wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) yang kedua diadakan pada 24-26 November 2022, di Pondok Pasantren Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara, Jawa Tengah. Dihadiri oleh ulama perempuan dari seluruh Indonesia dan perwakilan dari 20 negara sehingga total peserta yang hadir adalah 1600 orang (Muslimah News Nasional, 7 Desember 2022).
KUPI II kali ini mengangkat tema “Meneguhkan Peran Ulama Perempuan Untuk Peradaban yang Berkeadilan.
Menurut Ruby Kholifah, Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, yang juga anggota dari OC KUPI II, menyatakan bahwa ” Peran perempuan harus dilibatkan dalam membangun kebijakan yang melindungi perempuan setelah KUPI sebelumnya sukses melahirkan fatwa berbasis perspektif perempuan yang terbukti efektif untuk mengadvokasi isu-isu keadilan gender” ( Muslimah News Nasional, 7 Desember 2022).
Ternyata lagi-lagi, ini adalah seputar gender. Dimana kalangan feminis terus bergerak dalam upaya eksistensi mereka. KUPI adalah wadah pergerakan mereka yang menamakan dirinya feminis muslim, dan didominasi lebih dari 50% oleh kalangan perempuan dan laki-laki muda (millenial). Menanggapi ini, Ustadzah Kholishoh Dzikri, Mubaligoh Nasional dalam acara Muslimah Bicara, (Sabtu 3 Desember 2022), menilai bahwa “KUPI sangat perlu diwaspadai pergerakannya karena ini menjadi bagian dari upaya Barat untuk merusak Islam dan kaum muslim”.
Perusakan bahkan dari sisi terminologi, dimana pemaknaan Ulama Perempuan ala KUPI, sebagaimana penjelasan ustadzah Kholishoh bahwa KUPI memaknai Ulama Perempuan berbeda dengan Perempuan Ulama. Ulama perempuan tidak semuanya perempuan, tapi siapa saja baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan bukan hanya keilmuan agama ( faqih fiddin), tetapi kapasitas keilmuan apa saja, peduli terhadap perempuan, dan memandang berbagai persoalan dengan perspektif gender.
Sehingga Ustadzah Kholishoh berpesan agar kaum muslim tidak salah menyebut Perempuan Ulama, yaitu perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan agama (faqih fiddin) dengan sebutan Ulama Perempuan.
Diantara tiga isu dari lima isu utama yang diangkat adalah hal yang kalangan feminis anggap sebagai kekerasan terhadap perempuan, yaitu menyelamatkan perempuan dari pelukaan dan pemotongan genetalia perempuan (sunat perempuan), menyelamatkan perempuan dari kekerasan jiwa akibat kehamilan karena perkosaan, dan pencegahan pernikahan dini.
Maka hal ini patut kita waspadai akan mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan atau regulasi yang berkaitan dengan larangan terhadap sunat perempuan, kebolehan aborsi karena tindak perkosaan, dan pencegahan pernikahan dini.
Hakekatnya ini adalah penyesatan dan berbahaya bagi umat, karena bahkan mereka kalangan feminis menyatakan dirinya adalah ulama, yang semestinya ulama itu adalah orang yang paling takut kepada Allah swt, mengajak umat kembali kepada pemahaman Islam yang benar. Namun yang mereka lakukan bukanlah mendekatkan dan mengembalikan umat kepada nilai-nilai Islam, malah sejatinya mereka justru semakin menjauhkan umat dari pemahaman Islam yang benar.
Penulis:
Leyla
Dramaga, Bogor
Views: 27
Comment here