Oleh. Fitria Zakiyatul Fauziyah CH (Mahasiswi STEI Hamfara Yogyakarta)
wacana-edukasi.com, OPINI– Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa kita sudah berada di awal tahun 2023 masehi. Banyak target dan hasil dievaluasi, tidak sedikit juga yang membuat resolusi agar terwujud semua mimpi. Memang ini bukanlah tahun baru Islam, namun sejatinya kita perlu mengetahui dan memahami langkah apa yang harus dilakukan, sehingga tak keliru dengan arah kehidupan yang hakiki.
Menyedihkannya, umat muslim hingga saat ini masih dalam kondisi terpuruk di segala lini kehidupan. Mulai dari aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, maupun keamanan. Awal 2023 ini pun, situasi dan kondisinya tidak jauh beda dari tahun-tahun sebelumnya.
Negeri-negeri kaum muslim sekarang justru dijajah dengan pemikiran, budaya, dan peradaban barat. Sumber daya alam (SDA) dicaplok dan dirampas kaum kafir atas nama investasi. Seharusnya fenomena-fenomena ini mampu menjadi acuan umat untuk berhijrah dari sistem jahiliah modern pada penerapan Islam secara kafah dengan tidak berpaling dari Allah Swt. sebagai satu-satunya sesembahan.
Saatnya Hijrah Secara Total
Dalam Fath al-Bârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî karya Ibnu Rajab al-Hanbali menjelaskan bahwa, asal dari hijrah adalah meninggalkan dan menjauhi keburukan untuk mencari, mencintai dan meraih kebaikan. Hijrah secara mutlak dalam hadits ditransformasikan pada makna meninggalkan negeri (kafir) menuju Dar al-Islam.
Kendati demikian, maka asal hijrah adalah meninggalkan apa-apa yang telah Allah larang, yaitu berupa kemaksiatan, termasuk di dalamnya meninggalkan negeri kafir untuk menetap di Dar al-Islam. Maka hijrah yang total (sempurna/hakiki) adalah meninggalkan apa-apa yang telah Allah Swt. larang, termasuk dengan meninggalkan negeri (kafir) menuju Dar al-Islam.
Menurut para fukaha, secara syar’i pengertian hijrah adalah keluar dari Darul Kufur menuju Darul Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menegakkan syariat Islam secara total dan menyeluruh dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya secara penuh terletak di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, Darul Kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariat Islam dan keamanannya tidak ada di tangan kaum muslim sekalipun mayoritas penduduknya muslim.
Pengertian hijrah semacam ini diambil dari realita hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang pada saat itu merupakan Darul Kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam). Situasi dan kondisi masyarakat modern saat ini, bila dibandingkan dengan kondisi masyarakat jahiliah pra hijrah, terlihat banyak kemiripan, dan bahkan dalam beberapa hal justru malah lebih buruk.
Ciri utama masyarakat jahiliah dulu adalah pengaturan kehidupannya dengan aturan dan sistem jahiliah buatan manusia. Pada masyarakat Kuraisy, aturan dan sistem terkait dengan kemasyarakatan dibuat oleh para pemuka kabilah. Hal tersebut dirumuskan melalui pertemuan para pembesar dan ketua kabilah di Dar an-Nadwah.
Kondisi yang sama pun berlangsung saat ini. Kehidupan diatur dengan aturan dan sistem buatan manusia yang dibuat oleh segelintir orang dengan mengatasnamakan rakyat.
Pertama, dalam aspek ekonomi terdapat riba, kecurangan dalam timbangan dan takaran, manipulasi, penimbunan, eksploitasi oleh pihak ekonomi yang memiliki akses kuat terhadap ekonomi lemah, konsentrasi kekayaan pada segelintir orang, dan sebagainya. Semua itu khas mewarnai aspek ekonomi masyarakat jahiliah pra hijrah.
Hal yang sama juga kental mewarnai kehidupan ekonomi modern saat ini. Penipuan ekonomi marak terjadi. Harta juga terkonsentrasi pada sebagian kecil orang. Satu persen dari masyarakat menguasai lebih dari 60 persen kekayaan yang ada. Satu orang menguasai tanah seluas ratusan ribu hektar bahkan lebih dari satu juta hektar. Riba merajalela, zina menjadi suatu hal yang biasa.
Bahkan riba menjadi pilar sistem ekonomi dan negara menjadi salah satu pemeran utamanya. Negara bahkan gemar menumpuk utang ribawi hingga menggunung yang menjadi beban rakyat sampai triliunan rupiah. Pada aspek sosial, masyarakat jahiliah pra hijrah identik dengan amoral yang luar biasa.
Kedua, mabuk, pelacuran, dan kekejaman terjadi di mana-mana. Anak-anak perempuan yang baru lahir dibunuh, bahkan dikubur hidup-hidup. Bedanya, saat ini perzinaan difasilitasi, dilegalkan, serta lokalisasi atas nama investasi dan retribusi.
Tidak sedikit juga bayi yang dibunuh saat baru lahir. Jika dulu bayi perempuan yang dibunuh, sekarang bayi laki-laki atau perempuan yang dibunuh, bahkan aborsi dilakukan. Jumlahnya pun meningkat, mencapai jutaan kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya.
Ketiga, aspek politik dan konstelasi internasional, bangsa Arab jahiliah pra hijrah bukan bangsa yang istimewa. Dua negara adidaya pada saat itu, yakni Persia dan Byzantium, sama sekali tidak melihat Arab sebagai sebuah kekuatan politik yang mesti dipertimbangkan. Begitu pula saat ini. Negeri-negeri kaum muslim, termasuk Indonesia, juga tidak pernah dipertimbangkan oleh negara-negara lain, kecuali sebagai target untuk dijajah.
Gemah Ripah Loh Jinawi, kekayaan alam negeri kita dijadikan objek jarahan negara-negara penjajah dan para kapitalis. Luasnya perairan mencapai jutaan kilometer persegi dan jutaan hektar daratan negeri ini sudah dipetak-petak untuk perusahaan-perusahaan yang kebanyakan asing. Oleh karenanya, penting mengubah masyarakat jahiliah modern di tatanan kehidupan saat ini agar merdeka dari segala bentuk kesyirikan, baik secara akidah maupun sistem yang diterapkan saat ini.
Dengan mewujudkan masyarakat islami yang terikat dengan syariat Islam, maka muslim akan terbebas dari segala bentuk penghambaan selain kepada Allah Swt. Perubahan ini tentu tidak akan muncul begitu saja, perubahan itu harus diupayakan. Allah Swt., berfirman dalam Al-Qur’an Surah ar-Ra’d ayat 11 yang artinya, “Sungguh Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..”
Mewujudkan perubahan yang islami menuju Islam kafah tidak lain adalah dengan berjamaah dan berjuang agar terciptanya masyarakat islami yang jauh dari segala kesyirikan. Masyarakat Islam juga dibangun oleh Rasulullah saw. dan para sahabat setelah hijrah ke Madinah.
Masyarakat di Madinah pasca hijrah tetaplah masyarakat yang heterogen secara agama, suku, ras, warna kulit, dan lainnya. Berbagai keragaman di masyarakat bisa dikelola dengan baik melalui penerapan syariat Islam secara menyeluruh atas semua warga negara. Di dalam Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 208 Allah Swt. berfirman yang artinya, “Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan jangan kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Jadi, yang harus dipahami bahwa sistem Islam adalah membawa rahmat bila diterapkan secara sempurna. Jika menginginkan kehidupan yang dinaungi keberkahan, mulia, penuh kebaikan, maka satu-satunya jalan ialah dengan menerapkan syariat Islam secara totalitas dalam institusi negara, yaitu negara Islam.
Wallahu A’lam Bish-Shawwab.
Views: 41
Comment here