Oleh : Ikhtiyatoh, S.Sos
(Pemerhati Sosial dan Politik)
wacana-edukasi.com– Setiap pertandingan sepak bola tampak selalu diselimuti euforia. Apalagi saat Piala Dunia, bendera asing melambai-lambai di jalanan dan atap rumah dianggap lumrah. Melupakan isu nasionalisme dan slogan NKRI harga mati. Di sisi lain, pertandingan sepak bola bisa tinggalkan duka. Seperti halnya Tragedi Kanjuruhan yang menelan ratusan korban. Keluarga korban harus menelan pahitnya kenyataan. Anggota keluarga pergi dalam kondisi semangat dan ceria tapi pulang dalam kondisi lemah, penuh luka hinggga kehilangan nyawa.
Telan Ratusan Nyawa
Korban meninggal dunia Tragedi Kanjuruhan bertambah. Reivano Dwi Afriansyah (17 tahun) menjadi korban yang ke-134. Siswa kelas 2 SMKN 4 Malang tersebut sempat dirawat di Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) selama 18 hari. Kepala Pelayanan Bidang Medik RSSA, dr. I Wayan Agung mengatakan, saat Reivano masuk RSSA langsung dirawat di ICU. Korban datang dalam kondisi nafas yang tidak stabil hingga diberikan alat bantu nafas ventilator. Selain kondisi yang naik turun, terdapat luka di kepala, di tulang dan dada (beritajatim.com, 21/10/2022).
Total korban berjumlah 754 suporter. Diantaranya, 134 meninggal dunia dan 620 korban luka-luka. Sementara itu, dikutip dari cnnindonesia.com, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) melaporkan, kericuhan baru terjadi saat aparat pengamanan menembakan gas air mata secara tidak terukur ke arah tribun penonton. Padahal, tidak ada kondisional khusus yang mengharuskan penembakan gas air mata. Tindakan tak terukur tersebut membuat suporter panik kemudian berlari mencari pintu keluar secara bersamaan dan berdesakan (18/10/2022).
Pentingnya Evaluasi
Tragedi yang memilukan. Hanya karena sebuah permainan, nyawa dipertaruhkan. Konflik tersebut mengingatkan akan tragedi akhir tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an. Berawal dari konflik antara pendukung Arema atau Aremania dengan Niac Mitra Surabaya saat pertandingan di lapangan Stadion Gajayani, Malang. Konflik tersebut merembet ke luar stadion. Jalan-jalan di Kota Malang menjadi ajang adu kekuatan klub sepak bola besar di Jawa Timur. Kendaraan roda dua maupun roda empat berpelat L (Surabaya dan sekitarnya) tidak boleh melintasi jalanan Kota Malang. Jika ada yang melintas, maka akan dikeroyok.
Kembali menengok Tragedi Kanjuruhan, ada beberapa hal yang patut disorot dan dievaluasi. Pertama, penggunaan gas air mata di dalam stadion melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP) Federation Internationale de Football Association (FIFA). Larangan tersebut tercantum dalam pasal 19 (b) FIFA Stadium Safety and Security Regulations. Padahal, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) merupakan anggota FIFA yang juga mengadopsi SOP FIFA. Artinya, ada ketidaksingkronan SOP FIFA dengan SOP aparat pengamanan.
Kedua, penembakan gas air mata ke arah tribun penonton tampak berlebihan. Mengingat, supporter di dalam tribun tidak melakukan kerusuhan. Diantara mereka pun banyak dari kalangan anak-anak dan perempuna. Bahkan, sejumlah video menunjukan gas air mata membuat tribun diliputi lautan asap putih. Sayangnya, dalam rekonstruksi Tragedi Kanjuruhan tidak ada tembakan gas air mata yang diarahkan ke tribun penonton. Artinya, rekonstruksi tersebut bertentangan dengan keterangan para saksi supporter serta laporan TGIPF.
Ketiga, temuan gas air mata kedaluarsa semakin meruntuhkan kepercayaan publik terhadap kinerja kepolisian. Komnas HAM menemukan informasi gas air mata yang dipakai di Kanjuruhan sudah kedaluarsa. Namun, pihak kepolisian menjelaskan ada perbedaan bahan kimia dengan bahan makanan. Makanan yang kedaluarsa akan muncul jamur, bakteri yang akan mengganggu kesehatan. Sementara bahan kimia, justru kadar kimianya menjadi berkurang. Selama ini, masyarakat menilai, bahan kimia yang kedaluarsa tetap beracun hingga limbahnya harus diolah secara khusus.
Keempat, solusi Tragedi Kanjuruhan bukan meruntuhkan stadion. Tragedi Kanjuruhan berawal dari penembakan gas air mata. Artinya, yang perlu dievaluasi adalah pihak yang menembakan gas air mata yaitu aparat pengamanan, termasuk siapa yang memberi perintah. Sayangnya, pemerintah justru akan meruntuhkan gedung Stadion Kanjuruhan kemudian dibangun kembali sesuai standar FIFA. Kebijakan ini dinilai oleh sejumlah pengamat sebagai upaya menghilangkan bukti dan membersihkan Tempat Kejadian Perkara, mengingat, proses hukum belum selesai.
Kalah Menang Biasa
Memang, kalau memposisikan diri menjadi Aremania dimana tim kesayangannya bermain di kandang sendiri, ditonton oleh suporternya sendiri kemudian kalah, maka cukup memalukan. Adanya kebijakan penonton hanya berasal dari Aremania juga demi menghindari konflik. Akan tetapi, jika para suporter memiliki kesadaran bahwa ‘suatu permainan ada menang dan kalah’ atau kesadaran ‘kemenangan dan kekalahan akan dipergilirkan’, maka tak perlu muncul emosi berlebihan. Kekalahan selayaknya diterima dengan lapang dada.
Olahraga sepak bola yang dulu dianggap sekedar hobi, kini semakin dikomersialkan. Anak-anak di masa kini semakin banyak yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola. Tak bisa dinafikkan, dari segi popularitas dan gaji yang tinggi memang menggiurkan. Dunia sepak bola mampu menjadi magnet dan menghasilkan pundi-pundi rupiah. Tim kesebelasan dan pemain dibayar mahal oleh pihak ketiga (sponsor). Meski demikian, pihak sponsor tidak merasa dirugikan karena mereka pun mendapat keuntungan dari sepak bola.
Dunia sepak bola menghasilkan keuntungan dari hak siar, tiket serta berbagai pernak-pernik di dalam maupun di luar lapangan. Olahraga sepak bla telah melahirkan industri-industri baru. Disaat bersamaan, sepak bola pun menciptakan aneka perjudian terselubung. Bagaimanapun juga, tidak semua orang bisa legowo mengeluarkan lembaran rupiah tapi kemudian tim favoritnya kalah. Dari sini juga patut disorot. Pertandingan sepak bola tak hanya menyatukan tapi juga memporak-porandakan. Hal ini tampak dari konflik antar supporter yang kerap terjadi.
Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an, “Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta hartamu.” (TQS. Muhammad : 36)
Tentu, diantara pecinta bola banyak yang muslim. Penting bagi seorang muslim memposisikan dunia sepak bola hanyalah permainan yang hukumnya ‘mubah’ saja. Artinya, tak perlu mengorbankan banyak pikiran, tenaga serta uang untuk hura-hura. Apalagi jika harus kehilangan nyawa dengan sia-sia. Hidup di zaman dimana kapitalisme berkuasa, memang sulit mendudukan perkara secara proporsional. Meski demikian, hukum Islam lahir dengan memposisikan kehidupan dunia dan akherat lebih seimbang. Sudah menjadi kewajiban setiap muslim meletakkan segala urusan kembali pada Islam.
Wallahu alam bish showab.
Views: 21
Comment here