Opini

Peringati Hakordia di Tengah Maraknya Korupsi, Sebagai Seremoni?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Hamsina Ummu Ghaziyah
(Pegiat Literasi)

wacana-edukasi.com, OPINI– Berbicara terkait persoalan yang menimpa bangsa Indonesia saat ini, tak terlepas dari masalh kemiskinan, kelaparan, bencana alam, kriminalitas, dan persoalan besar lainnya. Berkaca dari persoalan kriminalitas yang tak hanya dilakoni oleh masyarakat awam, setingkat politisi pun tak terlepas dari kasus-kasus besar yang menciderai nilai-nilai Pancasila, hingga merugikan negara seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Beragam kasus korupsi di kalangan politikus menjadi problematika yang tak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, kejahatan ini merupakan tindakan kriminal yang tidak hanya merugikan negara, akan tetapi nyaris meruntuhkan kepercayaan publik atas kinerja para politisi. Padahal, hampir setiap tahun Hari Anti Korupsi Sedunia diperingati. Namun, angka korupsi terus meningkat. Mengapa demikian? Apakah gaji para petinggi di negeri ini tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka? Ataukah ini sudah menjadi habits para politisi demi mendulang pundi-pundi kekayaan?

Di Indonesia sendiri, peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia hanya sekadar seremoni tanpa makna. Parahnya lagi, RKUHP yang baru saja disahkan, justru mengurangi masa hukuman bagi para koruptor, di tengah maraknya kasus korupsi di tingkat politisi. Sungguh miris dan menyesakkan dada. Betapa tidak, kasus korupsi dipastikan akan semakin meningkat dan tak menutup kemungkinan akan ba banyak bermunculan “tikus berdasi” yang siap menggerogoti uang rakyat.

Indonesia Corruption Watch (ICW) sendiri menyebut, peringatan Hakordia tahun ini layak disikapi dengan rasa berkabung atas runtuhnya komitmen negara dan robohnya harapan masyarakat. ICW kemudian menyoroti sejumlah aspek yang dinilai turut berkontribusi dalam meruntuhkan komitmen negara terkait pemberantasan korupsi. Salah satu aspek yang turut disorot ICW adalah tingginya angka korupsi di kalangan politisi. (Tirto.id,11/12/22)

Seperti kasus yang baru-baru ini mencuat di muka publik, Bupati Bangkalan bersama dengan 5 rekan lainnya terseret kasus pemberian dan penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara atau yang mewakili terkait lelang jabatan. (Tirto.id,09/12/22)

Sementara itu, KPK yang digadang-gadang sebagai lembaga terkuat pemberantasan korupsi justru melempem dalam menangani tindak pidana korupsi, terutama di kalangan politisi. Bagaimana tidak, institusi lembaga yang dipercayai oleh masyarakat mampu memberantas korupsi justru dikuasai oleh segelintir elit politik dan oligarki. Walhasil, meskipun para koruptor ini tertangkap kasusnya pun sering ditutup-tutupi. Bahkan, hukuman yang diberikan cenderung tidak setimpal dengan kejahatan yang diperbuat. Olehnya, tak heran jika kasus serupa kerap terjadi. Korupsi kian tumbuh subur akibat hukuman yang diberikan tidak mampu memberi efek jera, baik bagi pelaku. Pun, tidak mampu mencegah orang lain dari berbuat yang serupa.

Maka, dari sini kita bisa menilai bahwasanya sistem dalam tatanan negara saat ini tidak mampu menyelesaikan sekelumit persoalan yang tengah menggerogotinya. Buktinya, melalui KUHP yang baru, negara justru memicu terjadinya korupsi berjamaah. Sistem rusak yang melahirkan banyak koruptor yang berlindung di balik topeng kemunafikan.

Korupsi kerap menjadi jalan untuk memperkaya diri melalui jabatan atau kekuasaan yang sejatinya itu adalah amanah yang wajib dilaksanakan dengan niat tulus demi kepentingan rakyat. Di samping itu, KPK yang digadang-gadang mampu menuntaskan masalah korupsi, telah dilemahkan peran dan fungsinya. Sehingga, kepercayaan masyarakat kian luntur, karena menganggap institusi tersebut tidak mampu menuntaskan beragam kasus korupsi di negeri ini.

Oleh karena itu, jelas sudah bahwa demokrasi bukanlah jalan untuk menyelesaikan problem multidimensi di negeri ini. Bahkan, demokrasi semakin membuka lebar, celah terjadinya kejahatan demi kejahatan. Sistem ini tidak mampu menyelesaikan persoalan negara dari pangkal hingga cabangnya.

Berbeda halnya dalam Islam. Islam.memandang bahwasanya kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawab itu tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah Swt. di akhirat kelak.

Islam bukan sekadar agama ritual belaka, melainkan sebuah ideologi yang terpancar dari akidah islam yang murni. Sistem Islam dengan akidah Islamnya mampu menangkal berbagai problematika umat terutama mencegah terjadinya korupsi. Olehnya itu, dalam pemilihan pejabat atau majelis umat yang amanah dan bertanggung jawab, tidak disyaratkan biaya yang tinggi, agar tidak terjadi praktek suap maupun korupsi. Selain itu, Khilafah memberlakukan larangan keras menerima ghulul, yakni harta yang diperoleh secara tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik negara maupun harta milik masyarakat.

Tak hanya itu, Khilafah juga menetapkan syarat takwa setiap individu sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Karena itu, ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela. Dengan ketakwaan, keimanan menjadi kokoh. Sehingga, siapapun akan merasa takut untuk melakukan hal tercela, karena merasa diri senantiasaa diawasi oleh Allah Swt.

Di dalam Al Qur’an, Allah Swt. telah menegaskan,
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۚ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِى الْاَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاۤءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَاۗ وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌۗ

Artinya, “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hadid:4)

Di samping itu pula, ditetapkan politik ri’ayah yang benar-benar bertujuan untuk mengurus kepentingan umat, bukan sekadar tunduk kepada kehendak oligarki dan pemilik modal. Karenanya, untuk menjamin totalitas dan loyalitas para pejabat di sistem Islam, pemerintahan Islam menjamin gaji yang besar untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sehingga, siapapun itu tidak akan merasa kekurangan apalagi berniat melakukan korupsi.

Selain itu, diberlakukan sistem hukum yang tegas bagi koruptor, seperti hukuman cambuk, penyitaan harta, diasingkan, bahkan hukuman mati. Sistem hukum ini dikenakan semata-mata untuk memberi efek jera. Sebagaimana Khalifah Umar pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah, yang saat itu menjadi gubernur Syam (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123).

Seperti inilah Islam memberantas korupsi secara solutif dan sistematis. Keagungan Islam melalui aturan yang diterapkan mampu memberikan solusi atas persoalan yang terjadi di tengah masyakarat. Walhasil, sungguh layak adanya, jika umat sangat merindukan dan menginginkan hadirnya sebuah sistem pemerintahan yang tidak saja mampu menuntaskan problematika umat, tetapi juga menjamin kesejahteraan serta kehidupan layak bagi setiap manusia. Sistem itu tidak lain adalah Khilafah Islamiyah yang mengikuti manhaj kenabian.

Wallahu A’lam Bishshowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 9

Comment here