wacana-edukasi.com– Dilansir dari republika.co.id (Ahad, 2/10/2022), dunia pesepakbolaan Indonesia kembali berduka. Pertandingan sepak bola antara Arema FC dan Persebaya Surabaya diakhiri dengan gelombang protes para pendukung Arema yang turun ke lapangan.
Hal ini karena para pendukung merasa tidak terima atas kekalahan tim jagoannya, Arema FC, di kandang sendiri. Aksi protes tersebut berujung ricuh dan kekacauan yang tidak terkendali. Sedikitnya 129 orang meregang nyawa dan 180 orang lainnya terluka dalam peristiwa nahas tersebut.
Atas tragedi ini mengalirlah deras empati publik. Masyarakat sangat berduka, mengingat korban insiden di Kanjuruhan mencapai ratusan orang. Bahkan banyak media asing turut menyoroti peristiwa tragis Kanjuruhan. Seperti media Singapura Channel NewsAsia, The Straits Times, ABC News Australia, sampai South China Morning Post. Media asing banyak yang menyebutkan bahwa insiden sepak bola kali ini merupakan insiden paling mematikan sepanjang sepuluh tahun terakhir (cnnindonesia.com, Selasa, 04/10/2022).
Sangat memprihatinkan, di tengah Indonesia yang sedang menyongsong bonus demografi menuju tahun 2030, kejadian yang menewaskan ratusan korban ini seharusnya menjadi sinyal kuat. Kemanakah peran negara dalam mengelola potensi generasi yang melimpah secara kuantitas. Nyatanya, bonus demografi tersebut tidak maksimal diarahkan. Generasi muda dibiarkan menggemari dan menghabiskan sebagian besar potensinya untuk hal-hal yang sebetulnya hanya sebatas hiburan.
Selain itu, ajang pertandingan olah raga di alam sekular saat ini sudah dapat dipastikan melahirkan fanatisme golongan. Sebuah rasa dan pemahaman yang tidak sepatutnya dimiliki pemuda. Kerusuhan yang terjadi di Kanjuruhan juga merupakan potret buruk fanatisme golongan, yang sudah berulang terjadi, dan kali ini adalah yang paling parah akibatnya. Berulangnya kerusuhan dalam pertandingan sepak bola seolah menunjukkan pembiaran negara atas hal ini.
Di sisi lain, tragedi ini menunjukkan tindakan represif aparat dalam menangani kerusuhan yang terjadi. Hal ini nampak pada penggunaan gas air mata, yang sejatinya dilarang penggunaannya dalam pertandingan sepak bola. Tragedi ini tidak akan terjadi ketika fanatisme tak menjadi acuan dan aparat bertindak tepat dalam mengatasi persoalan.
Bagaimanakah seharusnya menyikapi hal ini dalam pandangan Islam? Islam sebagai din yang sempurna dan menyeluruh tentu memiliki cara agar potensi generasi tidak dijarah oleh nilai-nilai yg tidak semestinya. Potensi generasi akan difokuskan pada kemuliaan akhlak, dan orientasi hidup yang bermuara pada keridhoan Allah semata.
Pemuda akan diarahkan untuk mengenal jati diri mereka terlebih dahulu sebagai manusia dan tugasnya di dunia. Kemudian, menanamkan pola pikir untuk tidak menghabiskan energi demi hal yang sifatnya sia-sia. Peran negara dalam hal ini adalah terpenting. Islam akan mendorong negara mengarahkan generasi muda dengan baik dan sesuai perintah Sang Pencipta. Yaitu sebagai khalifah fil ardl.
Sebagaimana Rosulullah saw. bersabda:
Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah bersikap lemah.” (HR. Muslim).
Tati Sunarti, S.S.
Views: 15
Comment here