Oleh Diah Puja Kusuma, S.Kom.
wacana-edukasi.com– Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka mendorong penguatan program moderasi Kementrian Agama yang memberi jalan tengah dalam dialog-dialog literasi keagamaan agar tersampaikan lebih massif secara virtual melalui social media untuk mengedukasi masyarakat mengenai toleransi antar umat beragama dalam kehidupan sosial seperti yang dikutip dalam viva.co.id 31/10/2022. Tentu sudah tidak asing lagi kata moderasi agama yang digaungkan oleh pemerintah serta jajarannya terutama Kemenag (Kementrian Agama) sejak beberapa tahun yang lalu bahkan sudah menjadi salah satu tujuan negara untuk menjadikan masyarakat agar ikut mengambil paham moderat dalam beragama, yang katanya bisa meminimalisir sifat berlebihan dalam menjalankan agama serta keributan antar umat beragama ditengah keberagaman agama yang ada di Indonesia. Bukan hanya itu saja tapi juga untuk menjaga serta merawat warisan nusantara yaitu kebudayaan lokal dan kesenian agar bisa berjalan seirama dengan agama.
Sungguh hal ini sangat membingungkan pasalnya pemerintah sangat serius dalam menanamkan paham moderat kepada masyarakat termasuk mengedukasinya dengan menggunakan social media. Padahal faktanya toleransi ala moderasi tidak mampu mewujudkan kerukunan antarumat beragama. Justru yang telah terjadi dan akan terus terjadi adalah keterpecahbelahan, toleransi kebablasan, dan ujung-ujungnya umat makin jauh dari Islam. Demi moderasi, umat harus terus mengalah serta mengorbankan keyakinannya. Selain itu banyak kerusakan serta pelanggaran-pelanggaran syariat yang terjadi disetiap lini kehidupan seperti mudahnya manusia dalam menghina dan mengadu domba Islam dengan stigma-stigma negatif. Ironinya lagi, kegiatan Amar Ma’ruf Nahi Munkar artinya menyeru pada kebaikan dan mencegah keburukan dianggap berlebihan dalam beragama. Ketika ada sebagian umat Islam yang protes atau mengingatkan, justru menerima tuduhan “radikal”. Kata ini seolah menjadi senjata ampuh untuk memberikan predikat buruk terhadap siapa pun yang tidak sepakat maupun menentang kebijakan rezim. Sementara itu, predikat “moderat” diberikan kepada siapa pun yang sejalan dengan kebijakan dan
rezim.
Umat akhirnya terbelah menjadi dua kelompok, yaitu Islam moderat dan yang dituduh sebagai Islam radikal. Bukankah ini keterpecahbelahan? Tidak hanya terpecah belah, moderasi juga mengajarkan toleransi kebablasan yang merusak akidah karena atas nama toleransi beragama, umat Islam dituntut untuk mengakui kebenaran semua agama. Oleh sebab itu, patut kita duga, narasi seperti ini akan terus bergulir hingga umat Islam mau menerima ide pluralisme ‘menyamakan semua agama’. Atas nama toleransi terhadap perbedaan pendapat, umat Islam dituntut untuk menoleransi kemaksiatan. Semua ini terjadi karena paham moderat yang sudah mendarah daging ditengah masyarakat. Syariat Islam tidak lagi menjadi subjek atau standard yang harus ditaati. Tetapi menjadi objek yang terkalahkan dengan budaya. Umat dipaksa untuk taat kepada sesuatu yang bertentangan dengan agamanya.
Padahal konsep moderasi beragama sangat bertentangan dengan Islam, hal ini tampak jelas dari ide dasarnya, yang menyatakan bahwa semua agama benar dan semua agama sama. Ide ini jelas bertentangan dengan firman Allah SWT., “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali-Imran: 19) dan “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi.” (QS Ali Imran: 85). Sesungguhnya Islam adalah agama yang menghargai masyarakat yang plural, yang memiliki keberagaman suku, agama, dan bahasa. Keberagaman ini dalam pandangan Islam merupakan suatu keniscayaan. Daulah Islam yang dipimpin oleh Rasulullah SAW sebagai representasi penerapan hukum Islam justru dengan indah menghargai dan melindungi keberagaman ini, selama menaati aturan Islamiyah.
Islam telah memberikan aturan dan ketentuan yang sangat lengkap dan sempurna, termasuk berbagai hal yang berkaitan dengan toleransi. Ketentuan-ketentuan Islam tersebut antara lain: Pertama, Islam tidak akan pernah mengakui kebenaran agama dan keyakinan selain Islam. Seluruh keyakinan dan agama selain Islam adalah kekufuran. Kapitalisme, demokrasi, pluralisme, sekularisme, liberalisme, dan semua paham yang lahir dari paham-paham tersebut adalah kufur. Kedua, tidak ada toleransi dalam perkara-perkara yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil qath’i, baik menyangkut masalah akidah maupun hukum syariat. Ketiga, Islam tidak melarang kaum muslim untuk berinteraksi dengan orang-orang kafir dalam perkara-perkara mubah seperti jual-beli, kerja sama bisnis, hidup bertetangga, dan lain sebagainya. Larangan berinteraksi dengan orang kafir terbatas pada perkara yang dilarang oleh syariat, seperti menikahi wanita musyrik, menikahkan muslimah dengan orang kafir, dan lain sebagainya. Keempat, adanya ketentuan-ketentuan sebelumnya tidak menafikan kewajiban kaum muslim untuk berdakwah dan berjihad melawan orang-orang kafir di mana pun mereka berada. Hanya saja, pelaksanaan dakwah dan jihad harus sejalan dengan syariat.
Islam juga telah mengajarkan dan memperagakan toleransi dengan begitu indah sejak masa Rasulullah SAW. Islam sudah mempraktikannya dengan baik sejak 13 abad lalu. Hingga nonmuslim justru hidup sejahtera di bawah naungan Islam, dan berbondong-bondong masuk dalam agama Islam atau meminta hidup dalam perlindungan kekuasaan Islam. Islam telah memberikan tuntunan bagaimana menghargai dan menghormati pemeluk agama lain. Tidak memaksa nonmuslim untuk masuk Islam. Rasululah SAW saat mendirikan Negara Islam pertama kali di Madinah, hal yang pertama dilakukan adalah mempersaudarakan kaum Aus dan Khazraj walau berbeda suku, budaya dan kebiasaan mereka bisa bersatu dibawah kalimat “Laa ilaaha illallaah”. Dengan kata lain, peleburan suku-suku bangsa, bahkan bangsa-bangsa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat itu menghasilkan suatu mayarakat yang khas, yang terdiri atas kumpulan individu yang memiliki pemikiran, perasaan, dan aturan serta tujuan yang sama. Maka dari itu bukan budaya yang mampu mempersatukan keberagaman ini, melainkan akidah dan aturan Islam. Wallahu’alam bisshowwab.
Views: 34
Comment here