wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Bahasan seputar korupsi kembali menghangat bersamaan dengan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia). Hari yang awalnya dicetuskan oleh Sidang Majelis Umum PBB silam telah menetapkan tanggal 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Internasional atau kemudian disebut dengan Hakordia. Hari Antikorupsi merupakan bagian dari ratifikasi hasil sidang PBB yakni United Nations Covention Againsts Corruption atau UNCAC. Pada skala nasional peringatan Hakordia tahun 2022 diselenggarakan di Jakarta bertemakan Indonesia Pulih Bersatu Lawan Korupsi. Seremoni ini dibuka langsung oleh Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin dan dihadiri oleh para pejabat terkait.
Menelaah soal korupsi nampaknya masih menjadi momok bagi bangsa ini. Bagaimana tidak, pemberitaan seputar pejabat yang tertangkap tangan sedang bertransaksi dengan uang haram semakin sering kita temukan di media massa. Bukan hanya penguasa yang berada di pusat pemerintahan, pejabat pada level daerah pun tak luput menjadi pemainnya. Menurut Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto, posisi para pengampu kebijakan daerah tidak dijalankan oleh personil yang memiliki kapasitas. Karenanya, tidak menutup kemungkinan terjadi politik transaksional yang dapat memberi celah bagi terjadinya korupsi (tirto.id, 09/12/2022).
Korupsi menggejala bahkan seperti menjadi sebuah gaya hidup bagi penguasa. Terlebih ketika masa pemerintahan telah mendekati tahun politik. Beragam cara digunakan untuk memastikan kepentingan diri dan kelompoknya diunggulkan. Kemudian masuklah para pengusaha yang kuat secara kapital. Mereka saling berbagi kemaslahatan dengan para politisi agar nasib usaha dan bisnisnya dapat semakin jaya. Akhirnya tidak ada yang dapat disalahkan karena antara penguasa dan pengusaha menginginkan teraihnya tujuan mereka, yaitu harta dan kekuasaan. Alhasil peredaran uang suap sulit dihindarkan dan menjadi permakluman karena suasana yang terbangun menganggap itu perkara biasa.
Aksi korupsi adalah buah dari penerapan sistem kehidupan yang rusak. Budaya korupsi tidak muncul tiba-tiba. Ia hadir sebagai sebuah konsekuensi penerapan aturan yang sangat mengedepankan kemanfaatan di atas segalanya. Manfaat dalam hal ini diukur dengan sudut pandang kapital tentunya alias materi. Bertolak dari cara pandang ini kita dapat menyimpulkan bahwa korupsi hakikatnya tidak akan pernah hilang dari masyarakat karena sistem yang ada telah menyuburkan praktik korupsi. Impian untuk menghilangkan samsekali praktik korupsi harus mengarah pada perubahan revolusioner yang bersifat sistemik. Sistem disini kaitannya dengan pengaturan interaksi masyarakat yang bersumber pada keyakinan (akidah).
Sistem kapitalisme berasas pada keyakinan yang sekular. Sistem semacam ini telah menempatkan manusia pada posisi yang berhak untuk membuat hukum. Manusia diberi kewenangan dalam menetapkan standar kehidupan seperti baik-buruk, benar-salah, terpuji-tercela. Termasuk saat kita membincangkan korupsi maka akan sangat bias sekali dengan praktik berkedok hibah, tender dan semisalnya. Padahal para penguasa begitu akrab dengan praktik gratifikasi semacam ini. Kondisi ini juga ditunjang oleh kebijakan yang memboleh para kalangan bisnis untuk bertransaksi langsung para penguasa setempat dengan mekanisme B to B atau Business to Business.
Tidak terdapat sanksi yang tegas bagi para pelaku korupsi. Mereka yang tertangkap tangan melakukan aksinya hanya diganjar dengan hukuman penjara atau denda. Namun demikian hukuman yang diberikan kepada koruptor terbukti tidak memberikan efek jera sedikit pun, bahkan kasusnya semakin berulang dari hari ke hari. Para koruptor yang pernah terjerat kasus politik dapat dipulihkan kembali namanya dan mendapat hak politik sebagaimana masyarakat biasa. Kondisi ini semakin mempertegas lemahnya perlakuan hukum terhadap pelaku korupsi.
Berkebalikan dengan aturan Islam yang sangat menolak budaya korupsi. Rasulullah Saw pernah bersabda, dari Abdullah bin ‘Amr RA, yang artinya, “Laknat Allah atas setiap orang yang memberi suap dan yang menerima suap” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah). Syariat Islam tidak sekadar melarang tetapi juga menutup segala celah bagi terjadinya korupsi. Sistem politik Islam bukanlah transaksional yang berbasis kemanfaatan. Tidak ada kepentingan para pengusaha atas penguasa dan sebaliknya dalam politik Islam. Hal ini disebabkan para penguasa dan politisi yang diatur dalam hukum Islam hanya fokus pada penerapan atuaaran Islam di tengah masyarakat. Pun jika terbukti adanya pihak yang melakukan korupsi maka sistem sanksi akan ditetapkan sesuai kadar kerugian yang ditimbulkan.
Menuntaskan korupsi tentu tak sekadar seremoni. Melawan korupsi membutuhkan support system yang mumpuni dan itu tentu bukan sistem yang diadopsi saat ini. Kapitalisme terbukti telah menjadi akar sebab maraknya korupsi maka tidak ada kepentingan bagi siapapun untuk melanggengkan sistem ini. Sebaliknya, sistem Islam akan memberantas korupsi hingga ke akarnya. Wallahu’alam.
Ummu Hanan
Views: 16
Comment here