Oleh: Hestiya Latifah
(Mahasiswi, Aktivis Dakwah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Seorang hakim yustisial berinisial EW, ditetapkan sebagai tersangka ke-14 dalam dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung. KPK menduga terdapat uang suap senilai Rp. 2 miliar rupiah dalam bentuk mata uang asing untuk mempengaruhi keputusan kepailitan sebuah koperasi. Sebelumnya dua hakim agung berinisial SD dan GS, serta dua hakim yustisial lainnya ETP dan PN sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus ini.
Zaenur Rahman, peneliti dari PUKAT-UGM, ia mengatakan bahwan praktik korupsi ini belum bisa terputus, salah satunya karena “Penegak hukum itu memiliki kewenangan yang sangat besar, dengan kontrol yang sangat sedikit. Ini kemudian menyebabkan potensi pelanggaran semakin besar.” Iya juga mengatakan “korupsi peradilan” ini sudah menggurita sejak zaman dulu, bahkan jauh sebelum reformasi 98
(bbc.com, 20/12/2022).
Lemahnya pengawasan terhadap hakim ini menjadi titik konvergensi, yang mana terdapat dua mekanisme pengawasan saat ini yang belum bisa dikatakan baik
(Komisi Yudisial, 2017) Kedua model pengawasan tersebut yaitu internal dan eksternal. Hakim ternyata masih sama-sama memiliki kelemahan. Salah satu titik lemah pengawasan internal kini dilakukan MA disebabkan pihak yang diberikan fungsi mengawasi, ialah orang berpendidikan di bidang profesi yang diawasi. (law.uii.ac.id, 14/3/2018)
Lalu, mengapa kasus ini terus terjadi berulang kali bahkan tanpa adanya pengawasan tepat dan cepat sehingga seharusnya menghasilkan jerata-jeratan bagi para ahli hukum yang posisinya menjadi pelindung bagi masyarakat?
Hukum Negeri yang Tak ‘Berhukum‘
Penyebab permasalahan ini ternyata telah disampaikan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) yang membeberkan secara terbuka penyebab marak dan semakin tingginya permasalahan korupsi terjadi terutama di kalangan pejabat atau ahli hukum negeri ini. Yaitu, pertama; hukuman terhadap pelaku korupsi di negeri ini dikurangi. Di mana mayoritas pasal yang terdapat di dalam undang-undang sebagaimana dibeberkan ICW yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, baik hukuman pokok pidana badan maupun denda, dikurangi. Baik pejabat publik maupun masyarakat biasa, ini sekaligus bentuk upaya menyamakan hukuman antara masyarakat dengan pejabat publik.
Kedua; korupsi dianggap bukan lagi merupakan kejahatan yang luar biasa, melainkan sesuatu hal yang biasa dan lumrah terjadi di negeri ini. Sehingga memicu mudahnya jalan koruptor untuk bertindak tanpa batas. Baik masyarakat yang sekali bertindak maupun pejabat publik yang terus menggelintirkan dirinya di lingkaran perkara korupsi. Ini jugalah yang menyebabkan penegak hukum yang memiliki kewenangan besar namun sedikit usaha di dalam mengadili dan mengontrol, yang menyebabkan potensi pelanggaran tersebut semakin besar.
Ketiga; adanya kriminalisasi kritik masyarakat di dalam keterkaitan persidangan perkara korupsi. Di mana proses persidangan perkara korupsi di negeri ini belum banyak memberikan efek jera maksimal kepada para pelakunya sendiri. Kondisi ini tentu memancing kritik masif dari masyarakat yang menginginkan adanya hukuman jera bagi para pelaku. Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa jelas negeri dan peraturan di sistem/negeri ini sangat bernuansa anti terhadap kritik dan melemahkan partisipasi masyarakat.
Lagi-lagi hukum di negeri berasas kebebasan ini tak punya pendirian, tak ada hukum yang ‘berhukum’. Padahal, seharusnya negara mengayomi rakyat, penguasa sebagai pelindung rakyat, pejabat menjadi contoh, serta peraturan yang mengatur kehidupan dengan seksama dan tertata. Korupsi telah menjadi “Way of Life” yaitu gaya hidup tersendiri, terutama di kalangan pejabat publik.
Tampak jelas bahwa dalam sistem kapitalisme-demokrasi sulit mencegah dan memberantas korupsi. Lantas, bagaimana menurut Islam berkaitan dengan korupsi? Tentu Islam senantiasa memberikan solusi pada setiap permasalahan.
Islam Solusi Sempurna
Publik sama-sama tahu, terjadi praktik korupsi di negara ini. Para pejabat yang menimbun harta, para usahawan yang begitu leluasa mencomot dan menikmati utang, tetapi yang sampai ke lembaga peradilan hanya beberapa persen saja. Sungguh, miris negeri ini.
Islam melarang keras tindakan korupsi, terutama penguasa dan para penegak hukum. Korupsi dalam Syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in. Khaa’in yaitu orang yang menggelapkan uang kepada seseorang. Sedang khianat bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu. (Lihat Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).
Secara preventif, ada 7 langkah di dalam sistem Islam untuk mencegah terjadinya korupsi, yaitu:
(1) Rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah).
(2) Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya.
(3) Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi saw., “Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya istri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).
(4) Islam melarang menerima suap dan Haifa bagi para aparat negara. Nabi saw. berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR Ahmad).
(5) Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.
(6) adanya teladan dari pimpinan, yakni pemimpin adalah sebagai contoh.
(7) Pengawasan yang ketat oleh negara dan masyarakat.
Penerapan hukum ini akan meminimalisir kejahatan yang terjadi pada rentang waktu yang demikian panjang itu. Tercatat bahwa selama tiga belas abad diterapkannya hukum Allah hanya sekitar dua ratus kasus yang terjadi. Hal ini dimungkinkan oleh hukum Allah berfungsi sebagai pemberi efek jera bagi yang belum melakukan, dan menjadi penebus dosa bagi yang sudah melakukan tindakan kriminalitas (al-Anshari, 2006: 287; Zallum, 2002).
Wallahualam bishawab.
Views: 11
Comment here