Opini

Islam Solusi Tuntas untuk Lapas Over Kapasitas

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Sarah Hanifah (Aktivis Dakwah)

wacana-edukasi.com, OPINI– Over kapasitas lapas (lembaga pemasyarakatan) atau yang lebih dikenal sebagai penjara, menjadi permasalahan di Indonesia saat ini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Center of Detention Studies (CDS), lapas di Indonesia kelebihan kapasitas sebanyak 144.253 narapidana per tanggal 7 September 2022

Dikutip dari tempo.co pada Maret 2022,
Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Liberti Sitinjak mengatakan, jika over kapasitas lapas tidak segera ditangani maka pada 2025 diperkirakan bisa mencapai 136 persen dengan jumlah narapidana sebanyak 311.534 orang.

Dengan jumlah narapidana itu, Liberti mengatakan Indonesia akan membutuhkan ruang hunian baru untuk 179.427 orang narapidana, setara 179 Lapas Baru dengan biaya pembangunan sebanyak Rp 35,8 triliun. Ini belum termasuk biaya makan narapidana yang diperkirakan Rp 10,3 Trilun sampai 2025.

Dari Kemenkumham.go.id, Yasonna Laoly selaku menkumham menjelaskan dalam pertemuannya dengan delegasi Belanda pada Jumat 23/09/2022, “Saat ini kita masih menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) warisan Belanda. Harapannya kami dapat segera merampungkan revisi KUHP dengan prinsip restorative justice dalam penjatuhan hukuman”
Pemberian hukuman yang sama antara bandar dan pengguna narkotika dianggap dapat menimbulkan permasalahan di lapas.
“Mayoritas narapidana di Indonesia adalah dari penyalahgunaan narkotika. Harusnya dengan menerapkan prinsip restorative justice, pengguna narkotika tidak harus dipenjara, tapi bisa direhabilitasi,” ujar Yasonna.

Itu baru persoalan narkotika, belum lagi penanganan sanksi narapidana kasus pembunuhan, kejahatan seksual, pencurian dan lain-lain.
Lalu apakah rehabilitasi tersebut merupakan solusi yang dapat mencabut akar permasalahan maraknya penggunaan narkotika?

Sesungguhnya problematika ini sangat bisa diselesaikan secara tuntas dan efisien dengan menerapkan syariat islam secara kaffah atau menyeluruh.

Dalam buku Nizhomul Uqubat fil Islam karya Abdurrahman Al-Maliki dijelaskan bahwa sistem sanksi di dalam islam  berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Pemberian sanksi oleh negara telah ditetapkan ukurannya oleh syari’at dari Allah sang pencipta Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Maka sudah tidak perlu diperdebatkan lagi efisiensinya. Ada efek jera dan membuat orang takut untuk mengerjakan yang haram dan meninggalkan yang wajib.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala  berfirman di QS. Al – Baqarah : 179,

وَ لَـكُمْ فِى الْقِصَا صِ حَيٰوةٌ يّٰۤـاُولِى الْاَ لْبَا بِ لَعَلَّکُمْ تَتَّقُوْنَ

“dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”
Tafsir Ibnu Katsir dari ayat tersebut mengandung hikmah jaminan hidup dan terpeliharanya nyawa. Sebab apabila seseorang mengetahui ia akan dikenakan hukuman mati jika ia membunuh, niscaya dia akan mencegah dirinya dari perbuatan tersebut. Sehingga tidaklah terjadi pembunuhan.

Adapun sanksi sebagai jawabir (penebus dosa), terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit radhiyallaahu ‘anhu :
“Kalian telah membai’atku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, tidak mencur, tidak berzina, kemudian beliau membaca keseluruhan ayat tersebut. “Barangsiapa diantara kalian memenuhinya, maka pahalanya di sisi Allah, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu maka sanksinya adalah kifarat (denda) baginya, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu, maka Allah akan menutupinya, mungkin mengampui atau (mungkin) mengazab”

Sehingga muslim di masa Rasulullah rela menanggung sakitnya had dan qishash di dunia karena takut dengan azab di akhirat yang akan lebih pedih. Sebagaimana kisah Mu’iz dan Ghamidiyah yang menyerahkan diri kepada Rasulullah untuk dihukum rajam atas zina yang dilakukannya.

Untuk membludaknya narapidana narkotika, bercermin pada kasus peminum khamr di masa Rasulullah yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dari Abi Sa’id, “Bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alayhi Wasallam memukul (menjilid) para peminum Khamr sebanyak 40 kali dengan pelepah kurma”
Dari sini diharapkan masyarakat ada rasa takut dan jera untuk melakukan pelanggaran.

Islam pun tidak hanyak berfokus pada sanksi sebagai efek jera, namun juga pencegahan (zawajir) lewat pembinaan iman dan taqwa serta pemenuhan kebutuhan hidup yang dijamin oleh negara khilafah. Sehingga rakyat hidup sejahtera dan minim depresi yang dapat mengakibatkan pelarian ke obat-obatan terlarang.

Hukum sanksi islam sering dituding sebagai pelanggaran HAM, sadis dan kejam. Kalaulah kita meluaskan sudut pandang dari kacamata iman maupun zhahir, dengan menerapkan syari’at islam, over kapasitas lapas dan tingginya kriminalitas atas izin Allah sangat mampu ditebas. Itulah hakikat islam sebagai Rahmatan Lil’alamin, syariatnya dapat menjadi rahmat bagi semesta alam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 9

Comment here