Oleh: Wa Limi, S. Pd. (Pegiat Opini)
wacana-edukasi.com, OPINI– Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) yang jatuh pada 9 Desember, kembali diperingati tahun ini. Ironisnya, tiga hari sebelum Hakordia, tepatnya pada 6 Desember 2022, DPR mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru menjadi UU.
Beberapa pasal dalam KUHP baru ini, memuat tentang korupsi. Mirisnya, pasal-pasal tentang korupsi itu justru menjadi ‘kado manis’ bagi koruptor. Bagaimana tidak, hukuman bagi koruptor dalam UU baru tersebut lebih ringan dibanding yang ditetapkan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Ketentuan tentang korupsi tertuang dalam pasal 603-606 KUHP. Pada pasal 603 disebutkan, “Bagi orang yang melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, ataupun korporasi hingga merugikan negara atau perekonomian negara, diganjar penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun atau penjara seumur hidup”. Padahal, di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pelaku korupsi dihukum minimal 4 tahun penjara.
Pun, dalam pasal lain disebutkan, “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap, dihukum minimal 1 tahun penjara dan maksimal 6 tahun penjara, serta denda minimal Rp50 juta dan maksimal Rp500 juta”. Padahal, dalam UU Tipikor, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap, dihukum minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara, serta denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar (kompas.com, 09/12/2022).
Tak main-main, hukuman untuk koruptor dalam KUHP baru ini dipangkas nyaris tak bersisa. Menyedihkannya, KUHP ini diundangkan dengan mulus di tengah gaung penolakan publik begitu kencang disuarakan. Terang saja, kebijakan yang terkesan dipaksakan ini, mengundang banyak pertanyaan. Mengapa kebijakan baru ini justru meringankan hukuman koruptor? Bukankah penguasa negeri ini telah berkomitmen memberantas segala bentuk tindak pidana korupsi?
Sungguh, melenggangnya KUHP ini menjadi UU, kian menegaskan bahwa Indonesia adalah surganya para koruptor. Berapa tidak, dengan diskon besar-besaran untuk hukuman koruptor ini, bisa jadi semakin menyuburkan tindakan korupsi dengan berbagai bentuknya. Bahkan, bisa jadi pula seseorang lagi merasa takut dan malu melakukan tindakan tercela tersebut. Di samping itu, cita-cita negara yang konon ingin memberantas korupsi, bisa jadi hanya janji manis yang entah kapan bisa ditunaikan.
Lagi dan lagi, di tengah rumitnya persoalan hidup yang dihadapi rakyat negeri ini, alih-alih menghadirkan solusi, mereka yang menyebut diri sebagai wakil rakyat justru berpaling dari rakyat. Disadari atau tidak, kesengsaraan yang dirasakan rakyat, sedikit banyak adalah imbas dari maraknya korupsi. Artinya apa? Ketika wakil rakyat di dewan mengesahkan UU yang di dalamnya terdapat kebijakan mengurangi hukuman koruptor, pada saat itu, sesungguhnya mereka telah berkhianat pada rakyat.
Olehnya itu, jika masih berharap bahwa sistem kapitalisme sekuler ini mampu menghilangkan korupsi, sungguh, hal itu sia-sia belaka. Tak ubahnya, ‘bagai pungguk merindukan bulan’.
Adakah sistem lain yang mampu mewujudkan negara bebas dari korupsi? Tentu ada. Sistem itu, tidak lain adalah sistem Islam. Lantas, adakah jaminan bahwa Islam mampu membebaskan negeri ini dari cengkeraman “gurita” korupsi?
Setidaknya, terdapat empat alasan mengapa Islam sangat mungkin menuntaskan masalah korupsi, suap, dll. Pertama, penetapan gaji yang layak bagi pegawai negara. Kelayakan gaji tersebut dipastikan mampu memenuhi kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier mereka. Di sisi lain, harga barang cenderung stabil dan terjangkau. Sebab, sistem ekonomi Islam sangat mempriotaskan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dengan begitu, tidak ada alasan bagi para pegawai negara untuk melakukan korupsi.
Kedua, negara dalam sistem Islam wajib melakukan audit (pemeriksaan) harta pejabat negara secara berkala. Audit dilakukan sejak awal menjabat, kemudian setiap sekali setahun selama masa jabatan. Hal itu bertujuan untuk mengetahui jumlah kekayaan pegawai negara saat penjabat. Jika ada penambahan kekayaan yang tidak wajar dan mencolok, maka dipastikan akan ditindak tegas.
Ketiga, penerapan sanksi tegas. Jika terbukti ada pegawai negara yang jumlah kekayaannya tidak wajar karena korupsi atau menerima suap, pasti dikenakan sanksi tegas berupa sanksi ta’zir, yakni sanksi yang ditetapkan oleh Khalifah. Sanksinya beragam, tergantung kadar kejahatan yang dilakukan. Mulai dari pemecatan secara tidak hormat, penyitaan harta kekayaan, kurungan, hingga hukuman mati. Terpenting, sanksi yang ditetapkan dapat memberikan efek jera bagi koruptor dan mencegah orang lain melakukan korupsi dan sejenisnya.
Keempat, ketakwaan individu. Inilah benteng pertama dan utama agar seseorang terhindar dari perbuatan tercela, seperti korupsi, suap-menyuap, dan sebagainya. Dengan keimanan yang kuat serta ketakwaan dan ketundukan pada perintah dan larangan Allah Swt., seseorang tidak akan mudah terjerumus dalam tindakan korupsi. Selain karena takut akan murka Allah Swt., sanksi tegas yang diterapkan negara juga mampu mencegah perbuatan korupsi, meski sekadar niat sekalipun.
Walhasil, untuk memberantas tindakan korupsi, tidak mungkin jika masih mengandalkan sistem kapitalisme sekuler, yang notabene makin menyuburkan korupsi. Satu-satunya sistem yang mampu memberantas korupsi hingga ke akarnya, hanya sistem Islam, bukan yang lain. Olehnya itu, saatnya mencampakkan sistem kapitalisme sekuler yang lemah dan rusak ini, lalu menggantinya dengan sistem Islam. Sistem yang datang dari Allah Swt., Tuhan pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan ini.
Wallahua’lam bi ash-shawwab
Views: 9
Comment here