Opini

Eksploitasi Ibu Melalui Pemberdayaan Ekonomi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Hanum Hanindita, S.Si.

wacana-edukasi.com, OPINI– Tahun ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) telah membuat tema Hari Ibu 2022. Sejarah mencatat dicetuskannya Hari Ibu di Indonesia merupakan tonggak perjuangan perempuan untuk terlibat dalam upaya kemerdekaan bangsa dan pergerakan perempuan Indonesia dari masa ke masa dalam menyuarakan hak-haknya guna mendapatkan perlindungan dan mencapai kesetaraan. Tema utama PHI tahun ini adalah PEREMPUAN BERDAYA INDONESIA MAJU. Selain tema utama, ditetapkan sub-sub tema untuk mendukung tema utama, yang semuanya mengarah kepada pemberdayaan ekonomi. Pemberdayaan ekonomi kaum Ibu selalu digenjot untuk meningkatkan perekonomian keluarga juga negara. (tirto.id)

Pakar ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Poppy Ismalina Ph D menyebut bahwa perempuan berperan besar dalam perekonomian. Dipaparkan Poppy, dari data yang ada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) adalah penyokong utama perekonomian Indonesia dengan peran sebesar 99,99 persen, sementara usaha besar hanya berperan 0,01. Kontribusinya UMKM bagi Product Domestic Bruto mencapai 60,5 persen, dan menjadi sektor utama penyerapan tenaga kerja. Sebanyak 60 persen UMKM dikelola oleh perempuan (newestindonesia.com)

Dukungan pemerintah yang begitu besar terhadap pemberdayaan perempuan dalam ekonomi tidak lepas dari pandangan bahwa ini adalah solusi dalam mengatasi kemiskinan. Seolah ini adalah sesuatu yang bagus, apalagi semakin digencarkan dalam moment hari Ibu. Padahal pemberdayaan ekonomi perempuan yang bersenyawa dengan ide kesetaraan gender ini hanyalah menghancurkan perempuan dan keluarga.

Di Indonesia dengan iklim kapitalis seperti saat ini, industri adalah pilar utamanya. Sistem kapitalis akan terus berupaya agar industri ini bisa terus berlangsung dan berproduksi. Tenaga kerja menjadi salah satu faktor produksi yang penting. Berpijak pada asas manfaat, kapitalisme memandang bahwa tenaga kerja perempuan lebih menguntungkan. Perempuan umumnya tidak memiliki posisi tawar yang memadai sehingga mudah diperdaya dengan upah yang lebih rendah, pengabaian hak pekerja, dan pembatasan kebebasan dalam berserikat.

Selain itu perempuan adalah pasar yang menggiurkan. Berdasarkan hasil riset tahunan The Asian Parent ‘Indonesian Digital Mums Survey 2018, 99% ibu di Indonesia merupakan penentu belanja keperluan rumah tangga. Oleh karena itu mereka diberikan kebebasan finansial dengan menjadikannya memiliki pendapatan sendiri agar posisi mereka sebagai penentu belanja membawa keuntungan yang besar. Demikianlah perempuan digiring untuk menjadi penggerak roda industri kapitalis sekaligus target pasar.

Dalam hal ini, kapitalis menggarap skenario jahatnya untuk memperalat perempuan. Mereka merancang konsep yang bertolak belakang dengan Islam dengan menciptakan narasi miring tentang aturan Islam terhadap perempuan. Contohnya Islam mendiskriminasi perempuan, menempatkannya dalam posisi di bawah laki-laki, mengekang kebebasan dan melanggar HAM. Ketika umat mulai labil, dengan cepat dimasukkan konsep kapitalis seperti kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan, kemandirian ekonomi dan sebagainya.

Upaya kapitalisasi perempuan di negeri-negeri Muslim disambut gegap gempita oleh para penguasa yang notabene telah teracuni oleh warna kapitalis. Tak terkecuali di Indonesia sebagai negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Tak heran bila kemudian kerusakan generasi menjadi semakin parah. Pergaulan bebas dan seks menyimpang, tawuran, narkoba, miras, kejahatan anak, kecanduan games online, dan seterusnya. Ini semua terjadi karena tugas utama Ibu sebagai pengatur rumah tangga dan pencetak generasi unggul terkebiri oleh program kapitalisasi lewat pemberdayaan ekonomi perempuan dan sejenisnya.

Pemberdayaan ekonomi kaum ibu sejatinya adalah eksploitasi, karena pemberdayaan ibu seharusnya dikembalikan kepada peran utama ibu sebagai pendidik generasi calon pemimpin masa depan. Untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih besar, sudah waktunya kita meninggalkan konsep pemberdayaan perempuan ala kapitalis dan kembali pada Islam.

Islam memandang bahwa perempuan adalah ibu peradaban. Posisi perempuan sebagai pembentuk peradaban, tidak lepas dari peran yang telah digariskan Allah bagi mereka dalam ajaran Islam. Islam telah memberikan aturan kepada kaum perempuan untuk mengemban tanggung jawab di dalam rumah sekaligus menjadi pemimpin bagi anak-anaknya. Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana yang dituturkan oleh Ibn ’Umar:

“Setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang perempuan adalah pemimpin atas rumahtangga suaminya dan anak-anaknya yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (HR Bukhari-Muslim). Dari hadis tersebut bisa disimpulkan bahwa peran utama perempuan adalah sebagai ibu dan manajer rumah. Ibu memegang peran penting dan strategis dalam mencetak generasi penerus umat yang memiliki kualitas handal.

Peran Ibu tidak bisa dipandang remeh, sebab di tangannyalah nasib kelestarian generasi ditentukan. Ibu berperan dalam mendidik dan membina anak-anak mereka menjadi generasi beraqidah kuat yang tunduk pada syari’at dan siap untuk memperjuangkannya. Ia berperan mencetak anak-anak dengan jiwa kepemimpinan yang siap untuk memimpin umat menuju perubahan dan kebangkitan hakiki.

Sebagai manajer di rumah, Ibu berperan mewujudkan suasana rumah yang tenang, nyaman, dan damai bagi penghuninya. Dengan demikian suami dan anak-anak mereka merasa rumah adalah tempat pulang terbaik setelah selesai beraktivitas sehingga tidak perlu mencari tempat pelarian lain dari kelelahan dan kegundahan.

Sebagai bagian dari masyarakat, peran perempuan pun tidak bisa diabaikan begitu saja. Islam telah memberikan ruang yang leluasa untuk beraktivitas sebagai bagian dari anggota masyarakat namun tetap memperhatikan hukum syara, seperti kebolehan untuk terlibat dalam beberapa mu’amalah, melakukan aktivitas dakwah atau amar ma’ruf nahi munkar serta memperhatikan urusan umat yang hukumnya memang wajib, dan lain-lain. Kewajiban ini tersirat dalam firman Allah SWT:

“Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi Rahmat oleh Allah dan sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (TQS. At-Taubah:71)

Inilah pemberdayaan perempuan sejati dalam pandangan Islam. Untuk memastikan pemberdayaan perempuan ini bisa berlangsung dengan sebaik-baiknya, Islam membebaskan mereka dari kewajiban mencari nafkah dan membebankan nafkahnya kepada suami atau para wali. Bila mereka tidak mampu atau tidak ada, Negara memiliki kewajiban mengambil alih nafkah perempuan. Namun, arah pemberdayaan perempuan seperti ini hanya bisa direalisasikan ketika sistem Islam yang diterapkan, satu-satunya sistem yang berasal dari Sang Pencipta, Yang Mahatahu akan hamba-hambaNya dan apa yang terbaik bagi mereka.

Apabila dikaitkan dengan kondisi umat saat ini yang jauh dari gambaran ideal masyarakat Islam, maka peran perempuan dalam perjuangan dakwah menjadi lebih urgent lagi terutama dalam proses mengubah pemikiran masyarakat yang rusak sekarang ini menjadi masyarakat ideal yaitu masyarakat Islam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 23

Comment here