Opini

Mampukah Pandemic Fund Memperbaiki Arsitektur Kesehatan Global

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Ummi Nissa

Penulis dan Member Komunitas Muslimah Rindu Surga

wacana-edukasi.com, OPINI– Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang dihadiri sejumlah pemimpin dunia telah tuntas diselenggarakan di Nusa Dua, Bali. Dalam perhelatan besar ini setidaknya ada tiga isu utama yang diusung Indonesia, yaitu transisi energi berkelanjutan, transformasi digital, dan arsitektur kesehatan global.

Terkait arsitektur kesehatan global, Presiden Indonesia Joko Widodo, telah meluncurkan secara resmi pandemic fund (dana pandemi) dalam rangkaian pelaksanaan KTT G20 tersebut secara virtual, pada Minggu 13 November 2022. Adapun tujuan dari program cadangan dana ini, agar dunia lebih mempersiapkan diri dalam menghadapi pandemi di masa depan. Ia menuturkan bahwa harus ada kepastian ketahanan komunitas internasional agar pandemi tidak lagi memakan banyak korban jiwa dan meruntuhkan sendi-sendi perekonomian global. (kemenkeu.go.id, 13/11/2022)

Demikian pula, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut inisiatif pandemic fund bertujuan untuk memperbaiki arsitektur kesehatan global. Ia pun berharap agar cakupan dana cadangan pandemi tidak terbatas pada anggota G20 saja. Namun harus inklusif dan memberikan perhatian yang lebih terhadap negara-negara miskin dan berkembang. (tempo.co, 13/11/2022)

Dengan diluncurkannya pundemic fund dalam even tingkat dunia ini, akankah menjadi perbaikan terhadap sistem kesehatan global?

Komersialisasi Kesehatan Akibat Sistem Kapitalisme

Sebagaimana diketahui bersama saat pandemi Covid-19 melanda, tidak dimungkiri telah mengguncang dunia dengan banyaknya korban jiwa bahkan lini kehidupan lainnya. Negara adidaya sekelas Amerika sekalipun tak luput dari guncangan wabah tersebut. Terlebih negara-negara miskin dan berkembang yang minim dalam mitigasi pemutusan penyebaran virus dan penanganan korban terinfeksi positif Covid-19.

Padahal pada hakikatnya perkara kelemahan sebuah negara dalam menangani pandemi bukan hanya berkaitan dengan persoalan teknis dan dana semata. Namun lebih kepada hadirnya peran negara yang dibangun berdasarkan cara pandangnya terhadap rakyat, kesehatan, dan keselamatan jiwa.

Saat ini secara global sistem kehidupan Kapitalisme liberal telah mendominasi pengaturan negara-negara di dunia. Sistem yang digawangi oleh Barat ini, dibangun berdasarkan cara berpikir liberalis (kebebasan) yang melahirkan paradigma tentang komersialisasi dalam segala aspek kehidupan termasuk kesehatan.

Dalam sistem Kapitalisme, negara berperan sebagai regulator yang mengatur kebijakan terkait penyelenggaraan kesehatan. Sementara yang bertanggungjawab untuk terlaksananya pelayanan tersebut negara menggandeng pihak swasta. Sehingga wajar jika yang jadi fokus perhatian adalah keuntungan, bukan pengurusan. Oleh sebab itu kesehatan memiliki harga yang harus dibayar mahal dalam sistem ini, karena layanan kesehatan harus berbayar, dan satu di antaranya adalah mekanisme asuransi kesehatan.

Di Indonesia sendiri ada beberapa jenis asuransi kesehatan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah ataupun swasta. Di antaranya ada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Terkait dengan hal itu, menurut undang-undang yang ada, setiap rakyat diwajibkan menjadi peserta BPJS agar mendapatkan pelayanan kesehatan. Masyarakat akan mendapatkan pelayanan kesehatan secara bertingkat mulai dari kelas I, II, atau III, disesuaikan dengan kemampuannya dalam membayar asuransi kesehatan tersebut. Kalau pun ada yang gratis harus memenuhi standar operasional (SOP) administrasi yang cukup rumit, sehingga kerap menyulitkan masyarakat.

Pandangan komersialisasi kesehatan juga terjadi saat wabah melanda dunia. Perusahaan farmasi di negara besar yang mampu melakukan penelitian virus dan memproduksi vaksin, justru menjadikan pandemi sebagai ajang bisnis yang menguntungkan. Mereka dapat meraup profit yang besar sebagai hasil dari penjualan obat dan vaksin pada saat rakyat di dunia membutuhkan pelayanan kesehatan.

Selain itu, sistem Kapitalisme liberal menjadikan pertimbangan ekonomi sebagai prioritas dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan, sementara keselamatan jiwa rakyat kerap diabaikan. Saat dunia menghadapi wabah yang serius, kebijakan yang dikeluarkan untuk memutus penularan virus terkesan lamban. Misalnya lock down (penguncian wilayah yang terkena wabah), penutupan fasilitas umum seperti bandara untuk memutus virus yang datang dari luar, juga lamban dikeluarkan. Selain itu masih banyak kebijakan lain yang hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi.

Oleh sebab itu, pandemic fund yang diluncurakan pada KTT G20 sesungguhnya menunjukkan ketidakmampuan sistem Kapitalisme yang diterapkan oleh negara-negara di dunia saat ini dalam menangani kesehatan secara mandiri. Program tersebut hanya merupakan perkara teknis yang tidak akan menuntaskan permasalahan akarnya. Yakni paradigma liberalisasi dan komersialisasi kesehatan yang diterapkan dalam sistem Kapitalisme serta minimnya peran negara dalam memberikan pelayanannya terhadap rakyat.

Sistem Pelayanan Kesehatan Dalam Aturan Islam

Berbeda dengan cara pandang dalam Kapitalisme, aturan Islam memandang kesehatan dan keselamatan jiwa rakyat merupakan kebutuhan dasar rakyat yang wajib dijamin pemenuhannya oleh negara. Pada tataran inilah kehadiran Islam sangat dibutuhkan. Sebab, hanya Islam yang mampu memberikan perhatian dan penghargaan tertinggi pada kesehatan dan keselamatan jiwa manusia. Sebagaimana disampaikan dalam firman Allah Swt., dan hadis Rasul saw.:

“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 3)

“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (H.R. Nasa’i)

Islam merupakan agama yang sempurna telah mengatur seluruh aspek kehidupan. Sehingga negara berfungsi sebagai institusi pelaksana pengaturan tersebut. Hal ini menjadikan penguasa hadir dengan landasan keimanan yang kuat sebagai pemelihara urusan rakyat. Termasuk kesehatan dan keselamatan jiwa ketika terjadi wabah. Sebab sebagai pemimpin rakyat (khalifah) ia akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah terkait kewajibannya dalam mengurus rakyatnya.

Berangkat dari landasan keimanan yang melahirkan paradigma berpikir terkait kewajiban pemimpin dalam melayani seluruh kebutuhan rakyat, maka arsitektur kesehatan dalam negara akan kuat. Namun kondisi demikian akan terwujud manakala aturan Islam diterapkan secara sempurna. Sebab untuk menopang anggaran kebutuhan dalam layanan kesehatan, Islam telah mengaturnya secara detail dalam sistem kehidupan lainnya yang saling berkaitan.

Untuk memenuhi anggaran pelayanan kesehatan, maka aturan Islam telah menyediakan lembaga Baitulmaal sebagai pengelola keuangan yang akan mengatur pos pendapatan dan pengeluaran. Termasuk menyediakan pos dana untuk kebutuhan kesehatan.

Ada tiga sumber utama sebagai pendapatan Baitulmal: Pertama, sektor kepemilikan individu seperti sedekah, wakaf, hibah, zakat, dan sebagainya. Khusus untuk zakat tidak boleh bercampur dengan harta lainnya. Kedua, sektor kepemilikan umum seperti keuntungan dari pengelolaan pertambangan, minyak bumi, gas, batubara, kehutanan dan sebagainya. Ketiga: sektor kepemilikan negara seperti pungutan jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, usyur dan sebagainya.

Betapa berlimpahnya kekayaan alam yang dikaruniakan Allah Swt. di dunia ini. Semuanya dapat menjadi penopang tangguhnya arsitektur kesehatan negara khilafah. Oleh sebab itu sistem Islam telah didesain sebagai solusi terhadap seluruh permasalahan umat manusia termasuk masalah kesehatan dan keselamatan jiwa manusia.

Hal tersebut juga telah terbukti pada masa lalu, ketika Islam dijadikan sandaran pengaturan dalam seluruh aspek kehidupan. Para penguasa kaum muslim, tidak hanya mengandalkan anggaran negara dari pengelolaan milik umum dalam memenuhi jaminan pelayanan kesehatan bagi rakyat. Namun mereka ingin mendapatkan pahala yang mengalir, maka mereka pun mewakafkan sebagian besar hartanya untuk membiayai rumah-rumah sakit, perawatan, dan pengobatan rakyatnya. Sebagai contoh, Saifuddin Qalawun (673 H/1284 M), salah seorang penguasa di zaman Abbasiyah, telah mewakafkan hartanya untuk memenuhi biaya tahunan rumah sakit, yang didirikan di Kairo, yaitu Rumah Sakit al-Manshuri al-Kabir.

Dengan demikian, faktor penting yang menjadi dasar bagi terciptanya arsitektur kesehatan yang kuat adalah sistem aturan yang diterapkan. Sementara masalah teknis seperti peluncuran pundemic fund yang mengumpulkan cadangan dana untuk persiapan menghadapi wabah, tentunya hanyalah masalah cabang yang keberhasilannya dalam menangani masalah kesehatan bergantung pada political will penguasa dalam mengurus rakyatnya. Dengan demikian hanya sistem Islam yang mampu menguatkan arsitektur kesehatan secara global.

Wallahu a’lam bish shawwab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 8

Comment here