Oleh Sartika
wacana-edukasi.com, OPINI– Satu bulan setelah gempa bumi berkekuatan 5,6 mengguncang Cianjur, Jawa Barat, sejumlah warga masih bertahan di tenda-tenda pengungsian, menanti sebuah kepastian untuk memulai kehidupan yang normal. Di samping itu, sebanyak 635 orang tewas dan 5 orang masih belum ditemukan akibat gempa dangkal yang disebut bersumber dari sesar Cugenang.
Mirisnya, di desa Cibeureum, kacamatan Cugenang, Jawa Barat, masih ada warga yang belum menerima dana stimulan perbaikan rumah karena proses pendataan yang tidak akurat dan harus diulang. Di samping itu, sebagai salah satu desa yang dilalui patahan sesar aktif Cugenang, warga juga masih menanti kepastian apakah mereka akan terdampak relokasi ataukah tidak. (BBCnewsIndonesia.com 22-12-2022).
Terkatung-katung Akibat Ketidak-optimalan
Melihat kondisi warga yang hingga kini masih terkatung-katung dalam tenda pengungsian akibat belum mendapatkan bantuan dana stimulan serta ketidakjelasan relokasi, menampakkan ketidak-optimalan penguasa dalam mengurusi (me-riayah) korban bencana gempa. Seharusnya, penguasa negara segera bertindak cepat merelokasi serta memberikan bantuan dana stimulan secara merata guna membantu korban dalam perbaikan serta pembangunan rumah agar nasibnya tidak terkatung-katung, tidak hanya berputar-putar dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi namun tidak memberikan hasil yang penuh terhadap korban.
Mengingat desa Cibeureum, kacamatan Cugenang, Jawa Barat, adalah salah satu desa yang terdampak parah oleh guncangan gempa pada tanggal 21 November lalu. Mayoritas rumah yang rusak dengan atap roboh serta dinding retak. Gempa susulan yang acap kali terjadi, semua itu bukanlah bencana yang harus penguasa sepelekan. Terlebih lagi ditenda pengungsian terdapat balita dan anak-anak dengan kondisi tidur hanya beralas tikar dan beratap terpal, kedinginan, kepanasan, tentu dengan kondisi seperti itu sangat berpengaruh terhadap perkembangannya. Tidak hanya itu sebagian warga di pengungsian juga mengalami demam, batuk serta gatal-gatal akibat kondisi pengungsian jauh dari kata layak, meski kebutuhan makan dan minumnya terpenuhi.
Sebelumnya penguasa menjanjikan dana bantuan sebesar 60 juta untuk rumah rusak berat, 30 juta untuk rumah rusak sedang dan 15 juta untuk rumah rusak ringan. Namun proses verifikasi sebelumnya ditemukan data yang tidak sesuai dengan kondisi rill rumah yang rusak. Penguasa juga menargetkan seluruh pembangunan rumah warga korban gempa maupun relokasi akan rampung pada Juni 2023, yang jadi pertanyaannya apakah korban dibiarkan terus-menerus berada di tenda pengungsian hingga Juni 2023 ?
Sedangkan seorang pejabat tinggi mengadakan temu sukarelawan di Gelora Bung Karno di masifkan dengan gercepnya sehingga berjalan dengan meriah seolah-olah tak ada beban pikiran terhadap korban gempa yang masih berduka, sungguh miris. Namun, inilah realitas penguasa di negeri ini. Penguasa yang telah terjangkiti virus kapitalisme dari Amerika Serikat (kafir penjajah) tidak ada yang lebih penting dibanding kepentingan pribadinya serta kepentingan segelintir elite. Slogan dari rakyat untuk rakyat hanya iming-iming belaka, faktanya rakyat korban gempa yang saat ini sangat mengharapkan bantuan segera dari penguasa, namun harapan tersebut berakhir penuh dengan ketidakpastian.
Khilafah Sebagai Solusi
Dalam upaya mengatasi potensi terjadinya bencana alam, Khilafah memiliki langkah-langkah strategis dengan menempuh dua kebijakan sekaligus yakni preventif dan kuratif. Menajemen bencana yang disediakan Khilafah tegak diatas asas Mabda Islam (Akidah yang melahirkan peraturan menyeluruh) tentunya prinsip-prinsip peraturannya pun didasarkan pada syariat Islam.
Kebijakan pertama yakni Preventif. Hal ini dilakukan sebelum terjadinya bencana atau pra-bencana. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah atau menghindari penduduk dari bencana. Kegiatan dari kebijakan preventif meliputi pembangunan sarana-sarana fisik untuk mencegah bencana. Perspektif pembangunan yang berkelanjutan memainkan peran kunci dalam memberikan kontribusi bagi mitigasi serta persiapan rakyat secara efektif menghadapi bencana. Khilafah bertindak cepat dan tegas dalam kegiatan mitigasi ini, dalam aspek pembangunan infrastruktur maupun bangunan private serta pengaturan tata guna lahan dalam pemanfaatan lahan yang dapat dijadikan tempat bermukim atau tidak. Khilafah juga menyediakan alokasi dana yang ditetapkan berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh ahli mengenai potensi bahaya yang ada pada daerah tertentu atau potensi kerugian yang dialami ketika terjadi bencana.
Kebijakan kedua yakni Kuratif. Hal ini dilakukan setelah terjadinya bencana atau pasca-bencana. Kebijakan kuratif memiliki dua bentuk pemulihan (recovery). Pertama, me-recovery korban bencana gempa agar korban mendapatkan pelayanan yang baik serta pengungsian yang layak agar tak mempengaruhi kondisi psikis yang menyebabkan stress, depresi dan dampak psikologis buruk lainnya. Menyediakan kebutuhan urgent korban seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal yang memadai, obat-obatan serta pelayanan medis lainnya.
Kedua, me-recovery lingkungan tempat tinggal korban bencana gempa pasca-bencana. Kantor-kantor pemerintahan maupun tempat umum lainnya seperti rumah ibadah (mesjid), rumah sakit, pasar dan lainnya segera diperbaiki. Bahkan Khilafah dengan gesit merelokasi korban ketempat yang lebih aman dan kondusif. Inilah langkah-langkah yang ditempuh Khilafah untuk menangani bencana yang terjadi. Penanganan bencana dijalankan dengan berpegang teguh pada syariat sehingga dalam syariat seorang Khalifah (pemimpin negara) wajib menjalankan perannya sebagai raain (pelayan) riayah (pengurus) terhadap seluruh urusan rakyat, maka dari itu sudah saatnya kita menjadikan Khilafah sebagai solusi.
Wallahu’alam Bisshawab.
Views: 4
Comment here