersediaan hutan, lautan, minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Dengan urutan ketiga di dunia, luasnya hutan Indonesia sekitar 99 juta hektar yang terbentang dari Indonesia bagian barat sampai bagian timur.
Belum lagi kekayaan laut negeri ini. Indonesia yang dikenal juga sebagai negara maritim memiliki potensi besar dengan berbagai jenis ikan, tambang minyak lepas pantai dan pasir besi. Bahkan Indonesia masuk urutan keempat pada 2009 di dunia.
Sebuah paradoks negeri yang kaya akan SDA masih dijumpai permasalahan anak stunting dan kekurangan gizi. Ditambah solusi yang diambil yaitu kerjasama dengan swasta dan asing, kenapa negara tak mampu mengatasi sendiri problema yang terjadi?
Kebobrokan Sistemik
‘Tak ada makan siang gratis’, ungkapan ini melekat di iklim ekonomi kapitalis. Sistem ini membuka lelebar-lebarnya siapa saja yang memiliki kapital/modal untuk dapat menguasai/mengelola apapun, meski produk tersebut adalah menyangkut kebutuhan rakyat luas. Maka jadilah rakyat negeri ini mati di lumbung padi. Segala kekayaan alamnya yang berlimpah ruah nyaris tak berefek bagi perbaikan kehidupan, karena hanya dikuasai oleh segelintir pengusaha kapitalis rakus.
Bobroknya tata kelola ekonomi negeri ini diperparah oleh rusaknya sistem politik yang diadopsi. Biaya politik yang amat sangat mahal dalam sistem politik demokrasi menjadi pasangan serasi dan setia kerusakan sistemik berbagai sendi kehidupan negeri ini. Para cukong baik dari asing, aseng, dan lokal menjadi penyokong dana para calon pejabat selama masa kampanye yang jumlahnya tidak main-main, mencapai miliaran bahkan trilyunan. Selanjutnya anak kecil pun paham. Proyek-proyek pembangunan dan pemanfaatan keberlimpahan kekayaan alam negeri ini telah disiapkan ketika pejabat terpilih. Inilah lingkaran setan praktek politik balas budi yang telah menghantui negeri ini sejak berdiri.
SDA yang berlimpah ruah yang seharusnya dikuasai dan dikelola oleh negara untuk membiayai kebutuhan rakyat justru habis dikuras dan dikuasai pihak swasta. Lebih parah lagi, pihak swasta raksasa yang menguasai justru lebih banyak dari pihak asing. Dari catatan Kementerian BUMN, hanya 20% SDA yang bisa diolah negara. Padahal menurut Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Problema stunting tak akan tuntas jika negara tak memaksimalkan potensi SDA dengan dikelola dan didistribusikan sendiri. Selayaknya peran negara betul-betul menjadi pelayan bagi rakyatnya. Namun realita dari sistem yang diterapkan hari ini adalah buatan kecerdasan manusia niscaya tak luput dari kepentingan yang membuatnya.
Lalu, bagaimana mengatasi problema anak stunting dan kurang gizi hingga tuntas?
Sebelum membenahi problema di atas, pentingnya membenahi sistem dasarnya yang membuat aktivitas itu bisa berjalan sesuai tujuan. Sistem demokrasi-kapitalis yang notabene buah akal-akalan buatan manusia memiliki cacat sistemik di sana sini. Fenomena kerusakan ini seharusnya mudah dipahami karena akal manusia kemampuannya sangat terbatas dan sarat akan kepentingan. Maka sudah pasti produk yang dihasilkan yang hanya bersandar pada akal, pasti sangat berpeluang besar bermasalah. Apalagi digunakan untuk melahirkan sistem pengatur kehidupan manusia secara umum. Berbagai carut marut kekacauan terjadi di berbagai lintas bidang kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial, dan seterusnya sebagaimana yang kita saksikan saat ini.
Dalam sistem ekonomi Kapitalis sebagaimana yang dianut negeri ini, penekanan kebijakan ekonomi hanya berfokus pada pertumbuhan (growth), bukan pada pemerataan distribusi. Hal ini bisa kita saksikan dari berbagai kebijakan ekonomi selalu berbicara tingkat produksi, ekspor, impor, nilai tukar mata uang, turun naik transaksi bursa saham, dan seterusnya.
Sistem ini dibentuk hanya berfokus dan untuk kepentingan para pemilik modal raksasa/kapitalis. Pemenuhan kebutuhan rakyat secara umum hanya dilakukan seperlunya, seminimal mungkin sebatas menjaga stabilitas sosial politik yang muaranya lagi-lagi demi keuntungan segelintir pasangan elit penguasa dan pengusaha agar mereka dapat terus menghisap segala potensi ekonomi tanpa gangguan. Pejabat di sistem ini tidak akan berbicara soal pemerataan ekonomi kecuali saat kampanye atau sekedar pemanis bibir di media.
Inilah perbedaan mendasar sistem Kapitalis dibanding dengan sistem Islam. Aturan Islam tegas mengatur bagaimana seharusnya seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya. Sistem Islam tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, tapi tidak kalah penting adalah memastikan bagaimana seluruh individu rakyat memperoleh haknya, baik secara ekonomi, pendidikan, dan hak kewarganegaraan lainnya.
Dalam buku Konsep Kepemimpinan Dalam Islam karya Prof.Dr.Abdullah Ad-Dumaiji seorang guru besar di Fakultas Dakwah dan Ushuluddin, Universtitas Ummul Qura, Makkah, menuliskan di antara kewajiban seorang pemimpin dalam Islam ialah memenuhi hak-hak Finansial Baitul Mal dan mengalokasikannya untuk golongan-golongan yang berhak secara syar’i. Demikian termasuk hasil SDA yang berlimpah dapat dikelola dan didistribusikan untuk setiap kebutuhan dasar rakyatnya.
Seorang pemimpin juga diwajibkan untuk mengawasi dan mencari tahu kondisi rakyatnya sehingga dapat membantu siapa di antara mereka yang memerlukan bantuan, siapa yang terzalimi serta mengekang siapa di antara mereka yang berbuat zalim. Abu Ya’la menuturkan terkait kewajiban seorang pemimpin, yang kesepuluh yaitu: menangani permasalahan penting secara langsung dan mencari tahu segala kondisi agar pemimpin memerhatikan langkah menata umat bukannya menyerahkan urusan kepada bawahan dan lebih menyibukkan diri dengan kenikmatan atau ibadah.
Di antara kisah pemimpin yang terbaik ialah Umar bin Khattab, seorang pemimpin yang rela menahan lapar agar rakyatnya terpenuhi kebutuhannya terlebih dahulu. Inilah perilaku yang seharusnya diteladani oleh setiap pemangku kekuasaan hari ini.
Sebagaimana hadits Rasulullah saw:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dari hadits ini jelas bahwa fokus pertanggungjawaban pemimpin adalah pemerataan terpenuhinya kebutuhan setiap individu yang dipimpinnya, bukan sekedar pamer pencitraan angka pertumbuhan GNP(Gross National Product) yang tinggi. Selayaknya aparatur negara berusaha semaksimal mungkin mengelola SDA serta mendistribusikannya ke berbagai kebutuhan dasar rakyat yang diayominya. Itu yang terpenting dan menjadi harapan setiap rakyat yang mereka pimpin.
Apalah artinya angka statistik GNP yang tinggi, nilai transaksi saham melesat, investasi meroket, jika masih jutaan rakyat yang kekurangan gizi dan kelaparan?! Maka jangan heran, dimana Kapitalisme ditegakkan, maka disitu kesenjangan sosial akan semakin melebar.
Wallahu a’lam bishowaab
Views: 23
Comment here