Oleh : Karisah
Aktivis Muslimah Peduli Generasi
wacana-edukasi.com, OPINI– Bulan Desember bulan terakhir di tahun Masehi. Akhir-akhir ini banyak peristiwa terjadi yang membuat negeri ini berduka. Berbagai musibah seakan silih berganti; banjir, tanah longsor, gempa, seharusnya menjadi peringatan bagi akan lemahnya manusia dan betapa besarnya kekuasaan Allah Swt.
Bulan Desember juga terdapat berbagai hari peringatan diantaranya; ada hari ibu, natalan dan tahun baru masehi.
Menjadi renungan bersama, negeri kita yang mayoritas beragama Islam kini sebagian ada yang mengikuti perayaan yang bukan dari Islam. Perlu menjadi pertanyaan mengapa banyak kini umat Islam yang ikut merayakan? Apakah hal tersebut dibolehkan
berdasar syariat Islam atau tidak? Sebab seorang muslim wajib mengetahui hukum suatu perbuatan sebelum melakukan.
Demikian pula untuk hari Ibu. Sejarah hari ibu, di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, Hari Ibu atau Mothers Day dirayakan pada bulan Maret. Hal itu berhubungan dengan kepercayaan mereka memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah atau mitologi Yunani Kuno.
Masyarakat Inggris pada tahun 1600 merayakan hari yang mereka namakan sebagai “Mothering Sunday”. sebagian orang-orang Kristen akan berhenti memakan makanan tertentu karena alasan dogma agama. Mereka beralasan amalan tersebut diciptakan karena sebagai penghormatan mereka terhadap Mother Mary. Mother Mary adalah Maryam, ibu dari Nabi Isa Alaihissalam atau Jesus yang mereka anggap sebagai Tuhan. Di perayaan itu ibu akan dihadiahkan dengan Mothering Cake yang disebut juga hari Mother Church.
Pada tahun 1907 Anna Jarvis dari Philadelphia telah memulai kampanye untuk melancarkan Hari Ibu. Ia pun telah berhasil mempengaruhi Mother’s Church di Grafton, Sehingga west Virginia merayakan dan meramaikan Hari Ibu pada hari ulang tahun kedua kematian ibunya, yaitu pada hari Ahad kedua dalam bulan Mei. Semenjak saat itu, Hari Ibu dirayakan setiap tahun di Philadelphia.
Dilansir dari Liputan6.com, makna hari ibu kian beragam, bahkan Hari Ibu saat ini dianggap sebagai mesin konsumerisme, di mana Hari Ibu menjadi hari libur nasional nomor tiga untuk pertukaran kartu ucapan selamat Hari Ibu di seluruh Amerika Serikat, menduduki tempat setelah Natal dan Valentine. Sementara umat Islam sebagian ikut merayakan dengan mengucapkan tanda kasih pada ibu.
Lalu bagaimana dengan peringatan Natal dan Tahun Baru Masehi? Tentu jelas bukan dari Islam. Namun hari ini tak jarang umat Islam sebagian ada yang dipaksa menggunakan atribut-atributnya ketika menjalankan tugas sebagai karyawan. Namun ada pula yang dengan suka rela ikut merayakan dengan dalih toleransi.
Benarkah toleransi itu dilakukan dengan cara ikut merayakan? Lalu bagaimana penerapan Qs. Al Kafirun ayat 6? Yang memiliki arti “untukmu agamamu, untukku agamaku.”
Bagi umat Islam yang mengucapkan selamat hari Natal, perlu memahami yang sudah jelas di dalam Al Qur’an bahwa sosok Nabi Isa dalam surat Maryam:34-35, yang artinya:
” Itulah Isa putra Maryam, ( yang mengatakan) perkataan yang benar, yang mereka ragukan kebenaran nya.
Tidak patut bagi Allah mempunyai anak, Maha suci Dia. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya,” jadilah! Maka jadilah sesuatu itu.
Jadi jelas Allah Swt menyindir dengan tegas mereka yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak. Lalu bagaimana mungkin seorang yang telah bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt. mengucapkan selamat pada perayaan kelahiran Tuhan lain?
Lalu dalam perayaan tahun baru, fakta yang kita lihat hari ini banyak umat Islam yang ikut merayakan dengan pesta kembang api, hura-hura dan berfoyah-foya. Padahal hal itu bisa menghamburkan uang yang tak sedikit, bahkan apa faedahnya bagi umat Islam?
Umat Yang Jauh Dari Agamanya
Sebagian umat Islam hari ini tanpa sadar mengikuti budaya barat yang menganut sekularisme. Dimana peran agama hanya diterapkan dalam ranah pribadi. Maka tak jarang mengikuti berbagai peringatan selain Islam tanpa tahu makna dibaliknya.
Walaupun negeri ini mayoritasnya beragama Islam namun pada realitanya negeri ini tak menerapkan aturan Islam dalam mengatur urusan rakyatnya. Sebagian menganggap Islam hanya sekedar agama ritual. Padahal jauh sebelumnya Islam telah diterapkan selama 13 Abad menaungi 2/3 dunia. Negara totalitas menerapkan aturan agama Islam dalam setiap sendi kehidupan.
Mengutip kitab Nizhamul Islam karya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani yang menjelaskan istilah Madaniyah dan Hadharah. Hadharah adalah sekumpulan pemahaman (ide yang dianut dan mempunyai fakta) tentang kehidupan. Sedangkan Madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan.
Syaikh An-Nabhani menjelaskan segala alat elektronik, dan benda lain yang dibuat oleh orang selain Islam, umat Islam boleh memakai. Sebab tidak ada ciri khas yang menandakan keyakinan/ pemahaman agama tertentu. Sedangkan Natal dan Tahun Baru merupakan produk atau perayaan yang berkaitan dengan keyakinan/agama selain Islam. Tentu benda-benda yang menjadi penghiasnya juga memiliki makna dari keyakinan tertentu. Inilah yang disebut sebagai hadharah, dan hadharah ini jelas bertentangan dengan hadharah Islam.
Maka jika umat Islam paham dan sadar tentang mana produk madaniyah, mana produk hadharah, umat Islam bisa cermat memilih dan memilah mana yang boleh diambil mana yang tidak.
Umat Butuh Peran Negara
Realita negeri ini terpengaruh dan mengadopsi sekulerisme nampak dalam kebijakan yang diterapkan. Alhasil umat Islam khususnya tak memiliki benteng pertahanan yang kuat yang mampu menjaga akidahnya.
Umat Islam dan para generasi muda sangat perlu memahami agamanya dengan benar. Peran negara memberikan ruang agar umat Islam hari ini lebih mudah mendapatkan pemahaman agama dimanapun kapanpun.
Peran politik negara lainnya yaitu menyaring isu-isu radikalisme, terorisme dan lain lainnya agar tak menjadi bias di masyarakat.
Politik Islam Dalam Sendi Kehidupan
Dalam Islam sikap toleransi beragama dengan cara memberi kebebasan untuk mereka beribadah sesuai yang mereka yakini, tanpa harus saling mengganggu. Tetap saling menghormati. Seperti didalam surat Al kafirun:(109).1-6.
Sebagai umat Islam selayaknya memegang teguh prinsip Islam sebagai jati diri seorang muslim, dengan selalu menggunakan pola pikir dan pola sikap islamiyah. Agar umat tak terbawa arus mengikuti perayaan yang bukan dari Islam.
Timbul banyaknya bencana selayaknya menjadi bahan renungan kita bersama. Apakah ini hanya fenomena alam ataukah ada pesan dari Maha Pencipta bagi kita umat Islam. Allah berfirman dalam Ws. Ar-Rum ayat 41;
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Tak ada kata terlambat, mari kita bersama berbenah diri, lingkungan dan negara. Apakah sudah kita taat pada aturan Pencipta Kehidupan?
Islam telah terbukti mampu mengurus negara selama 13 abad lamanya, menaungi 2/3 wilayah dunia. Kenapa kita hari ini tak sama? Bukankah sesungguhnya kehidupan kita sudah diatur oleh Allah dengan pedoman hukum Syara’. Kehidupan yang sejatinya dari Allah, untuk Allah, dan akan kembali kepada Allah SWT. Apakah syahwat lebih berharga daripada syahadat? Mengikuti kebebasan merayakan perayaan agama lain dengan dalih toleransi.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu, dan Dia tidak akan meminta hartamu.” (QS. Muhammad: 36).
Wallahu a’lam bishowwab.
Views: 32
Comment here